Header

Header

SELAMAT JALAN, SAHABAT.



"Kita naik taksi saja", katamu saat kita berjalan keluar dari lorong menuju jalan AP. Pettarani. Waktu itu kita mau pulang kampung, sebagai upaya melakukan gencatan senjata dengan penderitaan sebagai mahasiswa di Makasar. Menggunakan jasa taksi sesungguhnya adalah sesuatu yang “wah”, terlalu mewah, namun karena malam itu kita bergerombol, jadi pengaruhnya terhadap kantong tidak terlalu terasa. Aku langsung bereaksi. Bustan dan Anwar diam (kalau tidak keliru Madhy juga ada waktu itu).

"Aih, taksi ada AC-nya. Naik pete-pete saja.", kubilang. 

Dari Mannuruki ke terminal Panaikang memang tidak terlalu jauh, tapi bagi makhluk sepertiku bisa jadi terasa jaraknya menjadi berkali-kali lipat. Aroma khas taksi dan AC yang menghambur ke dalam hidung saat pintu dibuka itu serupa ribuan virus mematikan menyerbu dan melumpuhkan seluruh saraf semangatku untuk hidup.

"Nanti saya minta sopir untuk tidak menyalakan AC. Kita naik taksi. OK!", kamu bilang. 

Saya diam, mengiyakan. Bustan mempercepat langkah untuk menyetop taksi. Sebuah taksi berwarna biru langit dengan lampu menyala di pundaknya menepi. Tetap saja aku merasa gentar. Aku menahan nafas saat pintu mobil itu terbuka, dan mulai bernafas kembali ketika sudah berada di dalamnya. Selembar baju aku keluarkan dan kugunakan mengurung setengah mukaku. Aku bernafas dengan selembar baju di wajahku menghalau bau mobil. Seperti janjimu, sopir mematikan AC dan taksi melaju. 

Angin malam merasuk melalui kaca jendela mobil yang kubiarkan setengah terbuka. Kamu yang duduk di samping sopir sesekali melirikku sambil tersenyum memastikan keadaanku. Setengah perjalanan semuanya masih baik-baik saja. Selebihnya, meskipun belum muntah, kondisiku sudah cukup mengenaskan. Tidak banyak bicara.  

Kita tiba di terminal dengan Kamu, Anwar dan Bustan baik-baik saja. Tapi tidak denganku. Dengan kondisi tengkuk yang dingin dan air liur yang kecut, aku membayangkan 300 kilometer yang masih harus kita tempuh membentang di depan. Ah, aku merasa nasibku benar-benar sedang berada di ujung tanduk.

Baru beberapa kilometer meninggalkan Makasar, di Pangkep tepatnya, aku sudah benar-benar tidak berdaya. Saat mobil yang kita tumpangi mampir ke warung, kamu, Anwar dan Bustan langsung menghambur ke dalam warung dan memilih minuman dan beberapa makanan ringan. Berbeda denganku, aku langsung mencari balai-balai untuk rebahan. Aku sudah benar-benar merasa tidak nyaman lagi memasukkan sesuatu ke dalam perut. Kepalaku pening.

"Mana Iqbal...?" 

Aku tidak tidur. Aku mendengar kamu bertanya pada Bustan dan Anwar waktu keluar dari warung. Mobil akan bergerak lagi.

"Jangan-jangan dia salah naik mobil...?", Bustan menukas. 

Kurang ajar, aku membatin. Lalu, Anwar melihatku dalam posisi tengkurap di balai-balai di kolong rumah dekat warung. Sambil tertawa-tawa, ia mendekat. Aku bangkit dan berdiri oleng, berjalan di belakang Anwar dengan air liur kecut yang terus memancar dan memenuhi rongga mulutku. Aku meludah nyaris tanpa henti menuju Kuda, mobil yang kita tumpangi dengan sopir muda yang pamer.

Dan, sepanjang jalan di atas Kuda malam itu, aku menjadi seperti mayat. Dingin dan pucat. Kamu duduk tepat di sampingku yang meringkuk dekat kaca jendela mobil yang dibiarkan terbuka. Angin harus diloloskan dan diberi ruang seluas-luasnya menampar wajah seorang “pemabuk”. 

Aku benar-benar tidak bergerak seperti mati dan hanya tampak sebagai manusia yang masih hidup saat usus dalam perutku seperti diseret-seret dan tenggorokanku bekerja keras mengeluarkan semua yang aku telan beberapa jam sebelum berangkat di Manuruki, di kosanmu. Ya, aku masih hidup, mayat tidak mungkin muntah. Dan sepanjang jalan itu pula, tangan dan jemarimu yang piawai memetik gitar - aku sering memintamu memainkan intro "Opiniku" milik Iwan Fals dan kau tak pernah mengecewakanku- kurasakan merayap di atas tengkukku yang dingin. Setiap kali pundakku tertarik dan kepalaku condong ke bawah, kemudian diikuti suara mengerikan di tenggorokanku - seperti orang tercekik - karena isi perutku sudah habis dan tak ada lagi yang bisa dikeluarkan, saat itu pula tanganmu mendarat di atas tengkukku, melakukan gerakan memijat. Kondisiku memang tidak menjadi lebih baik, tapi aku merasa sangat bahagia. Rasa bahagia itu mengendap di dasar hatiku . Aku terharu.

Aku yakin, kamu tidak pernah meluangkan kesempatan memejamkan mata malam itu dalam perjalanan. Kamu menjadi tukang pijit sukarela malam itu, saudaraku, menungguiku ”hueks-hueks” untuk kemudian kamu pijat tengkukku.

Dan, sekarang kamu memulai perjalanan panjang itu sendiri, perjalanan ke kampung abadi, mendahului kami. Penuh sesak orang mengantarmu menuju keabadian di saat aku masih dalam perjalanan, terburu untuk menatapmu terakhir kali dan menjabat  tangan yang dulu pernah memijat pundakku. Tangan yang mengalirkan bahagia dan mengendap di dasar hati. Tangan penuh kasih.

Aku yakin, pintu-pintu langit terbuka menyambut doa-doa orang yang mencintaimu. 

Kami kehilanganmu. Kamu orang baik. Baik sekali. Aku bersaksi.

Inna lillahi wa innaa ilaihi rajiuun.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni segala dosa dan kekeliruanmu serta menerima segala bentuk ibadah dan laku baikmu.

Semoga engkau dikumpulkan bersama orang-orang mukmin yang ditinggikan derajatnya dan berjumpa dengan Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Selamat Jalan, saudaraku Alamsyah

Al-fatihaaa..

Alamsyah, SH.

 

Posting Komentar

0 Komentar