sumber gambar : Terkurung di Rumah (Ilustrasi: Afrizal - radarkediri) |
Dua pekan lalu warga dikagetkan oleh kematian seorang ustadz muda potensial. Sebagai seorang yang paham agama, kematiannya memang tergolong sangat tidak biasa. Bukan karena tangannya menggapai-gapai saat sakaratul maut seperti seseorang yang sibuk menerima amplop. Atau ada ciri, yang oleh kalangan awam, dikenali dan disimpulkan sebagai akhir yang tidak begitu meyakinkan. Si ustadz muda rupawan menghembuskan nafas terakhir di tangan dingin isterinya.
Tidak ada yang menduga garis hidup si ustadz akan berakhir setragis itu. Kematiannya menyisakan teka teki besar dalam kepala setiap orang. Di mata warga, ia orang yang sangat baik, ramah, dan tentu saja dengan pemahaman agama menjadikannya sebagai sosok yang selalu mampu menggandeng siapapun berjalan keluar dari permasalahan hidup yang dihadapi.
Orang-orang menyayangkan kematiannya sambil menumpahkan sumpah serapah kepada sang algojo, isterinya. Kepergiannya adalah bencana dan kehilangan besar, terutama jamaah majelis taklim yang dibinanya.
Bagi ibu-ibu majelis taklim, ia adalah pribadi menyenangkan. Tempat bertanya yang asyik. Apa saja yang mengganjal di benak bisa ditanyakan kepadanya. Seremeh dan seusil apapun pertanyaan selalu dengan senang hati dijabarkan jawabannya. Bahkan, beberapa dari mereka, yang belum bersuami, kerap berbisik-bisik bahwa si ustadz tidak pantas beristeri seorang saja. Itu terlihat dari cara mereka mengerling atau pertanyaan-pertanyaan sensitif yang mereka ajukan.
Seorang jamaah pada pertemuan di pekan kedua menanyakan hukum poligami pada sesi tanya jawab. Karena poligami merupakan sesuatu yang sedang viral dan banyak menuai pro dan kontra, pertanyaan itu langsung disambut riuh cibir jamaah yang hadir.
"Maksudmu apa, Neng?", sambar salah seorang jamaah.
"Kan lagi viral. Bukan masalah, kan, Ustadz? Lagi pula, masak, sih, harus ada maksud kalau mau bertanya. Kita kan mau tahu, bu" tangkis si penanya sembari mencoba meminta pembelaan dari si Ustadz.
"Jangan-jangan si Eneng minta dipoligami nih sama Ustadz", suara perempuan lain terdengar lebih sengit. Suasana bertambah riuh oleh tawa dan “huuuuu…” jamaah.
"Enak saja", tukasnya ketus. Ia menekur wajahnya yang memerah ke lantai.
Si Ustadz kemudian menjelaskan dengan detail masalah poligami. Penjelasan yang gamblang. Semua jamaah menyimak. Beberapa dari mereka ada yang mencatat, yang merekam juga ada.
“Bagaimana, sudah puaaass belum, Neng?”, celetuk seorang lagi.
“Puas, dong. Masak nggak!?”, sambut seseorang di sampingnya.
“Ustadz, apakah ada kiat-kiat khusus dan jitu mempersiapkan diri dipoligami?”, tanya seseorang yang duduk paling depan di saat injury time.
“Huuuuuuu…..”, suasana kembali riuh. Si ustadz tersenyum. Manis sekali.
“Sampai jumpa di pertemuan depan, ya. Wabillahi taufiq wal hidayah, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarak atuh”. Si ustadz menutup pertemuan dan membiarkan pertanyaan terakhir menguap.
Pertanyaan terakhir itu akhirnya tidak pernah dijawab oleh si ustadz, karena tiga hari menjelang pertemuan depan dimaksud, pertemuan di pekan ketiga, si ustadz ditemukan meninggal dalam posisi duduk di kursi ruang tengah rumahnya. Di sampingnya tergeletak sebuah kitab. Di meja, kopinya belum tandas, masih tersisa setengah cangkir.
Setelah mengamankan semua bukti, tidak sulit bagi petugas menemukan siapa pelakunya
***
“Berdasarkan bukti-bukti yang ada, yang menyebabkan korban meninggal seluruhnya mengarah ke Anda sebagai pelakunya. Apakah Anda keberatan?”, pak Hakim bertanya.
“Tidak, Yang Mulia”, terdakwa menyahut. Kepalanya merunduk, setengah wajahnya ditutupi kerudung hitam.
“Jadi, Anda mengakui bahwa pembunuh suami Anda, Anda sendiri?”
“Benar, Yang Mulia”. Pak Hakim mematuk-matukkan pulpennya ke meja.
Seorang perempuan yang duduk di deretan bangku paling depan berdiri sambil mengacungkan jari ke arah terdakwa.
“Dasar perempuan tidak tahu malu!”, ia menghardik. “Huuuuuuu…” hardikannya disambut yang lain. Ruangan sidang riuh, berubah menjadi seperti pasar ikan.
“hush, hush!”, petugas yang berdiri di pintu masuk berjalan mendekati si penghardik dan memberi isyarat agar tetap bisa menahan diri dan tetap menjaga ketenangan. Perempuan bermulut tajam itu kembali duduk, diikuti yang lain. Ruang sidang kembali tenang.
“Apakah pembunuhan itu sudah Anda rencanakan sebelumnya?”
“Benar, Yang Mulia”
“Alasan Anda?”
“Maaf, Yang Mulia, tapi alasan ini tidak mungkin diterima siapapun”
“Tidak masalah. Sampaikan saja”
“Maaf, Yang Mulia, suami saya amat sangat membosankan”
“Bohong! Bohong…!”, orang-orang berseru, protes.
“Hush.. Hush!”, petugas kembali mengingatkan. Orang-orang tampak tidak mengacuhkan. Petugas memekik, menyuruh diam dan melayangkan ancaman akan mengeluarkan dari ruang sidang siapapun yang tidak mampu menahan diri. Orang-orang kembali duduk, kali ini lebih tenang.
“Bisa diperjelas?”, pinta pak Hakim.
“Ya, suami saya memang sangat membosankan. Saya kadang berpikir bahwa suami saya sedang merencanakan pembunuhan atas diri saya”, orang-orang mendengar. Satu dua orang hendak berdiri, namun langsung dicegah oleh petugas.
“Menurutku, ia seolah sengaja ingin menyaksikan rasa bosan mengahabisiku sedikit demi sedikit, dari hari ke hari. Ia terlalu sibuk, Yang Mulia, sehingga tidak pernah berpikir bahwa isterinya tidak bisa hidup hanya di dalam rumah saja. Ia memanggil kerabatnya berkumpul di rumah saat jadwal ceramahnya kosong, tepat di saat saya menunggunya mengajakku jalan-jalan melihat dunia yang lebih luas. Ia tidak tahu cara menyenangkan dan membahagiakan isterinya. Ia selalu mengatakan akan membawa saya ke surga, tapi tidak pernah sadar bahwa selama ini ia menempatkan saya di kerak neraka. Ia membosakan sekali, Yang Mulia. Di mata jamaahnya, ia pasti orang baik dan ahli surga. Tapi, di mata saya, istrinya, ia terlalu buruk”
“Tapi, mengapa Anda tidak menggugat cerai saja, bukan membunuhnya?”
“Tepat sekali, Yang Mulia. Karena ia membosankan sekali, dan manusia membosankan adalah manusia amat buruk dan tak pantas masuk surga, maka saya membantu dan menuntunnya ke surga. Saya menghabisinya dengan racun yang saya campurkan ke dalam kopinya agar ia termasuk dalam golongan orang-orang yang dizalimi”. Orang-orang terdiam. Setelah pak hakim membacakan putusan, orang-orang membubarkan diri. Sebagian masih menyimpan amarah, sebagian lagi menerima hukuman seumur hidup sebagai balasan yang setimpal.
Sepekan setelah hakim menjatuhkan vonis hukuman seumur hidup kepada isteri almarhum si ustadz, ibu-ibu majelis taklim yang sebelumnya banyak menyumpahi terdakwa di ruang sidang, pada hari minggu mereka ramai memposting poto di media sosial bersama suami mereka di tempat-tempat wisata. Poto-poto unggahan mereka diberi caption “Akhirnya, ke sini juga. Terima Kasih, Suamiku”.
***
0 Komentar