Setahun lalu, semalam adalah malam yang mendebarkan. Bagi isteri saya, mungkin menjadi malam paling menakutkan sepanjang hidupnya. Membayangkan esok hari dirinya berjalan menuju sebuah ruangan dengan pikiran paling cemas dan degup jantung yang hebat. Ia tahu bahwa ruangan yang dituju itu adalah kamar khusus dan saya tidak diperbolehkan mengawaninya di sana. Imajinasi di hari pamungkas itu benar-benar merasuk dengan cara paling buruk.
Lebih sepuluh hari sebelumnya, kami memeriksakan kandungannya di salah sebuah rumah sakit di Mamuju. Cukup banyak waktu kami butuhkan menunggu dokter datang. Begitu datang, sangat singkat waktu yang ia miliki untuk tinggal. Setelah memeriksa kandungan isteri saya, dokter menyarankan agar dilakukan kontraksi rekayasa. Sudah terjadi pengapuran dan, kata dokter, hal itu bisa berakibat buruk pada bayi. Bayi sudah waktunya lahir. Prediksi lahir sudah terlampaui. Saya memandangi gambar yang ketidakjelasannya mirip tulisan dokter di monitor komputer.
“ini…ini…”, kata stafnya, seorang perempuan, menunjuk bercak-bercak berwarna putih di monitor. Di belakang meja, dokter berkemas. Ia merapikan benda-benda yang menumpuk di depannya ke dalam laci.
“Jadi, silakan rundingkan dulu. Keputusannya saya tunggu hari ini. Karena lewat tiga hari bayi tidak lahir, berisiko”, ucapnya prihatin.
“Ah, mungkin memang belum waktunya lahir”, saya membatin, menangkis keprihatinan dokter. Dan sebelum dokter benar-benar pergi, saya tanyakan jenis kelamin bayi. Tidak ada keterangan soal itu. Ia tidak memperhatikan, katanya. Saya memaklumi, karena ia hendak melakukan operasi pada pasiennya, makanya berlekas-lekas. Kami pulang. Di atas motor menuju warung bakso Solo, kami memutuskan untuk memeriksakan kembali kandungan seminggu kemudian. Tentu saja, bukan ke dokter yang sama, karena kami lupa menanyakan kapan ia tidak serepot hari ini.
Setelah tidak ada kontraksi selama sepekan sejak kami memeriksakan pertama kali, malamnya, kami mendatangi tempat praktek salah seorang dokter kandungan berdasarkan informasi dari tetangga. Tetangga kami, katanya, selalu merujuk permasalahan kandungannya ke sana.
Berbeda dengan cuaca rumah sakit yang tergesa-gesa, di tempat praktek suasananya lebih santai. Dokternya ramah. Seorang laki-laki. Sesekali ia memberikan anak kami, Tata, sesuatu yang anak perempuan sangat sukai : sanjungan. Tata tampak sangat bahagia dengan itu. Ia rebahkan kepalanya di ribaanku sambil memandangi laki-laki yang bertutur padanya bahwa ia pintar dan cantik. Saat dokter menyodorkan mangkuk mungil berisi kembang gula, ia dengan malu-malu menyambarnya. Malu-malu, tapi ia mengambil tiga kembang gula.
Sebuah alat menggerayang di atas kulit perut yang sebelumnya diolesi cairan serupa gel saat dokter meninjau kondisi kesehatan calon anggota keluarga kami yang baru. Alat itu terhubung dengan layar komputer tepat di samping kepala isteri saya.
“Ada, tapi ini masih bisa ditelorir”, katanya saat saya tanyakan ada pengapuran atau tidak.
“Bayinya laki-laki”, ia memberi kabar gembira. Wajahnya tampak ikut senang. Saya bahagia melihat wajahnya. Air mukanya mengabarkan bahwa bayi kami dalam kondisi sehat dan baik-baik saja. Tapi, saya kurang yakin soal jenis kelamin itu, sebab jauh-jauh hari saya sudah menyiapkan nama perempuan. Saya tidak pernah menyiapkan nama anak laki-laki. Isteri saya yang mencadangkan nama untuk anak laki-laki. Sebuah nama yang baru ia dapatkan dari membaca buku. Saya melampaui pengetahuannya soal nama ini. Saya, bertahun-tahun lalu, sudah mengetahuinya. Karena itu, ia takjub saat saya jelaskan arti dan dari tradisi mana nama tersebut berasal. Moksa, nama cadangan itu. Maknanya adalah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas dari putaran reinkarnasi. Sebuah konsep dalam agama Hindu dan Buddha.
Sama dengan dokter pertama, dokter kedua ini juga menyarankan dilakukan kontraksi rekayasa (dipaksa kontraksi) jika seminggu ke depan tidak terjadi kontraksi alamiah. Saya dan isteri saling memandang. Kengerian membayangkan bagaimana rasa sakit karena dipaksa kontraksi sebelum waktunya mulai mencemaskan pikiran isteri saya. Karena bayangan ketersiksaan sepanjang siang-malam itu begitu kuat, isteri saya lebih memilih langsung operasi saja, daripada sakit dua kali. Lain halnya dengan saya, anggapan saya tentang “mungkin memang belum waktunya lahir” masih kokoh dan bisa menghalau kecemasan berlebih dan tetap menjaga keyakinan bahwa Allah setelah mencipta, Ia menjaga dan memelihara.
Isteri saya, semenjak dari dokter kedua, beberapa kali ia menelpon ayahnya dan menceritakan kecemasannya. Imajinasi tentang sakit luar biasa akibat kontraksi rekayasa yang ia peroleh dari tulisan di internet mengenai kesaksian para ibu yang pernah mengalami, juga cerita salah seorang mahasiswanya yang kakak perempuannya pernah dipaksa kontraksi mulai sedikit mencair. Ucapan ayahnya benar belaka, bahwa yang membuat kecemasannya kian beku dan ketakutannya semakin bertambah-tambah karena terlalu banyak menyesap informasi dari internet.
“Buka hati, tutup dan matikan internet!”, kata-kata ayahnya sungguh-sungguh menghunjam.
Sepekan berlalu, dua pekan semenjak kami datang ke rumah sakit, kontraksi yang kami nanti tetap tidak ada. Saya berusaha meyakinkan isteri saya bahwa memang belum waktunya lahir, tenang saja dan jangan berpikir macam-macam. Jujur, nasehat untuk tenang ini datang dari hati dan pikiran yang mungkin sama cemasnya dengan yang diberi nasehat. Untuk menguatkan kesabarannya, saya memberitahu bahwa beberapa perempuan mengandung hingga satu tahun, dan bayinya sehat-sehat saja.
Besoknya, selepas magrib, kami ke dokter spesialis kandungan lagi. Kami tidak kembali ke dokter yang kedua. Kali ini, dokter yang kami datangi seorang perempuan. Ruang tunggu pasien penuh, saya memilih di luar menemani Tata bermain.
“Bagaimana?” segera saya bertanya saat melihatnya di pintu.
“Kalau tidak kontraksi dalam tiga hari, disuruh kembali ke sini”, isteri saya menyahut. Wajahnya tetap menegaskan kekhawatiran.
“Bayinya..?”
“Perempuan, katanya”. Saya bersuka cita mendengar prediksi itu.
“Dia-lah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Alat deteksi hanya mengira-ngira”, gumamku.
Dua hari sepulang dari dokter ketiga, keesokan paginya isteri saya kontraksi. Bahagia menyelimuti seantero rumah kami. Kami lekas berangkat ke rumah sakit dengan perasaan senang tak terkira. Bersama ibuku, Tata, saya menemani isteri saya. Beberapa jam kemudian, anak kami lahir. Perempuan. Selepas memperdengarkan adzan di telinganya, dengan mata berkaca-kaca, saya lanjutkan dengan memperdengarkan salawat berkali-kali.
"Bayi kita "Nunah", sayang", saya bisikkan nama yang sudah saya siapkan ke telinga kiri isteriku seusai melantunkan adzan dan salawat. Isteri saya tersenyum. Senyumnya seolah mengusir seluruh lelah dan melahap tinggalan rasa sakit di wajahnya.
Perempuan, bukan laki-laki. Mungkin memang belum saatnya kami dianugerahi moksa. Kami akui, kemelekatan hati kami terhadap dunia, pada sesuatu yang profan masih sangat kuat. Dialah sebaik-baik pemberi dan Ia memberi kami bayi perempuan.
Bayi perempuan itu kami beri nama Nunah Fatimah. Nama yang sudah disiapkan sejak jauh hari. Dengan nama ini, kami berharap kelak ia diberkahi kemuliaan sebagaimana penyandang pertama nama itu : Syaikha Nunah Fatimah Binti Al-Mutsanna. Seorang sufi perempuan dari Sevilla yang dihadiahi Allah keistimewaan surah Al-Fatihah. Perempuan suci di mana Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi banyak merengkuh kearifan dan kebestarian.
“Man ‘arafa nafsahu, ‘arafa rabbahu” (siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya). Meski nama cadangan yang sudah disiapkan isteri saya tidak disematkan kepada bayi kami, namun sesungguhnya nama cadangan itu melebur dalam nama yang sudah saya siapkan. Dalam tradisi Hindu, kesadaran akan “Sang Diri” adalah kunci untuk meraih Moksa. Dan Syaikha Nunah Fatimah telah sampai pada maqam ini.
0 Komentar