Setiap kali menginjakkan kaki di sini, saya selalu berpikir
bahwa di rumah ini baru saja usai perang besar dan salah seorang penghuninya
memutuskan minggat. Atau, semalam di rumah ini ada perampokan yang sangat
mengerikan.
Tapi menyadari sepenuhnya bahwa ini adalah rumahku, saya selalu
maklum, lalu tersenyum dan bergumam "apapun adamu, selalu mendamaikan
hati"
Ada banyak kenangan di sini.
*****
Pernah suatu waktu, di belakang rumah, ayah pulang dari kebun
dengan perasaan emosi. Di pundaknya satu ikat besar tangkai-tangkai kecil
lamtoro untuk makanan kambing. Seingatku, ayah jarang - hampir tidak pernah -
mengambil makanan kambing. Tapi, hari itu ia benar-benar kehabisan kesabaran mendengar
tangisan dan erangan kambing kelaparan di kolong rumah. Kebiasaan adik saya
memang kalau lagi malas ia akan memberi kambingnya daun kelapa yang dengan mudah
ia dapatkan di depan rumah. Pohon kelapa yang baru berusia beberapa tahun dan
belum terlampau tinggi itu memang menjadi berkah tersendiri untuk hobinya
bermain bola. Pohon kelapa itu menjadi pertolongan pertama pada kuping yang
terhasut erangan kambing.
Hari itu, adik saya, entah lupa atau sengaja, kembali tidak
menyiapkan makanan untuk kambingnya sebelum ke lapangan. Sekitar pukul lima
sore, kambing yang selama dalam pemeliharaannya hanya melahirkan sekali itu,
mulai mengembik kelaparan. Menit ke menit suara tangisannya perlahan mulai menghasut
ruang pendengaran ayah.
O, iya. Saya mau bercerita sedikit tentang bagaimana kambing itu sampai jatuh ke tangan adik saya.
Berdasarkan petunjuk manuskrip kuno yang saya temukan di salah satu poto keluarga berukuran 10 R, keluarga kami masuk dalam kategori keluarga Kaya.
"Miskin Harta Tapi Kaya Dengan Senyum"
Demikian bunyi manuskrip kuno itu yang ditulis sendiri oleh ayah dengan tinta spidol permanen. Dalam poto tersebut ada kakak saya, ayah, saya, dan ibu yang sedang menggendong adik saya.
Manuskrip-manuskrip serupa itu dulu banyak sekali dijumpai di rumah-rumah warga. Lebih banyak dijumpai bukan di poto, tapi di bagian-bagian rumah. Kapan rumah di bangun, misalnya, kapan banjir mengantam, kapan ternak melahirkan, tanggal lahir anak, dan masih banyak lagi. Semua ada.
Nasib manuskrip-manuskrip kuno itu sangat rentan tergilas ketika satu keluarga mengalami surplus ekonomi. Kalau ada tambahan rejeki, warga biasanya membenahi dan mempercantik badan rumah mereka, selain tentu saja membeli beberapa perabot seperti lemari dan kursi. Membenahi rumah, jika tidak hati-hati, keberadaan manuskrip kuno jelas dalam ancaman besar.
“Tahun berapa lahir, pak?” Tanya seorang petugas pencatat kepada salah seorang warga yang akan dibuatkan Kartu Tanda Penduduk suatu waktu.
“Saya sudah lupa, nak. Tanggal lahir saya itu dulu kutulis di sana…” sambil mengarahkan telunjuknya ke salah satu dinding kamar. “...Sekarang dindingnya sudah diganti. Dinding yang sudah diganti dan lapuk itu juga sudah dibakar sama anak-anak. Kalau mau tahu, coba tanya sama pak imam, karena kalau tidak keliru, menurut orang tua saya, saya dan pak imam lahir di hari yang sama”, lanjutnya memberi informasi.
Demikianlah gambaran bagaimana kepunahan manuskrip atau naskah kuno itu di rumah-rumah warga.
Kembali ke adik saya. Sebagai pemain bola yang lahir dari keluarga kaya, kaya senyum, sebagai anak seorang pegawai rendahan, mengganti sepatu bola yang sekujur tubuhnya penuh luka dan lilitan perban bukanlah perkara gampang. Sumpah, sepatu bola benar-benar tak gampang dimiliki. Sebanyak apapun, bahkan jika seluruh kekayaan yang dimiliki keluarga kami dipersembahkan ke seorang pemilik toko untuk menukarnya dengan sepasang sepatu bola, tetap saja seluruh harta tersebut tidak kuasa mendatangkan sepatu bola baru.
Adik saya mencoba bersiasat. Setiap pulang sekolah, jika angin sedang bertiup kencang, setelah makan siang dan shalat lohor berkecepatan roket ia akan bergegas meraih parang kemudian melenggang menuju kebun-kebun kelapa di seberang sungai. Kadang pulang dengan menneteng kelapa, dan jika sedang bernasib baik ia akan pulang sambil memikul kelapa hasil buruannya. Atau, pagi-pagi buta ia merangsek masuk ke kebun-kebun coklat, mencari biji-biji coklat sisa tikus yang menyantap makanannya secara mubazir.
Selain siasat itu, ia juga memelihara kambing. Kambing yang ia pelihara adalah kambing milik Adari, seorang tetangga pengepul kelapa. Adari memiliki beberapa ekor kambing. Di kolong rumahnya, ada tiga ekor kambing betina dan seekor kambing jantan yang kemudian menjadi suami dari ketiga ekor kambing betina tersebut. Tidak ada masalah dan pahala dalam hal ini. Kawin tiga, bagi kambing, bukan sunnah, pun bukan hal yang mesti dinyiyiri. Dua dari ketiga kambing betina itu baru saja melahirkan sebulan lalu. Masing-masing memiliki dua ekor anak. Satu ekor kambing betina lagi belum melahirkan, namun sudah hamil lima bulan.
Barangkali karena merasa kasihan atau karena pertimbangan lain, Adari menawarkan si bunting lima bulan itu untuk dipelihara adik saya. Karena di kebun yang digarap ayah dan juga di halaman depan rumah terdapat cukup banyak pasokan makanan kambing, adik saya menerima saja tawaran Adari tanpa berpikir panjang. Alhasil, kambing itu secara resmi berpindah tangan tanpa selembar pun dokumen pendukung. Hanya berdasarkan hukum tak tertulis yang mengakar sejak dahulu. Jika beranak dua, maka dibagi dua, satu untuk Adari sebagai pemilik kambing dan satu untuk adik saya. Jika beranak satu, anak pertama menjadi milik adik saya.
Beberapa bulan kemudian, kambing itu melahirkan seekor bayi jantan. Setelah anaknya menjadi lebih besar, ia dijual lalu menjadi sepasang sepatu bola. Induk kambing setelah persalinannya yang pertama, selama dalam pemeliharaan adik saya, tidak pernah melahirkan lagi setelah itu. Ia menjadi mandul. Tapi itu hanya dugaan liar yang sulit ditemukan pijakannya. Adik saya sendiri malas sekali mengawinkan. Pernah sekali atau dua kali, itupun, katanya, si kambing belum terlalu “gatal”. Sehingga, setiap kali hendak dikawinkan, ia selalu menutupi liang surgawi kambing jantan yang ada di antara dua pantatnya dengan ekornya.
Adik saya menjadi bermasa bodoh. Ogah-ogahan. Ia hanya mewajibkan dirinya memberi makan kambingnya, kewajiban yang dijalaninya dengan sangat malas. Sementara urusan memenuhi kebutuhan seks kambing yang telah menghadiahinya sepasang sepatu bola ia abaikan, sembari tetap berharap akan hamil di suatu hari nanti. Entahlah, mungkin adik saya lupa bahwa mengandung dan melahirkan tanpa pernah disentuh oleh lawan jenis hanya terjadi pada spesies mamalia bernama manusia. Itupun terjadi hanya sekali sepanjang sejarah kehidupan manusia. Atau, barangkali adik saya sedang merencanakan lahirnya seekor kambing dari induk yang tak disetubuhi, lalu anak dari kambing itu menjadi nabi untuk seluruh jenis kambing di dunia.
Karena tidak kunjung hamil, kambing itu dikembalikan. Dan, kau tahu, setelah beberapa bulan kambing itu di tangan pemiliknya, ia hamil.
Begitulah, adik saya memulai pekerjaan sebagai seorang gembala dengan seekor kambing bunting lima bulan.
Kembali ke ayah. Petang menjelang magrib hari itu, usai bermain bola, adik saya mempercepat langkahnya. Ia ingat belum ada makanan untuk kambingnya. Pulang dari lapangan ia tidak melewati jalanan seperti biasanya. Ia memilih jalan melewati kebun-kebun coklat. Namun, ia benar-benar bernasib sial petang itu. Ayah yang sedang membawa makanan kambing di pundaknya tiba-tiba muncul dari arah yang berlawanan. Adik saya tidak bisa menghindar.
“Baru pulang main bola, Daeng?, sergah ayah bernada sinis.
Daeng adalah gelar bangsawan dalam suku Mandar. Dari pertanyaannya, ayah jelas sedang sangat marah. Adik saya tidak bisa berkata apa-apa. Diam saja seperti manusia bisu. Seluruh keberanian yang ia miliki terlucuti. Ayah berlalu dan tidak berkata apa-apa lagi, sementara adik saya menguntit sambil tetap menjaga jarak. Untuk kejadian-kejadian seperti ini, ayah biasanya tidak memberikan ceramah khusus, hanya mengingatkan.
Masih ada kenangan-kenangan lain. Misalnya, saat kami hendak mencuri uang ayah (seribu, dua ribu), atau mau menculik rokoknya, tapi celana tempat uang itu disimpan dipakai tidur dan rokoknya ditaruh di bawah bantal... Atau saat adik saya mencuri uang kakak, namun meletakkannya kembali di balik bantal karena nyaris ketangkap basah. Untuk kekonyolan-kekonyolan anak-anaknya ini, saya butuh banyak rokok untuk menceritakannya. hahahah
Milik Negara
0 Komentar