Ini sudah jam berapa, kak?
Jam satu lewat.
Saya kaget, tadi kucing melompat pas di sampingku. Lewat berapa menit, kak?
Sudah mau jam dua. Hehe. Nunah bangun kah?
Kak, beberapa hari ini saya perhatikan kamu selalu tidur larut malam. Alarmmu terlewatkan. Subuhmu telat. Ngapain sih?
Biasalah, dik, baca-baca.
Baca apa? Eh, kak, itu Agama NU, Pendar-Pendar Kebijaksanaan, Homo Deus, lipatannya tetap di halaman itu, dan itu sejak beberapa minggu lalu. Itu juga buku Tionghoa yang sudah lama sekali kamu beli, kalau bukan Tata yang buka segelnya, ndak akan terbuka. Kurangilah begadang, kak!
Heheh, belajar menulis-nulis, dik.
Nulis apa?
Tentang ayah.
Mana?
Ya tunggulah, sabar. Ini sedang berusaha mengingat-ingat yang mau saya tulis.
Iya, tapi sebaiknya pikirkan kesehatanmu juga.
Doakan saya selalu sehat, dik.
Hmmm.. Eh, kak, sudah berapa tahun ya ayah meninggal?
2017. Dik, kamu tahu, dulu ayah juga sering begadang. Bukan sering, hampir tiap malam ayah begadang.
Ngapain?
Selalu ada yang ayah hasilkan. Saya tahu karena ayah selalu menaruhnya di atas meja di ruang tamu. Kaligrafi aneka bentuk dari peralatan seadanya. Ayah membuat kaligrafi menggunakan pulpen biasa. Untuk menebalkan goresan pada bagian tertentu, ia biasanya menggunakan pulpen hero.
Pulpen hero?
Iya. Itu, pulpen yang bisa diisi ulang. Untuk mengisi ulang dawat harus dipompa. Tempat dawatnya berbentuk kotak dari kaca. Bentuknya mungil. Kalau ndak keliru, mereknya INK.
Bukan mereknya itu, kak. INK itu bahasa inggris, artinya tinta; dawat.
O….
Hahahahha…..
Selain kaligrafi, ayah juga senang menulis puisi. Dulu, puisi-puisinya sering saya baca. Tapi, saya ndak paham maksudnya apa. Puisinya yang paling saya ingat adalah “Pulau Kepastian” dan “Surga Primitif”.
Masih tahu puisinya, kak?
Ndak! Judulnya saja. Buku agenda tempat ayah menulis puisi juga sudah tidak tahu ada di mana. Puisi Pulau Kepastian itu ada visualisasinya juga, dik. Sebuah perahu (kaligrafi bismillah) sedang berlayar di atas gelombang yang sangat dahsyat di tengah samudera yang pekat. Warnanya benar-benar dibuat sangat hitam. Pake pulpen hero itu, dik. Sementara itu, nun jauh di sana, samar-samar sebuah titik api. Nyaris tidak terlihat. Meski samar, tapi jelas itu api. Nah, titik apinya itu dibuat warna merah. Kata ayah, perahu ini akan berlayar kesana. Tapi, ya sekedar itu saja penjelasannya. Mungkin ayah berpikir, dijelaskan sampai kapanpun saya tidak akan paham.
Dik, jangan berpikir bahwa saya menulis tentang ayah karena ada niat lain. Ndak, sama sekali tidak ada maksud lain selain berusaha mengabadikan kenangan tentangnya. Bagi saya, dik,, saat saya mengingatnya lalu menulis sesuatu apapun tentangnya, saya percaya bahwa dengan cara itulah ayah hadir dalam hidup saya dan mengajari saya menulis, walaupun sangat biasa sekali tulisan yang saya hasilkan. Ya namanya juga belajar, dik. Dan, sangat mungkin, ini juga menegaskan bahwa yang saya warisi dari ayah ya cuma dua itu ; penghayat rokok dan suka begadang. Lainnya tidak.
Kak, saya yang benar-benar nyata hadir dalam hidupmu, kok ndak menulis tentang saya?
Ya begitulah, dik, sejauh ini kamu terlampau susah saya tulis. Sudah, sudah saya coba berkali-kali. Kalau bukan penaku yang patah, rokokku yang habis.
Tidur duluan ya, kak…
Selamat tidur, sayang. Jangan lupa baca doa.
0 Komentar