Header

Header

CERMIN

Lebih setahun yang lalu kisah ini saya alami. Dua bulan setelah kejadian saya ingin menulisnya. Namun, entah apa sebabnya, kisah ini urung saya tulis. Setelah mengingatnya kembali, lima bulan sejak saya berniat menulisnya untu pertama kali, saya mencoba menulisnya lagi dan kembali gagal.
Kisah ringan ini akhirnya bisa saya tuangkan dalam tulisan, malam ini, setelah menidurkan anak bungsu saya. Karena si sulung selalu minta dibacakan buku/komik sebelum tidur, kami berbagi tugas. Saya yang menidurkan si bungsu, mengayunnya sambil nyanyi-nyayi. Juga mengaji dan shalawatan. Silih berganti. Jika tuntas beberapa lagu dan mata si bungsu masih terbuka lebar, kidung pengantar tidur saya ganti shalawat – nariyah, thala’al-badru, juga syi’ir tanpo wathon, doa abu nawas, doa selesai mengaji. Jika shalawatan tidak bertuah dan tidak menghadirkan kantuk di matanya, saya ganti dengan mengaji. Biasanya, tidak lama setelah itu, si bungsu tertidur. Saya sebenarnya bimbang dan tidak berani menyimpulkan bahwa si bungsu tertidur karena mendengar saya mengaji.

Di kamar belakang, isteri saya membacakan buku atau komik untuk si sulung. Si sulung mendengar sambil minum susu dari dot, dan kaki kirinya diletakkan di atas perut ibunya. Kalau ibunya beruntung, si sulung akan tidur saat buku tersisa beberapa halaman lagi. Dan jika sedang apes, si sulung akan meminta ibunya membacakan satu buku lagi. Permintaan si sulung ini acapkali menyulut pertikaian karena buku pertama yang baru saja dituntaskan sebelumnya sudah berkali-kali jatuh dari tangan ibunya.
Begitulah, kisah ini ditulis dengan susah payah. Satu tangan memegang tali dan bergerak naik turun dan tangan satu lagi memegang hape. Baru setelah si bungsu tertidur pulas, saya mulai merasa nyaman. Dan, hingga kisah ini selesai ditulis, lima batang rokok serta satu gelas ukuran besar kopi tandas.
Begini kisahnya….
Pada satu siang yang terik di sebuah kompleks perumahan yang terbilang elit, saya duduk di bangku tepat di depan sebuah warung. Cukup lama menunggu pemilik warung yang entah kemana. Hari itu, saya hendak membeli rokok. Hampir semua warung yang saya datangi tidak menjual rokok yang sedang saya cari. Di warung ini saja rokok sialan itu dijual.
Warung penjual barang campuran ini tersambung dengan badan rumah pemiliknya. Letaknya di sisi kanan. Di sisi kiri rumah terdapat sebuah garasi. Di warung itu, di kaca etalase, tertempel pengumuman yang ditulis di atas kertas putih dengan spidol besar berwarna merah. "Benar-benar tidak akan dilayani. Jangan coba-coba!", barangkali itu pesan yang terwakilkan dalam tinta merah tersebut
"Tidak Melayani Bong", begitu bunyi pengumuman itu tanpa bubuhan kata “Maaf” di awal kalimat sebagai pemanis. Mungkin maksudnya Bon, dugaanku begitu. Menurutku, karena riuh pertikaian politik pada pilpres telah usai dan Prabowo sudah pula bergabung dalam kabinet Jokowi, saya haqqul yakin bahwa Bong yang tidak dilayani di warung itu sama sekali bukan Cebong yang dimanipulasi, eh bukan, dimutilasi.
Saya sudah memanggil pemilik warung beberapa kali, tapi tidak ada suara menyahut dari dalam. Mungkin pemiliknya sedang makan siang. Atau sementara ngedan di toilet. Atau ia bersembunyi di kamarnya, mencuri kesempatan mengoleskan salep 88 di dua selangkangannya yang terpapar kurap atau mungkin kadas ganas.
Cahaya matahari kala itu benar-benar meneraka. Mendidihkan ubun-ubun dan memanggang tapak-tapak kaki para pejalan kaki. Saya merogoh handphone dari saku celana, lalu membuka dan baca-baca pesan whatsapp. Seratusan lebih pesan memberondong saat saya aktifkan data seluler. Ada banyak pesan yang kembar dan semua berstatus sama : "diteruskan" dengan ikon panah melengkung ke kanan.

Sesekali mampir di youtube dan menyambangi cuitan orang di twitter. Tentu saja, seperti biasa, lebih banyak nongkrong di facebook. Saya melakukannya agar tidak terjangkit rasa bosan, juga sekaligus menepi menghindar dari amukan matahari yang siang itu mencurahkan terik semaunya. Melampiaskan, ya melampiaskan sepertinya lebih mewakili ulah matahari siang itu ketimbang mencurahkan.

Beberapa menit kemudian, pemilik warung muncul. Seorang perempuan. Wajahnya tampak segar dan plong. Rambutnya masih basah. Dugaanku tentang kurap dan salep 88 meleset ribuan mil. Saya menempelkan ujung telunjuk ke kaca etalase menunjuk salah satu jenis rokok. 
Setelah mendapatkan rokok, saya kembali ke bangku tempat saya duduk sambil menyulut rokok. Belum separoh rokok saya hisap yang asapnya kadang menabrak wajah saya, lima puluhan meter dari tempat saya duduk, terlihat seorang ibu-ibu menenteng beberapa buku, tak berpayung, berjalan di atas aspal yang nyaris meleleh. Ia hendak berbelok ke salah satu rumah yang cukup mewah, sekitar dua puluhan meter sebelum menjangkau saya.
Saya memperhatikannya, dan, ya... saya mengenalinya. Ia adalah orang yang sama datang ke rumahku tempo hari meminta sumbangan atas nama rumah yatim piatu yang lokasinya berada di sebuah kota yang berjarak ratusan kilometer dari rumahku.
Selain meminta sumbangan, ibu itu juga menjual buku-buku, seperti Tata Cara Shalat Lengkap, Perihnya Siksa Neraka, Khutbah Jumat Sepanjang Masa, dan Kisah Terowongan Angker. Untuk buku yang terakhir, alih-alih menghubungkan dua rumah ibadah, terowongan angker ini adalah terowongan buntu dan dipenuhi hantu-hantu yang senang menebar rasa takut kepada para petani yang sedang bekerja di sawah-sawah mereka.
Sebelum memasuki halaman rumah, saya sukses melompat lalu menyelinap ke dalam tas peminta sumbangan berkulit agak gelap itu melalui celah resleting yang tidak tertutup dengan sempurna.
Saya bersembunyi di dalam tas. Setelah mengetuk pintu dan mengucap salam, sepasang suami isteri keluar dan mempersilakan si peminta sumbangan duduk di kursi teras. Saya menguping dan merekam pembicaraan mereka dari dalam tas. Sesekali mengintip keluar melihat wajah-wajah mereka. Si suami, saya dengar tidak pernah menanyakan harga buku-buku yang ditawarkan. Ia hanya membolak-balik dan membaca judulnya saja. Ia lebih banyak mengajukan pertanyaan, seperti seorang polisi menginterogasi seorang residivis terduga pelaku pencabulan atau pencurian. Setelah semua pertanyaan dijawab tuntas si peminta sumbangan, ia dengan halus menyuruhnya pergi dan mengarahkannya ke rumah tetangga. Rasanya, tidak sanggup membayangkan perasaan ibu peminta sumbangan setelah seluruh pertanyaan ia jawab, namun akhirnya ia tetap dinyatakan tidak lulus.
Dari wajah isteri pemilik rumah, saya menangkap ketidaksenangan terhadap sikap suaminya. Ia merasa sangat jengkel melihat perlakuan suaminya terhadap ibu-ibu peminta sumbangan itu. Sebelum peminta sumbangan mencapai pintu pagar, saya lekas-lekas melompat dari dalam tasnya. Saya berjalan mengendap mendekati sepasang suami isteri yang masih duduk-duduk. Benar saja, setelah berada di antara mereka, si isteri membuka percakapan.
"Apa susahnya sih, pah, memberi sumbangan ke orang tadi?", ketus si isteri.
"Saya bukannya tidak mau, mah", jawab suaminya sambil merogoh kantongnya dan mengeluarkan rokok dan korek. Sialan, rokok dan koreknya sama dengan punya saya. Pasti ia juga membeli di warung tempat saya beli.
"Kalau tidak mau, lantas tadi papah kasih berapa ke orang itu?
"Kita mesti waspada, mah. Sekarang ini banyak penipu. Kedoknya macam-macam. Kita tidak boleh langsung percaya begitu saja", si suami menangkis.
"Sejak kapan sih pah kamu jadi sedetail itu?"
"Hah..! Maksudmu?"
"Kamu sudah lupa pertanyaan-pertanyaanmu kepada orang itu tadi? Mulai dari surat izin, sejak kapan berada di sini, berapa orang temannya, benar tidak rumah yatim piatu ini ada, mengapa minta sumbangan sampai jauh-jauh ke sini....."
"Itu harus, Mah"
"Kenapa sih, untuk mengeluarkan uang yang nilainya tidak seberapa itu kamu sampai sedetail itu? Padahal, setiap kali kamu memberi saya uang, kamu tidak pernah menjelaskan dengan detail bagaimana proses uang itu kamu peroleh, sedetail saat kamu diminta mengeluarkannya. Kenapa tadi kamu tidak sekalian menanyakan kepada peminta sumbangan itu berapa jumlah keseluruhan halaman semua buku yang dibawa, atau di halaman mana di tiap buku itu ada perintah berbuat adil?", wajah isterinya memerah ranum. Semakin meninggi emosinya, semakin ranum wajahnya dan membuat mataku enggan berkedip.
Mati kutu. Suaminya tidak menjawab. Ocehan isterinya benar belaka.
Saya mendapati beberapa keanehan. Perlahan-lahan wajah isterinya jadi mirip wajah isteriku. Saya tidak percaya. Saya mengucek mata dan menatapnya kembali lebih seksama, tapi ia semakin mirip isteriku. Suaranya pun begitu, seperti suara isteriku.
Saya melirik ke wajah suaminya, dan, kau tahu, saya merinding. Wajah suaminya juga berubah dan menjadi mirip wajahku.
Saya kembali mengucek-ngucek mata sambil berharap apa yang saya lihat tidak lebih ilusi belaka atau penglihatanku menjadi semakin buruk karena efek kurang darah dan jarang makan sayur karena penyakit asam urat. Namun, apa yang sedang saya saksikan semakin membuatku berpikir bahwa sebentar lagi saya akan menjadi manusia sedeng dan akan segera dikirim ke rumah sakit jiwa.
Saya benar-benar nyaris dibuat gila. Saat pasangan itu menuju pintu, dan sebelum mereka lenyap ke dalam rumah, suami isteri itu berbalik dan melempar senyum ke arahku seolah-olah mereka melihatku. Dan tepat di titik ini, wajah suami isteri yang ada di depan mataku adalah benar-benar wajah saya dan wajah isteri saya. Saya merasa sedang berada di depan cermin mamandangi wajah sendiri.
Sumber : detikLife

Saya meninggalkan rumah dan dua wajah aneh itu. Saya kembali ke wujud normal dan berjalan menuju pagar. Kau tahu, ibu peminta sumbangan itu ternyata belum pulang. Ia menepuk pundakku saat saya mencapai pagar. Jantungku seperti mau copot. Ia lalu menyodorkan sebuah map lusuh. Di dalam map itu ada kertas berisi daftar nama-nama penyumbang. Ada yang menyumbang 50.000, ada yang 20.000 dan 10.000. Tentu saja, saya tidak mendapati nama saya di sana. 

***

Posting Komentar

0 Komentar