Pada satu laga persahabatan yang
dilakoni AC. Milan, Kevin Prince Boateng, gelandang serang Milan asal Ghana
tiba-tiba memungut bola yang sedang dalam penguasaannya, lalu menendangnya ke
atas tribun yang disesaki suporter tuan rumah. Prince marah. Jersey il diavolo
rosso dilepas kemudian melakukan aksi walk out. Beberapa orang pemain mencoba
menahannya dan mengajaknya untuk terus bermain. Namun, Prince menampik semua
niat baik dan empati itu. Prince terlanjur marah dan kecewa akibat ulah suporter
rasis biadab van brengsek itu.
Sumber : BBC |
Prince tidak sendirian.
Mario Balotelli, saat berseragam Milan, juga tidak luput dari amukan lisan rasis
suporter. Tidak ketinggalan, Samuel Eto’o pun mengalami hal yang sama. Diskriminasi
rasial memang begitu sensitif. Super Mario dan Eto’o yang perkasa di atas lapangan,
tumpah jua air matanya. Hatinya hancur. Namun, seburuk apapun perlakuan para supporter
tuna adab dan moral, tidak akan pernah ditemukan alasan untuk menyesali diri
karena telahir sebagai manusia, sepekat apapun warna kulit. Life must go on,
akhi! Come on!
Selain Eto’o dan dua
punggawa Milan, ada banyak pemain top dunia berkulit legam lainnya yang pernah
mendapat perlakuan rasial. Respon para pemain yang menjadi korban berbeda-beda.
Ada yang merespon dengan emosional, dan yang menanggapi dingin juga ada. Dani
Alves, misalnya, alih-alih menangis atau menghardik atau menantang suporter
yang melemparkan kepadanya pisang, Dani malah memungut, mengupas dan
menyantapnya sebelum mengeksekusi tendangan pojok. Alex Ferdinand dan Patrice
Evra juga mengalami perlakuan serupa. Rasisme yang diterima Alex dan Evra,
ironisnya, datang dari sesama pesepakbola. Alex dihina si penghina-terhina John
Terry, sementara Patrice Evra dicela oleh si pencela-tercela Luis Suarez.
Meski para pesepakbola
korban rasis menunjukkan respon berbeda, hati dan perasaan mereka sama.
Sama-sama terluka.
Saya sering menonton video
rasis dalam sepakbola. Satu video, sebelum saya donlot, saya akan memutarnya
berulang-ulang. Saat menonton tubuh saya mengalami banyak sensasi. Bulu-bulu di
tubuh saya berdiri. Seperti ada ribuan jarum akan segera menerobos keluar dari wajah
dan seluruh tubuh saya. Hati menjadi basah, dan beberapa saat kemudian
bendungan di mata saya benar-benar retak dan jebol.
Itu
baru di sepakbola, belum lagi dalam kehidupan sehari-hari. Barangkali, yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa kejadian-kejadian memalukan seperti itu banyak terjadi
di eropa. Bangsa Eropa, menurut riwayat, mereka adalah ras unggul, bermata biru
dan berambut pirang. Bangsa yang senang mengkoloni bangsa lain dengan alasan
pemberadaban. Dengan seenak perutnya, bangsa jajahannya diklaim sebagai bangsa
yang terbelakang. Karena itu, mesti diberadabkan. Tentu saja tidak semua orang
eropa. Namun, yang menjadi catatan, setelah sekian lama mendaku sebagai bangsa
beradab dan karena alasan itu juga -alasan sebenarnya adalah untuk menguasai
sumber daya alam- mereka menjajah bangsa lain, namun, paktanya, mereka sejauh
ini gagal memberadabkan bangsanya sendiri.
Di akhir februari lalu,
terjadi pengereyokan terhadap seorang sopir truk di Papua. Kebetulan yang
menjadi korban adalah warga asal Sulawesi, Polewali Mandar. Namanya Yus Yunus.
Yus adalah perantau yang sudah belasan tahun tinggal di Nabire, Papua.
Sementara segerombol pelaku adalah orang asli Papua. Yus dihabisi oleh para
sadis yang mengamuk kesetanan. Main hakim sendiri dan menghilangkan nyawa tanpa
mengetahui secara persis kesalahan yang dilakukan korban. Tindakan yang
kemudian menuai banyak kutukan. Dan, memang, atas nama hokum dan hak asasi manusia,
kebrutalan mereka wajib dilaknat.
Di Sulawesi, khususnya di bagian
barat, daerah asal Yus Yunus, masyarakat, para aktivis pemuda dan mahasiswa,
kepala desa, jomblo, janda, duda, sampai wakil rakyat semua merespon keras.
“Hukum harus ditegakkan!
Adili dan hukum pelaku seberat-beratnya!”
Kemarahan adalah api.
Menyala-nyala, lidahnya menjilat-jilat. Ia bisa melalap habis apa saja yang ada
di dekatnya, termasuk rasionalitas. Di tengah arus gelombang kemarahan yang sulit
dibendung, pada titik tertentu muncul riak berisi sumpah serapah dari para
pemrotes dan pengutuk kekejian terhadap Yus Yunus. Terlontarlah kata-kata
monyet yang cenderung menggeralisasi. Artinya, bukan hanya dialamatkan kepada
pelaku, tapi kepada keseluruhan warga papua.
Riak-riak itu bukannya
muncul sekali lalu lenyap. Riak itu seperti memilki kekuatan magic.
Kemunculannya disambut riak yang sama pada titik yang berbeda. Banyak yang
menyesalkan, beberapa yang membiarkan, pun tidak sedikit yang menganggapnya
ajakan yang jika ditolak sama artinya ketidakpekaan dan tidak setia kawan.
Riak-riak itu lahir dan
muncul dari rasionalitas yang terbakar api kemarahan. Teriak keadilan, namun
tidak menyadari kenyataan bahwa mereka telah meninggalkan keadilan sejauh yang
mereka bisa. Seorang kawan pemilik gocekan maut serta pejuang toleransi berkata,
teriak kemanusiaan tapi pada saat yang sama lupa menjadi manusia.
Mengatai homo sapiens yang
tengah bergerak menuju menjadi homo deus sebagai monyet jelas kesalahan besar
dan tidak akan ditemukan tuntunannya di kitab manapun. Al-quran sendiri memberi
kode dan larangan keras.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang
lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari
mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok)
wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok)
itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela
dirimu sendiri. Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk).
Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan
barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”
Kita tentu dibuat tidak
habis pikir, bagaimana bisa sekelompok orang menyebut manusia lain sebagai
monyet? Padahal mereka sama-sama berjalan tegak. Sama-sama berpikir dan
membangun perdaban. sama-sama marah dan terluka perasaannya jika dihina.
Sama-sama sedih saat di rundung duka. Jika terjebak situasi lucu, pun mereka
sama-sama tertawa.
Tentu ada banyak yang bisa
ditiru atau diadaptasi dari bangsa Eropa. Jika tidak mampu menghalau hasrat
memiliki ciri fisik bangsa eropa, misalnya, seseorang bisa membeli lensa atau
pewarna rambut. Namun, memilih mengadaptasi sikap dan lisan rasis sebagian dari
mereka jelas merupakan pilihan yang sungguh dungu dan buruk.
Agar tidak menjadi rasis, sesekali
nontonlah sepakbola. Sekali dua kali, rasa suka dan cinta akan muncul. Jika
kelak tidak sanggup lagi melewatkan satu laga saja, jadilah pecinta sepakbola
yang baik dan benar yang berada di atas jalan yang lurus. Pecinta sepakbola
yang memerangi rasisme di sepakbola dan di mana saja dan kapan saja. Bagaimana caranya?
Mulailah dengan menjadi Milanisti.
Say No To Racism!
Forza!
0 Komentar