Kulihat ia menggambar di dini hari pertama ramadan. Tangan kanannya menggerakkan pena, sebatang rokok terapit di antara jari tengah dan telunjuknya. Panjang abunya, hampir sama panjang dengan bagian yang belum dilalap api. Tidak ada asbak. Abu itu rontok di atas sarungnya saat ia kembali menghisap rokoknya. Entah tidak disadari atau memang dibiarkan, tapi sama sekali tidak ada gerakan refleks untuk menghalau agar abu tidak mengenai sarungnya.
Gelas berukuran besar berdiri tegak seperti gedung pencakar langit tepat di depannya. Isinya tinggal ampas dan beberapa tetes sisa kopi tergenang di atasnya. Mungkin kopinya tandas sejak setengah jam atau sejam yang lalu.
Ia tidak pernah butuh asbak saat merokok. Tidak pernah pula berusaha membuang puntung rokoknya ke tanah melalui celah lantai. Piring kecil alas gelas kopinya penuh sesak puntung rokok. Di bagian pinggir meja juga terlihat bangkai rokok dengan abunya yang panjang masih tersambung dengan filter. Mungkin karena terlalu serius menggambar, ia menyulut sebatang rokok baru dan lupa bahwa ia masih punya rokok yang belum dihabiskan. Isterinya, dengan posisi miring, mendengkur lembut, meringkuk di dalam sarung persis di belakang kursi tempatnya duduk. Sebelum teriakan sahur dan suara baskom diadu atau jerigen ditubrukkan memecah kesunyian oleh anak remaja, ia akan membangunkan isterinya menyiapkan makan sahur.
Saya mendapatinya lagi di dini hari kedua ramadan. Sama, ia masih menggambar. Melanjutkan gambar pada malam sebelumnya yang belum selesai. Namun, kali ini, di tangannya hanya ada pena. Sebatang rokok tergeletak di samping pembungkusnya, di atas meja, dengan kondisi mengenaskan, tampa bentuk, penyok. Kopinya tersisa kurang dari setengah gelas. Sisa kopi dan sebatang rokok itu akan mengantarnya menyudahi aktivitas menggambarnya untuk beralih ke laku menghidupkan malam-malam istimewa.
Ia melanjutkan lagi menggambar di malam ketiga. Berbeda dengan dua malam berlalu, kali ini ia menggambar lebih awal, sepulang salat tarwih. Belum terlalu lama ia berusaha menyempurnakan gambarnya, pintunya diketuk. Ia kedatangan seseorang. Tamu itu masih kerabatnya. Setelah menghidangkan kopi dan kolak sisa santapan berbuka, isterinya pamit ke dalam kamar. Benerapa saat kemudian, mereka berdua terlibat dalam perbincangan hangat dan cukup serius, hingga dini hari.
Kembali ia duduk di kursi yang sama di malam keempat. Saya belum sekalipun mengintip apa yang digambarnya sampai malam kelima saat tamu di malam ketiga itu datang lagi, dan berbincang lagi sampai dini hari. Sesekali saya mencuri dengar pembicaraan mereka berdua. Meskipun perbincangan mereka acapkali menyebut kata setan, kotor dan munafik, namun saya berpikir bahwa apa yang mereka bicarakan sama sekali tidak ada kaitannya dengan politik. Saya merasa jauh lebih baik tidur saja agar bangun lebih segar saat makan sahur tiba daripada berkeras memahami inti pembicaraan yang tidak mungkin saya pahami.
Keesokan harinya, saat ia tertidur dengan buku mengungkap kematian manshur al-hallaj di tangannya, barulah saya membuka buku agenda tempat ia menggambar. Ia menyimpannya di atas meja. Lembar demi lembar saya buka. Ada banyak catatan di sana. Selain doa-doa keselamatan, doa ketika terjadi angin kencang, dzikir dan wirid, surah-surah khusus untuk shalat tertentu - semuanya dilengkapi keterangan dari mana doa dan dzikir itu diperoleh - juga terdapat benerapa puisi yang tidak kupahami. Hampir semuanya saya baca, sehingga saya menghabiskan cukup banyak waktu untuk sampai pada gambar yang saya cari.
Perahu. Selama lima hari ini ia menggambar perahu. Perahu itu sedang berlayar di samudera luas. Samudera dengan laut yang hitam pekat dan gelombang setinggi rumah.
Laksana perahu yang menunggangi gelombang laut pekat dengan perkasa, ia menyeberangi malam demi malam ramadan yang tenang dalam keadaan terjaga. Sebentar lagi ia akan sakit dan tidak puasa untuk satu atau dua hari, pikirku. Atau, setidaknya, ia akan mendekati dinding kamar atau apapun yang bisa dijadikan pegangan saat hendak berdiri karena matanya berkunang-kunang akibat kurang darah. Namun, dugaanku tentang kondisi buruk itu meleset jauh, mungkin ratusan mil. Terbukti, ia selalu sehat-sehat saja. Entahlah, barangkali ia memiliki doa atau amalan anti kurang darah dan mata berkunang-kunang yang sengaja tidak dicatat dalam buku agendanya yang menjadi galeri dzikir, wirid, doa-doa.
Saya tidak bersamanya setelah malam kelima. Karena kebiasaannya setiap ramadan sedari dulu, saya yakin tidak ada satupun dari malam-malam ramadan ia lalui dan ia bercerita tentang mimpinya setelah makan sahur sampai saya datang lagi pada malam kedua puluh tujuh.
Tiga malam terakhir yang sakral dan membuat banyak orang rela terjaga sembari berharap meraih berkah dan kemuliaan di dua malam ganjil. Lailatul qadar. Malam penuh berkah, malam ganjil, lebih utama daripada seribu bulan sekaligus malam paling misterius dari keseluruhan malam ramadan. Misteri di malam itu kadang bikin bingung. Karena kerap ada orang yang tidak pernah mempersiapkan diri menyambutnya dikabarkan telah didatangi lailatul qadar dalam wujud manusia sepuh berjubah putih, berjenggot. Dan orang yang dikabarkan didatangi itu meminta sesuasu, maksudnya sesuatu yang asu, kepada sosok berjubah dan berjenggot itu : Nomor Togel.
0 Komentar