Header

Header

SIAPA BILANG?

Siapa bilang negeri ini negeri para pemalas.? Suara itu masih mengalir nyaring sampai sekarang, hingga detik ini.!


Suara yang sama terdengar sekitar 25 tahun yang lalu, bahkan lebih. Tak ada yang berubah dari muasal suara itu. Masih nyaring dan dilantunkan orang yang sama, tampilan yang sama, suara khas melengking memecah langit, pun peralatan yang sama, amat sederhana dan jauh dari kemodernan. Suara itu tiap hari menyapa akrab seisi kampung, pada jam yang sama (09.00 wita, selalu tepat waktu). Tidak hanya di depan rumah di pinggiran jalan besar yang berdebu, di tengah hiruk pikuk kendaraan, tapi meliuk-liuk sampai di depan rumah yang letaknya agak jauh dari jalan besar. Sekedar mengingatkan dan memberitahu bahwa dia datang ; menyapa, berdiri beberapa menit lalu berlalu (jika tidak mendapat respon)

Siapa bilang negeri ini negeri para pemalas.? Suara itu masih mengalir nyaring sampai sekarang, hingga detik ini.!

Tiap hari di pagi buta, usai subuh ditunaikan, mereka beranjak tinggalkan rumah dan kampung yang masih sepi dan berselimut kebekuan. Sejuta harap mengawasi langkahnya ; semoga segalanya terjangkau 'isi kutang' (tidak jarang mereka menyimpan uang dalam plastik bekas pembungkus gula di dalam kutangnya : dompet anti maling), dan semoga usaha berkah di sisi-Nya. Di pasar, mereka menawar dan membeli, lalu dijual dgn keuntungan yang semestinya, bahkan tidak jarang dengan senang hati mereka memberi keringanan kepada mereka yang sedang butuh tapi tidak mampu menukar ikan dgn rupiah (lain waktu dilunasi, tanpa bunga sepersen pun ; mereka mujahid bukan rentenir). Mereka adalah roda ekonomi keluarga. Mereka berjuang tak kenal lelah. Potongan bambu sepanjang 1,5 meter, sepasang bakul dan berhelai-helai daun pisang yang sudah kering menjadi saksi bisu perjuangannya. Matahari yang membakar tapak kaki sampai ke ubun-ubun dan peluh yang mendidih menggelinding di sudut mata, pun tak menyurutkan langkah mereka, demi nafas para penghuni 'surga' (bayti jannatiy).

Siapa bilang negeri ini negeri para pemalas.? Suara itu masih mengalir nyaring sampai sekarang, hingga detik ini..!

Sangat sering mereka diabaikan dan diperlakukan semena-mena oleh pengemudi angkot yang tidak ingin lantai mobilnya terkotori oleh tetes darah bangkai ikan, atau oleh penumpang yang tiba-tiba urungkan niat untuk satu angkot dengan mereka hanya karena tidak sudi dandanannya tercemar oleh aroma bakul yang (memang) amat memusuhi hidung. Dan ketika mereka mendapat respon dari pengemudi angkot, itu artinya alamat ongkos - biasanya - lebih mahal dari tarif biasa harus dibayar. Mau tidak mau, rela atau tidak rela, mereka harus menerima tarif khusus dari si pengemudi karena pelanggan isi bakul sudah resah menanti. Beberapa kilometer sebelum rumah mereka, mereka sudah menyetop angkot, turun lalu berjalan dgn beban di pundak dan menyapa langganan yang selalu setia menanti di depan rumah mereka di sepanjang jalan yang ditapaki, jalan yang di atasnya matahari terbit dan terbenam.

Siapa bilang negeri ini negeri para pemalas.? Suara itu masih mengalir nyaring sampai sekarang, hingga detik ini..!

Suara itu terus mengalir di ruas-ruas jalan, di sela kerikil dan di atas jalanan berlobang yang mereka tapaki..
Mereka (pemilik suara nyaring itu) adalah orang-orang sabar dalam pekerjaannya, orang-orang yang bertawakkal kepada Allah., insya Allah..
Mereka adalah Ibu yang gagah perkasa.!
Mereka adalah Perempuan yang Luar Biasa.!
Mereka ulet, rajin dan tak kenal menyerah..

Siapa bilang negeri ini negeri para pemalas.?

*Persembahan untuk Penjual Ikan Keliling di Kampungku*

Posting Komentar

0 Komentar