Header

Header

PAK MARKUS SAHABATKU

Langkah kaki mengendap pelan
Di atas keramik yang tampak angkuh
Kerap mencibir alas kakimu yang kusut
tak jelas warnanya apa

Di tanganmu, tong sampah plastik
mata tajam menelisik
Menyapa tiap sudut ruangan
Memastikan tak ada sampah berseliweran
Atau butiran debu
Yang ditinggalkan sepatu berseragam LINMAS

Sesaat sampah terlucuti
Tong sampah penuh, lalu beranjak pergi
Bersama tuturmu yang santun
Bergegas menuju bagian belakang
Tempat membuang lelah seharian
Di atas kardus
Di sebelah motor kusut
Yang tampak mengutuk tubuhnya
Engkau berbaring, dan terlelap

Aneka mimpi teraih di atas kardus dekil
yang bagimu
Tak jauh beda dengan tempat peristirahatan dewi-dewi
Kusaksikan nafasmu
Merdeka tanpa beban
Meski hidup yang kau kecap
Tak selezat yang mereka rasa
Aku lalu berpikir
Tenggelam dalam telaga ketidak tahuanku
Tentang makna sebuah kebahagiaan...

Kutapakkan kaki lebih hati-hati
Saat melintas di sisimu
Karena pintu tempat buang hajat
berada tepat di kepalamu
Engkau begitu menikmati mimpimu
Hingga suara tangis pintu
Tak mengusik sadarmu
Sesaat kemudian...
Usai buang hajat
Engkau tak lagi kudapati

Ketika aku masih duduk diam termangu
Sekonyong-konyong engkau datang
Menghampiri motor kusut
Yang seolah merasakan lelahmu
Dia membiarkan tubuhmu bersandar ke tubuhnya
Segelas air dalam genggaman
Serta butiran-butiran kimia pengusir perih
Cukup akrab denganmu siang itu

Selongsong tanya memberondongimu
seperti peluru
Dari benakku yang memendam beribu rasa penasaran
Memaksamu berkisah
Tentang jalan hidup
Yang lelah kau tapaki

Rasa sakit yang cukup lama berdiam di ujung hidungmu
Mengawali kisahmu siang itu
Bahasamu, aku suka bahasamu
Karena mengajariku banyak kosa kata
Aku ingat, saat kau menyebut "Family"
Untuk melisankan kata "Keluarga"

Keasyikan engkau berkisah
Sampai kau mengajakku
Berwisata ke tahun 40 an
Masa dimana rohku belum ditiupkan
Terkenang dikau
Tantang nostalgia masa kecilmu
Mengais ilmu di Sekolah Rakyat (SR)
Kau kisahkan tentang 4 orang guru yang bengis
Dan seorang teman kecilmu
Yang gemar membangkang
Melawan Kebengisan
Dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah

Aku menyela kicaumu
Sambil mengingatkanmu pada butiran kimia
Aku menyela
Karena kau seolah mencerca Oemar Bakri
Guru Panutanku
Yang membidani lahirnya para jenius di Negeri ini
Sesaat kemudian....
Engkau lanjutkan kisahmu

Usai kau kisahkan tentang isterimu
Anak-anakmu,
Cucu dan menantumu
Sejenak kau terdiam beku
Guratan sedih tampak jelas di wajahmu

Engkau semakin keasyikan berkisah
Entah kenapa...???
Tiba-tiba lisanmu terbangkan pikiranku
Terbang ke masa Perang Dunia kedua
Lalu kita mendarat di kota Hiroshima dan Nagasaki
Dua kota di Jepang yang rata dengan tanah
Oleh amukan bom atom serdadu Amerika

Entah bagaimana kisah itu, tiba-tiba kau hamparkan.?
Aku kian larut dalam kisahmu

Namun, suaramu menjadi samar-samar di telingaku
Kian hilang terusir amarah hujan
Yang membuat onar atap jawatan
Tampak jelas di mataku
Semangatmu menuntaskan kisah siang itu
Tapi langit terus menangis tak terbendung
Hingga aku pamit meninggalkanmu sendiri
ditemani kardus usang
Motor yang usang
Yang selalu setia menjaga lelapmu




Mamuju, 15 Pebruari 2010

(Dalam catatan ini : Pak Markus, seorang Cleaning Service di sebuah jawatan di Prov. Sulawesi Barat)

Posting Komentar

0 Komentar