Langkah kaki mengendap pelan Di atas keramik yang tampak angkuh Kerap mencibir alas kakimu yang kusut tak jelas warnanya apa Di tanganmu, tong sampah plastik mata tajam menelisik Menyapa tiap sudut ruangan Memastikan tak ada sampah berseliweran Atau butiran debu Yang ditinggalkan sepatu berseragam LINMAS Sesaat sampah terlucuti Tong sampah penuh, lalu beranjak pergi Bersama tuturmu yang santun Bergegas menuju bagian belakang Tempat membuang lelah seharian Di atas kardus Di sebelah motor kusut Yang tampak mengutuk tubuhnya Engkau berbaring, dan terlelap Aneka mimpi teraih di atas kardus dekil yang bagimu Tak jauh beda dengan tempat peristirahatan dewi-dewi Kusaksikan nafasmu Merdeka tanpa beban Meski hidup yang kau kecap Tak selezat yang mereka rasa Aku lalu berpikir Tenggelam dalam telaga ketidak tahuanku Tentang makna sebuah kebahagiaan... Kutapakkan kaki lebih hati-hati Saat melintas di sisimu Karena pintu tempat buang hajat berada tepat di kepalamu Engkau begitu menikmati mimpimu Hingga suara tangis pintu Tak mengusik sadarmu Sesaat kemudian... Usai buang hajat Engkau tak lagi kudapati Ketika aku masih duduk diam termangu Sekonyong-konyong engkau datang Menghampiri motor kusut Yang seolah merasakan lelahmu Dia membiarkan tubuhmu bersandar ke tubuhnya Segelas air dalam genggaman Serta butiran-butiran kimia pengusir perih Cukup akrab denganmu siang itu Selongsong tanya memberondongimu seperti peluru Dari benakku yang memendam beribu rasa penasaran Memaksamu berkisah Tentang jalan hidup Yang lelah kau tapaki Rasa sakit yang cukup lama berdiam di ujung hidungmu Mengawali kisahmu siang itu Bahasamu, aku suka bahasamu Karena mengajariku banyak kosa kata Aku ingat, saat kau menyebut "Family" Untuk melisankan kata "Keluarga" Keasyikan engkau berkisah Sampai kau mengajakku Berwisata ke tahun 40 an Masa dimana rohku belum ditiupkan Terkenang dikau Tantang nostalgia masa kecilmu Mengais ilmu di Sekolah Rakyat (SR) Kau kisahkan tentang 4 orang guru yang bengis Dan seorang teman kecilmu Yang gemar membangkang Melawan Kebengisan Dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah Aku menyela kicaumu Sambil mengingatkanmu pada butiran kimia Aku menyela Karena kau seolah mencerca Oemar Bakri Guru Panutanku Yang membidani lahirnya para jenius di Negeri ini Sesaat kemudian.... Engkau lanjutkan kisahmu Usai kau kisahkan tentang isterimu Anak-anakmu, Cucu dan menantumu Sejenak kau terdiam beku Guratan sedih tampak jelas di wajahmu Engkau semakin keasyikan berkisah Entah kenapa...??? Tiba-tiba lisanmu terbangkan pikiranku Terbang ke masa Perang Dunia kedua Lalu kita mendarat di kota Hiroshima dan Nagasaki Dua kota di Jepang yang rata dengan tanah Oleh amukan bom atom serdadu Amerika Entah bagaimana kisah itu, tiba-tiba kau hamparkan.? Aku kian larut dalam kisahmu Namun, suaramu menjadi samar-samar di telingaku Kian hilang terusir amarah hujan Yang membuat onar atap jawatan Tampak jelas di mataku Semangatmu menuntaskan kisah siang itu Tapi langit terus menangis tak terbendung Hingga aku pamit meninggalkanmu sendiri ditemani kardus usang Motor yang usang Yang selalu setia menjaga lelapmu
Mamuju, 15 Pebruari 2010
(Dalam catatan ini : Pak Markus, seorang Cleaning Service di sebuah jawatan di Prov. Sulawesi Barat)
0 Komentar