Header

Header

BORAHING DAN TUHAN YANG HILANG

Sejak dua minggu lalu, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, beberapa hari terakhir ini, setiap kali berada di rumah Tuhan untuk beribadah, ia merasa seolah berada dalam bangunan tak bertuan. Rumah Tuhan tidak lagi menggertarkan hatinya. Tempat wudhu di mana ia biasa menyaksikan dosa-dosanya luruh terseret air bekas wudhu ke pembuangan, tidak ada lagi pemandangan seperti itu. Kini, semuanya menjadi biasa saja, sangat biasa. Kosong.

Puncak kekosongan itu ia rasakan di hari jumat saat ia sedang memainkan ibu jari di atas ruas-ruas keempat jarinya yang dijadikan pengganti butir-butir tasbih. Ia bertanya-tanya apakah semua orang mengalami hal serupa. Tapi, pertanyaan itu disimpan untuk dirinya sendiri. Selain ia mencoba menemukan sendiri jawabannya, kekhawatiran jika apa yang dialaminya merupakan alamat bahwa betapa hatinya sedang sakit parah, pun terlalu kuat menghantuinya.

Hari demi hari kekosongan itu berlanjut. Ia menimbang-nimbang untuk tidak datang lagi ke rumah Tuhan. Percuma saja datang setiap hari, namun pemilik rumah tidak pernah ia rasakan kehadirannya. Mungkin pikirnya seperti itu. Namun, setelah berpikir bahwa jika benar apa yang dialaminya adalah tanda hatinya sedang sakit seperti dugaannya, bukankah mencegat langkah menuju rumahNya akan semakin memperparah kondisinya? Pikiran-pikiran putus asa itu kembali dienyahkan. Ia akhirnya tetap datang, namun dengan semangat yang benar-benar merosot dan kehilangan hatinya sendiri.

Waktu berlalu dan hatinya belum juga kembali. Bosan dengan keadaannya, dengan kemunafikannya, ia akhirnya benar-benar memilih memutus langkahnya ke rumah Tuhan.

Tidak ada peristiwa aneh atau kejadian mengerikan terjadi setelah keputusan itu diambil. Langit tetap diam saja dan tidak murka padanya. Pun tidurnya selalu pulas. Tidak pernah hadir mimpi mistis, misalnya, seseorang berpakaian serba putih dengan janggot panjang memutih mendatanginya dan bertanya mengapa ia tidak pernah lagi hadir di rumah Tuhan. Atau bermimpi melihat dirinya sedang berdiri di tengah antrean panjang di gerbang neraka dengan peluh yang nyaris meneggelamkannya, kemudian terbangun dengan dada yang sesak dan tubuh penuh keringat. Tidak ada. Bahkan, kokok ayam-ayamnya tetap membangunkannya sebelum fajar.

Meskipun tidak lagi mendatangi rumah Tuhan, di rumahnya, ia tetap melaksanakan kewajiban salat. Tentu saja, saat di rumahnya, hal sama ia rasakan saat mengerjakannya di rumah Tuhan. Kosong. Tidak mengerti ia berdiri untuk siapa, rukuk buat apa dan sujud kepada siapa. Ritual itu dilakukan semata sebagai sisa-sisa kerutinan masa lalu. Ia mulai membenar-benarkan ocehan para pemabuk tentang salat yang sekadar olah raga dan tidak lebih menyehatkan daripada bermain sepakbola. Ia kehilangan salatnya. Kehilangan Tuhannya.

Tidak tahan dengan kondisi jiwa yang kian hari kian kering, pertanyaan yang selama ini disimpan untuk dirinya sendiri, dibuka juga untuk orang lain.

Ia berjanji pada suatu hari kepada dirinya sendiri. Kepada siapa pun yang nanti ia jumpai di jalan akan ditanyakan padanya: di mana Tuhan, apa kau melihatNya?

Pada suatu pagi, setelah memberi makan ayam-ayamnya, di bawah langit yang cemberut, ia meninggalkan rumah. Pintu dan semua jendelanya sengaja dibiarkan terbuka. “Jika saat aku keluar dan Kau datang, Tuhan, silakan masuk dari pintu dan jendela mana saja yang Kau suka”, gumamnya dalam hati.  

Pencariannya dimulai. Sepanjang jalan yang dilalui, ia terus menerus menanyai setiap orang dengan pertanyaan yang sama. Tentu saja tidak satu jawaban pun ia peroleh. Orang-orang ada yang mengernyitkan dahi, meremehkan, ada pula yang lari ketakutan dan menganggapnya gila. Meski harapannya tentang keberadaan Tuhan yang tiba-tiba hilang belum juga menemukan titik terang, ia tak berputus asa. Ia terus melanjutkan pencarian, pasrah mengikuti kemana sepasang kakinya menuju.


Setelah seharian berjalan keluar-masuk lorong, tak seorang pun yang memberinya jawaban juga alamat yang bisa dijadikan petunjuk. Ia merasakan tubuhnya menjadi sangat lelah. Ia memegangi perutnya. Rasa lapar meremas hebat lambungnya. Ia teringat rumahnya yang sudah sangat jauh ia punggungi. Dugaan tentang Tuhan yang sudah lama menunggunya di rumah sejak ia pergi juga sesekali mampir.

“Apakah benar saya gila seperti anggapan orang-orang itu? Tidak, saya tidak gila”, katanya, berbicara dengan dirinya sendiri.

Menjelang pukul sepuluh malam, tak kuat lagi ia membendung lapar, ia mampir ke sebuah warung. Warung itu cukup sederhana. Sebuah lampu menggantung di depan pintu masuk menghadirkan remang pada balai bambu di bawah pohon kersen berdaun lebat. Beberapa orang terlihat sedang duduk-duduk di sana, menikmati rokok sambil bercengkerama. Mereka seolah tidak menyadari kehadirannya. Atau mungkin mereka sengaja abai pada siapapun yang datang belakangan. Ia mengampiri pemilik warung. Seorang lelaki seumuran ayahnya. Lelaki itu menyambutnya ramah dan mempersilakan duduk.

“pesan apa, nak?”, pemilik warung itu mendatangi tamunya yang duduk memunggunginya.

“masih ada nasi, pak?”, matanya menyapu seisi warung. Tepat di depannya, pada tiang yang dicat warna biru langit, menggantung sebuah kalender bergambar politisi. Senyum politisi itu lumayan manis. “Kami memberi bukti, bukan janji. Sekolah dan layanan kesehatan gratis buat rakyat”. Kalimat itu berada di sisi kanan tepat di atas “Coblos Nomor #3”. Ia mengenali politisi itu, juga mengenal dengan sangat baik ibunya yang adalah seorang politisi yang tidak pernah kehabisan tenaga untuk berjanji, selalu punya banyak suatu untuk dijanjikan. Generasi baru telah lahir, gumamnya. Kini, buah yang akan lupa asalnya telah jatuh. Orang miskin silakan sakit, silakan bercita-cita, semua itu tidak akan haram lagi! Hidup rakyat! Lalu, optimisme itu kemudian dipungkas sebaris makian : Omong doang! Taik!

Cahaya lampu yang tidak begitu terang sedikit merahasiakan wajahnya yang dirundung kelaparan. Saat menunggu pemilik warung mengantarkan pesanannya, hidungnya mengendus aroma arak yang tajam.

“jual arak juga, pak?”, dengan suara sedikit payah ia bertanya saat pemilik warung kembali dengan sepiring nasi dan beberapa potong tempe, sepotong ikan serta semangkuk sayur bening. Pemilik warung itu hanya menarik kedua ujung bibirnya.

“Kopi?”, ia mengangguki tawaran pemilik warung. “Satu setengah sendok kopi. Gulanya juga segitu”, katanya memberitahu seleranya kepada pemilik warung.

Beberapa saat kemudian, pemilik warung sudah berdiri di depannya dengan segelas kopi. Gelas itu lengkap dengan penutup berbahan besi berwarna keperakan. Bentuknya mirip tudung pendekar dengan benjolan seperti puting susu di atasnya. Pemilik warung itu memperhatikannya. Orang yang duduk di depannya benar-benar baru kali ini dilihatnya.

“Bukan orang sini ya?”, ia menyebut nama desanya menjawab pertanyaan pemilik warung. Pemilik warung itu hanya mengangguk-angguk. “Mau ke mana sampai jauh-jauh datang ke sini?”, lanjut pemilik warung.

“Ada yang sedang saya cari. Saya sudah seharian berjalan dan belum juga menemukan petunjuk”, katanya memberi keterangan.

“Ada alamatnya?”

“Dulu, saya sering menemuinya di masjid”

“O…”

“Namun, tiba-tiba Ia menghilang dan tidak menitip pesan apapun. ”

Beberapa jenak keduanya terdiam. Pemilik warung itu beranjak dan kembali lagi dengan beberapa potong kue sisa jualannya yang tidak laku.

“Bapak mengenal orang ini?”, ia menunjuk politisi yang menggantung di tiang di hadapannya. Pemilik warung itu membalikkan setengah badannya.

“Oh, ini calon pemimpin pilihan orang-orang kampung sini”, pemilik warung memberi keterangan.

“Orang-orang kampung sini percaya kata-katanya?”, tanyanya terdengar mengolok.

“Orangnya baik. Apa yang dijanjikan adalah harapan kami sejak dulu. Kami di sini sudah bosan dengan janji perbaikan jalan. Diperbaiki memang, tapi sekali hujan menghantam deras, jalanan akan mengeluarkan isi perutnya dan menciptakan banyak sekali ceruk”

“Bapak percaya?”

“Jangan lihat siapanya, lihat apanya!”, tukas pemilik warung bernada menasehati.

“Saya melihat dalam konteks apa si politisi berbicara, pak”, jawabnya sengit.

Pemilik warung itu tak mau berdebat. Ia meraih sepotong kue lalu menyorongkan piring berisi kue ke tamunya. Beberapa saat mereka terdiam sambil menikmati rokok.

“O, iya, siapa yang Anda cari?”, pemilik warung kembali memulai percakapan.

“Tuhan!”, jawabnya singkat.

Jawaban itu cukup membuat kaget pemilik warung. Ia sedikit menggeser kursinya dan membenarkan posisi bokongnya. Posisi duduknya dibuat senyaman mungkin.

“Siapa nama Anda?”

“Borahing”

“Ibrahim?”

“Borahing”

“O, Borahing…”

Mereka berdua diam lagi. Kali ini diam-diaman mereka lebih lama dari sebelumnya. Mereka sibuk dengan pikiran dan imajinasi masing-masing. Sesekali si pemilik warung mengerling. Mungkin ia tidak habis pikir atas jawaban yang baru saja didengarnya tentang sosok yang dicari tamu asingnya itu.

Beberapa saat berlalu, seorang lelaki seumuran pemilik warung keluar dari arah aroma arak menyeruak. Ia adalah pelanggan tetap arak warung itu. Sarungnya digulung hingga setinggi lutut. Pinggir kopiahnya menguning. Warna kuning itu sudah jauh merambat, hingga nyaris setinggi satu ruas jari. Kopiah itu diletakkan sekenanya di atas kepalanya.

Bau arak semakin menusuk ketika lelaki tua itu menyapa kedua orang yang saling diam menghayati asap rokok masing-masing. Orang tua itu tampak sangat mabuk. Langkahnya terhuyung-huyung. Matanya tampak seperti mata datang bulan. Entah berapa jerigen arak telah mengaliri tenggorokannya dan mengisi penuh perutnya. Ia mengelus-elus perutnya setiap kali sendawa.

Borahing berpikir untuk menanyakan keberadaan Tuhan pada pemabuk tua itu. Ia teringat jawaban seorang pemabuk tentang salat yang ia rasa tidak sepenuhnya salah. Sebelum pemabuk tua itu mencapai pintu, Borahing mencegat.

“Pak…”, seru Borahing. Lelaki itu berhenti. Ia menoleh ke arah Borahing. Pemilik warung tidak berkata apa-apa. Ia hendak mencegah Borahing menanyakan apa yang sedang dicarinya kepada lelaki tua yang kewarasannya sedang dilucuti oleh minumannya itu. Namun, karena Borahing memalingkan pandangan ke arah lelaki tua pemabuk itu, isyarat yang ditunjukkan tidak sampai kepada Borahing.

“Bapak tahu Tuhan di mana? Saya sudah kemana-mana mencarinya, tapi tidak ketemu”, Borahing melanjutkan. Wajah pemilik warung terlihat gusar. Ia mungkin berpikir bahwa sebentar lagi warungnya akan morat-marit diamuk si pemabuk karena pertanyaan sinting Borahing. Lelaki tua yang sedang mabuk berat itu meraih sandaran kursi di dekatnya, lalu mendaratkan bokongnya dengan keras. Sebelah lengannya diletakkan di tepi meja menopang tubuhnya yang kehilangan keseimbangan.

“Kau mencari Tuhan? Kenapa, hah!?”, katanya dengan suara bergetar. Pemilik warung menyembunyikan mukanya. Ia mulai membayangkan kursi dan meja yang terbang menghantam dinding dan memecahkan semua piring dan gelas di warungnya. Borahing belum sempat berbicara, lelaki itu meneruskan kata-katanya.

“Tuhan tidak ada di sini. Silakan cari di penjara. Ia adalah dalang kerumunan di mana-mana. Lima kali sehari ia membuat kerumunan. Bahkan sekali sepekan, Ia membuat kerumunan besar. Kamu lihat sendiri, orang-orang yang hadir di kerumunan itu tidak ada yang memakai masker, tidak menjaga jarak. Orang-orang itu tidak lagi peduli. Jadi, kalau kau  mau mencari Tuhan, jangan di sini! Ia mungkin sudah digelandang ke penjara”, lelaki tua itu meninggalkan Borahing dan pemilik warung setelah berpanjang lebar. Ia nyaris ambruk di depan pintu karena kakinya tersandung kaki meja.

Borahing dan pemilik warung beberapa saat saling menatap sebelum mereka menyusul lelaki tua itu ke depan. Lelaki tua yang mabuk berat itu tidak benar-benar pulang. Kedua lututnya tidak lagi kuat mengantar tubuhnya sampai ke rumah. Ia tergeletak dengan posisi tengkurap di samping balai bambu di bawah pohon kersen. Kali ini, ia benar-benar ambruk.

Borahing pamit setelah memindahkan pemabuk tua itu bersama pemilik warung ke atas balai bambu.

“Apakah kau akan mencarinya ke penjara besok pagi?” tanya pemilik warung. Borahing tidak menjawab. Tubuhnya menghilang dalam gelap, di atas jalanan berceruk. Di dalam ceruk-ceruk itu, tergenang janji dan bualan para politisi.  

***

Posting Komentar

2 Komentar

Musriadi mengatakan…
Sangat mencerahkan... namun ingatan saya langsung tertuju pada kampus hijau makassar, dimana ada 'sosok' yang sehari-harinya orasi (bahkan sampai dibalkon masjid), dan tema orasinya banyak mengangkat yang sesuai narasi diatas.
Bualan Harian mengatakan…
Tuhan Aluh. Agus Non Yudoyono. :D