Kami satu sekolah dari SD sampai MTs. Ia seorang yatim. Ia tidak pernah merasakan kehangatan dan keperkasaan pelukan seorang ayah. Tidak pernah merasakan bagaimana memacu kaki mungilnya untuk segera menghambur dalam pelukannya, tidak pernah meringkuk di pangkuannya, atau memeluk erat lutut ayahnya saat akan berangkat kerja. Ibunya tidak pernah menghadirkan sosok pengganti ayah baginya sepeninggal sang suami. Ayahnya meninggal saat ia masih kemerah-merahan.
Di SD, ia selalu
mengungguliku dalam semua mata pelajaran. Bahkan ia mengungguli semua murid
satu ruangan. Karena itu, dengan gagah ia selalu berdiri di depan kelas bersama
dua murid yang lain pada setiap akhir caturwulan sambil merangkul bingkisan.
Bingkisan itu dibungkus kertas berwarna coklat kekuningan yang biasa digunakan
untuk membungkus layang-layang berukuran besar. Pada bingkisan tersebut
tertulis "Ranking I".
Sejauh yang bisa saya
ingat, hanya sekali saya berdiri bersamanya di depan kelas di akhir caturwulan.
Tepat di sampingnya. Saya meraih peringkat ketiga, ia, untuk kesekian kalinya,
meraih peringkat pertama. Meski peringkat ketiga, mungkin saya yang paling
girang di antara kami bertiga. Kegirangan saya beralasan, hari itu adalah untuk
pertama kali saya memeluk bingkisan dan juga karena ibu guru mengingatkan
teman-teman kami yang lain agar belajar lebih giat lagi. Artinya, saya menjadi
salah satu rujukan bagi teman-teman bagaimana sebuah ketekunan membuahkan hasil
yang lebih baik. Tidak sabar mengabarkan bahagia kepada orang di rumah, terutama
ibu, ayah dan bibi, saya berlari dari sekolah sampai ke rumah begitu lonceng
berdenting riang.
Ibu dan bibi saya tertawa
saat saya memberitahu bahwa saya meraih peringkat tertinggi. Dalam anggapan
saya, jelas tiga lebih banyak daripada satu dan dua yang diraih Mujib dan
Nuriah. Kemudian ibu memahamkan bahwa saya juara tiga. Terbaik ketiga.
***
Beberapa tahun kemudian,
kami semua dinyatakan lulus setelah menempuh Ebtanas di sebuah sekolah yang
berjarak lima kilometer dari sekolah kami. Sebelum penerimaan ijazah, karena di
raport tidak tertera tanggal lahir saya, ibu guru memintanya dan sesegera
mungkin saya harus menyetornya. Saat itu, saya tidak berpikiran untuk bertanya
kepada ayah dan ibu. Ayah memang tidak pernah menunjukkan akte lahir saya.
Setiap ayah membuka map besar hitam miliknya, ia tidak pernah mengeluarkan atau
menunjukkan akte lahir. Yang ia cari, biasanya, adalah “bisiloi”. Bisiloi’.
Awalnya, saya mengira bahwa kata tersebut adalah bahasa Mandar. Belakangan baru
saya mengerti bahwa Bisiloi’ adalah nama lain Surat Keputusan. Istilah tersebut
berasal dari bahasa Belanda, Besluit, yang kemudian dilafalkan seenteng dan
senyaman mungkin oleh lisan ayah, mungkin juga orang Mandar pada umumnya,
menjadi Bisiloi’. Atau memang begitu pelafalannya? Entah.
Di rumah, dinding dan
bagian-bagian rumah tempat ayah biasa mengabadikan peristiwa penting, saya
gagal menemukan tanggal, bulan dan tahun lahir saya. Mungkin ayah mencatatnya
di tempat lain dan karena terlalu lama diabaikan, catatan itu kemudian hilang. Ketiadaan
tanggal lahir saya, tentu saja bukan berarti kehadiran saya di dunia tidak
lebih penting dari gempa bumi, banjir atau peristiwa-peristiwa lain yang patut
dicatat.
Di buku nikah ayah, saya
menemukan sebaris keterangan lahir : Pumbalanu, 17 Juni 1975, tapi itu milik
kakak perempuan saya. Nahda. Saat merasa jengkel pada kakak saya, saya sering
memanggilnya Kanada. Mungkin karena ia tidak menyukai panggilan itu, ia sejauh
ini belum pernah bercita-cita ingin ke sana, ke Kanada. Dari buku yang menjadikan
hubungan intim seorang lelaki dan perempuan itu dihalalkan, saya mengetahui
jumlah penghasilan ayah sebulan saat menikahi ibu : Rp. 750,00., (tujuh ratus
lima puluh rupiah)
Sesuai data di raport, Mujib lahir di bulan Oktober. Untuk menguak misteri tanggal lahir saya, bulan lahir Mujib menjadi acuan. Mungkin hitungan saya keliru, bulan pilihan saya tidak pas. Saya memilih bulan Desember. 22 Desember. Tahun berapa? Yang jelas saya dua bulan lebih muda daripad Mujib. Hamzah setahun lebih muda daripada saya. Dan, andai semua data yang ada di sini keliru, Mustakin alias Adit Takin tetap yang paling ganteng, datanya saya pastikan seratus persen valid.
***
0 Komentar