Header

Header

MENGAPA 22 DESEMBER? SELAMAT HARI IBU.

Kami satu sekolah dari SD sampai MTs. Ia seorang yatim. Ia tidak pernah merasakan kehangatan dan keperkasaan pelukan seorang ayah. Tidak pernah merasakan bagaimana memacu kaki mungilnya untuk segera menghambur dalam pelukannya, tidak pernah meringkuk di pangkuannya, atau memeluk erat lutut ayahnya saat akan berangkat kerja. Ibunya tidak pernah menghadirkan sosok pengganti ayah baginya sepeninggal sang suami. Ayahnya meninggal saat ia masih kemerah-merahan.

Di SD, ia selalu mengungguliku dalam semua mata pelajaran. Bahkan ia mengungguli semua murid satu ruangan. Karena itu, dengan gagah ia selalu berdiri di depan kelas bersama dua murid yang lain pada setiap akhir caturwulan sambil merangkul bingkisan. Bingkisan itu dibungkus kertas berwarna coklat kekuningan yang biasa digunakan untuk membungkus layang-layang berukuran besar. Pada bingkisan tersebut tertulis "Ranking I".

Sejauh yang bisa saya ingat, hanya sekali saya berdiri bersamanya di depan kelas di akhir caturwulan. Tepat di sampingnya. Saya meraih peringkat ketiga, ia, untuk kesekian kalinya, meraih peringkat pertama. Meski peringkat ketiga, mungkin saya yang paling girang di antara kami bertiga. Kegirangan saya beralasan, hari itu adalah untuk pertama kali saya memeluk bingkisan dan juga karena ibu guru mengingatkan teman-teman kami yang lain agar belajar lebih giat lagi. Artinya, saya menjadi salah satu rujukan bagi teman-teman bagaimana sebuah ketekunan membuahkan hasil yang lebih baik. Tidak sabar mengabarkan bahagia kepada orang di rumah, terutama ibu, ayah dan bibi, saya berlari dari sekolah sampai ke rumah begitu lonceng berdenting riang.

Ibu dan bibi saya tertawa saat saya memberitahu bahwa saya meraih peringkat tertinggi. Dalam anggapan saya, jelas tiga lebih banyak daripada satu dan dua yang diraih Mujib dan Nuriah. Kemudian ibu memahamkan bahwa saya juara tiga. Terbaik ketiga.

***

Beberapa tahun kemudian, kami semua dinyatakan lulus setelah menempuh Ebtanas di sebuah sekolah yang berjarak lima kilometer dari sekolah kami. Sebelum penerimaan ijazah, karena di raport tidak tertera tanggal lahir saya, ibu guru memintanya dan sesegera mungkin saya harus menyetornya. Saat itu, saya tidak berpikiran untuk bertanya kepada ayah dan ibu. Ayah memang tidak pernah menunjukkan akte lahir saya. Setiap ayah membuka map besar hitam miliknya, ia tidak pernah mengeluarkan atau menunjukkan akte lahir. Yang ia cari, biasanya, adalah “bisiloi”. Bisiloi’. Awalnya, saya mengira bahwa kata tersebut adalah bahasa Mandar. Belakangan baru saya mengerti bahwa Bisiloi’ adalah nama lain Surat Keputusan. Istilah tersebut berasal dari bahasa Belanda, Besluit, yang kemudian dilafalkan seenteng dan senyaman mungkin oleh lisan ayah, mungkin juga orang Mandar pada umumnya, menjadi Bisiloi’. Atau memang begitu pelafalannya? Entah.

Di rumah, dinding dan bagian-bagian rumah tempat ayah biasa mengabadikan peristiwa penting, saya gagal menemukan tanggal, bulan dan tahun lahir saya. Mungkin ayah mencatatnya di tempat lain dan karena terlalu lama diabaikan, catatan itu kemudian hilang. Ketiadaan tanggal lahir saya, tentu saja bukan berarti kehadiran saya di dunia tidak lebih penting dari gempa bumi, banjir atau peristiwa-peristiwa lain yang patut dicatat.

Di buku nikah ayah, saya menemukan sebaris keterangan lahir : Pumbalanu, 17 Juni 1975, tapi itu milik kakak perempuan saya. Nahda. Saat merasa jengkel pada kakak saya, saya sering memanggilnya Kanada. Mungkin karena ia tidak menyukai panggilan itu, ia sejauh ini belum pernah bercita-cita ingin ke sana, ke Kanada. Dari buku yang menjadikan hubungan intim seorang lelaki dan perempuan itu dihalalkan, saya mengetahui jumlah penghasilan ayah sebulan saat menikahi ibu : Rp. 750,00., (tujuh ratus lima puluh rupiah)

Akhirnya, saya berhasil menemukan tanggal lahir saya dari cerita ibu-ibu saat mengenang dan membincang kami, anak-anaknya. Cerita itu melekat dalam ingatan saya. Menurut sejarah yang dituturkan para ibu, yang paling tua di antara teman sepermainan kami adalah Tasim. Sepupu saya, Hamzah, lahir setahun setelah kelahiran saya. Mustakin dan saya lahir dalam bulan yang sama. Menyusul Tasim yang paling tua adalah Mujib. Mujib, dua bulan lebih awal tangisnya mengangkasa saat saya dan Mustakin sedang bersiap-siap meninggalkan alam rahim.

Sesuai data di raport, Mujib lahir di bulan Oktober. Untuk menguak misteri tanggal lahir saya, bulan lahir Mujib menjadi acuan. Mungkin hitungan saya keliru, bulan pilihan saya tidak pas. Saya memilih bulan Desember. 22 Desember. Tahun berapa? Yang jelas saya dua bulan lebih muda daripad Mujib. Hamzah setahun lebih muda daripada saya. Dan, andai semua data yang ada di sini keliru, Mustakin alias Adit Takin tetap yang paling ganteng, datanya saya pastikan seratus persen valid. Description: 😁Description: 🤣Description: 😂

***

 

Posting Komentar

0 Komentar