Kami selalu menghambur ke jalan saat mobil dengan toa terpasang di atas tendanya dan dua bendera berukuran besar milik klub sepakbola berkibar-kibar di bagian belakang, sisi kanan dan kiri, memasuki kampung. Atau saat mobil itu melintas, permainan apapun yang sedang kami mainkan dihentikan sejenak hanya untuk menyimak ocehan yang keluar dari toa. Sama saat helikopter melintas, terbang rendah di atas langit di kampung kami.
"Saksikanlah dan banjirilah pertandingan sepakbola memperebutkan piala bergilir Bupati Cup I yang diikuti oleh tim-tim tangguh dari kabupaten Polmas, kabupaten Polmas dan kabupaten Majene, kabupaten Majene. Sebentar sore, sebentar sore, di lapangan Orion Karama akan mempertemukan dua kesebelasan tangguh dari desa yang berbeda. Mandala Putra, Mandala Putra, Mandala Putra Lembang-Lembang akan berhadapan dengan kesebelasan Kompas Pambusuang, Kompas Pambusuang. Jangan lupa, sebentar sore, sebentar sore, datang dan saksikanlah pertandingan sepakbola yang akan mencetak Maradona Maradona baru… Ajak seluruh keluarga Anda. Banjirilah dengan membeli karcis tanda masuk....."
Kalimat itu terus diulang-ulang dan sesekali dijeda dangdut atau lagu-lagu tempo dulu. Siapa penutur kalimat memukau itu, kami tidak pernah tahu.
Selepas kami bermain, kami menirukan suara itu dengan sangat bersemangat sepanjang jalan menuju sungai untuk bermain bola. Kalimat itu tanpa henti kami ulang-ulang, hingga hafal luar kepala. Dari seluruh rangkaian kalimat yang panjang itu, tentu saja, "Maradona-Maradona baru" adalah kata-kata paling memukau dan sangat berkesan.
***
Saya masih berusia dua belas tahun saat pertama kali menyaksikan tim Tanggo, Argentina, dari layar televisi tetangga yang sepertinya memiliki masa lalu yang bermasalah, Televisi 16 inch itu jelas-jelas membagi dunia dalam dua kutub saja, halal-haram, sunnah-bid’ah, gelap-terang, alias hitam-putih.
Piala dunia 1990 Italia. Di stadion San Siro, arena Derby Della Madonninna, markas dua klub sekota AC. Milan dan Internazionale, Argentina memainkan laga perdana penyisihan grup. Bersama Uni Soviet, Rumania dan Kamerun, Argentina terhimpun dalam grup B. Ketika itu, Argentina kalah di laga perdana setelah diamuk oleh salah satu tim Afrika yang di kemudian hari identik dengan permainan kasar, Kamerun.
“ingga’mu le’ba kamerung mangino (Kamu bermain seperti Kamerun saja)”, kalimat itu sering disampaikan pada teman yang suka bermain kasar saat kami memainkan sepakbola di tepi kali. Kalimat makian yang pas untuk menumpahkan rasa jengkel. Bahkan, salah seorang pemain bola di kampung kami dijuluki “Kamerun”, di saat yang sama pemain-pemain lain mendapat alias berupa nama-nama pemain terkenal, seperti Burruchaga, Santos Barbara, Abel Balbo dan lain-lain. Saya menduga, nama Kamerun yang menjadi aliasnya adalah Kamerun yang menjagal Argentina itu.
Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kekasaran dan kebrutalan pemain Kamerun pertama kali diperkenalkan oleh seorang mantan pelari 100 meter tingkat provinsi. Selain memiliki dribbling super cepat, ia juga petarung dan berlari sekencang cheeta. Mendapat bola dari luar kotak penalti, ia melakukan solo run. Seperti seorang pelari halang rintang, ia melompat menghindari kaki-kaki brutal pemain Kamerun. Dengan susah payah ia tetap berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya setelah sodoran kasar kaki salah satu pemain Kamerun berhasil dilewatinya, beberapa meter melewati garis tengah lapangan. Claudio Paul Caniggia akhirnya tersungkur sebelum memasuki area kotak penalti Kamerun. Adalah Massing Benjamin, algojo terakhir yang sukses menjegal si gondrong Caniggia.
Dini hari itu adalah dini hari yang buruk bagi pendukung Argentina, salah satunya adalah saya yang masih bocah. Apakah karena aksi Caniggia, Abel Balbo atau ketangguhan Roberto Sensini atau karena Argentina itu sendiri yang dikhawatirkan tidak lolos fase grup? Bukan! Kesedihan itu terutama sekali karena si Maradona. Sedih jika tidak akan menyaksikan Maradona lagi. Orang-orang mengenal, mendukung dan mencintai Argentina karena Maradona. Ya, Maradona. Pesona Maradona terlampau memukau setiap orang, termasuk bagi bocah seperti saya, yang menyaksikan kehebatannya pertama kali dari mulut toa di atas mobil, “Maradona Maradona baru….” sebelum benar-benar menyaksikannya di layar kaca.
Boleh jadi, Lionel Messi hanya kecipratan pesona Maradona. Orang-orang terlanjur mencintai Argentina karena Maradona. Mungkin tidak ada negara selain Argentina yang sedemikian dicintai, sehingga kecintaan itu seperti kecintaan terhadap tim sepakbola kebanggan kampungnya sendiri yang ketika menderita kekalahan menyisakan kesedihan teramat dalam. Semua karena Maradona.
Saat kami bermain bola, sambil menggiring bola melewati lawan, bibir kami sibuk merapal namanya. “maradona, maradona, maradona..” Dengan bangga kami mengidentikkan diri sebagai sosok Maradona. Namanya menjadi mantra.
Selain kehebatannya, namanya yang tidak memusuhi lisan setiap orang, barangkali, juga menjadi sebab pemilik nomor punggung 10 ini sangat melegenda di hati para penyuka sepakbola. Di kampung kami, Maradona jelas melampaui siapapun, Pele, Platini dan sederet nama besar lainnya. Selain namanya menjadi mantra, ia pun menginspirasi.
Ketika Argentina menaklukkan Inggris di piala dunia 1986, Maradona melakukan tindakan kontroversial. Tindakan yang menyakiti dan membuat marah publik Inggris. Mencetak gol menggunakan tangan. Itu jelas kecurangan. Licik. Gol tersebut kemudian masyhur sebagai gol tangan Tuhan. Istilah tersebut diambil dari komentar Maradona yang disampaikan secara bercanda saat konferensi pers usai pertandingan.
“Sedikit dengan kepala Maradona dan sedikit dengan tangan Tuhan", kata Maradona perihal gol tersebut.
Namun, bukan itu saja. Pada laga penuh emosi itu, Maradona mencetak gol spektakuler melalui aksi solo run memukau yang rimbun decak kagum, empat menit setelah gol tangan tuhan tercipta. Menguasai bola di area permainan sendiri, Maradona berlari di sisi kiri pertahanan Inggris, melewati empat pemain sebelum memperdaya Peter Shilton yang berdiri di bawah mistar dengan sebuah tipuan. Gol tersebut sering disebut sebagai gol individu terbaik sepanjang masa. Goal Of The Century.
Goal of the century itu seolah ejawantah dari sabda kanjeng Nabi, “ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskannya”
“Dia akan meneruskannya ke Diego, ada Maradona dengan itu, dua orang di atasnya, Maradona menginjak bola, di sana, turun di sayap kanan si jenius sepakbola dunia, dia meninggalkan sayap dan dia akan meneruskannya ke Burruchaga.. Masih Maradona! Jenius! Jenius! Jenius! Disana, disana, disana, disana, disana, disana! Goaaaaaaaal! Goaaaaaaal! Saya ingin menangis, ya Tuhan, panjang umur sepak bola! Sungguh sebuah tujuan! Diegoal! Maradona! Ini untuk menangis, permisi! Maradona, dalam perjalanan yang tak terlupakan, dalam permainan terbaik sepanjang masa! Layang-layang kosmik, dari planet mana Anda berasal, meninggalkan begitu banyak orang Inggris, agar negara menjadi kepalan tangan yang menangisi Argentina? Argentina 2, Inggris 0! Diegoal, Diegoal, Diego Armando Maradona! Terima kasih, Tuhan, untuk sepak bola, untuk Maradona, untuk air mata ini, untuk Argentina 2, Inggris 0 ini”
Kalimat panjang di atas adalah komentar VÃctor Hugo Morales yang histeris melihat aksi Maradona dan Goal Of The Century yang dihempaskan ke jala gawang Inggris.
Tapi, mengapa gol tangan tuhan lebih terkenal dari goal of the century? Mengapa “keburukan” itu tidak juga benar-benar terhapus?
Selamat jalan, Legenda.
0 Komentar