sumber gambar : bangkapos.com |
Sambil menunggu Borahing selesai mandi, Su'ding duduk di kursi dekat jendela. Ia khusuk mengeja makna tulisan pada selembar kertas usang. Kertas itu terlipat empat kali. Di bagian bawah kertas tersebut terdapat pribahasa. Arti pribahasa juga tertera di sana
"Sebelum ajal berpantang mati/kita tidak boleh menyerah". Dan di sudut sebelah kiri bawah terdapat logo sinar dunia.
Lipatannya membentuk garis kuning kehitaman. Lipatan yang tajam, dan hampir membuat kertas itu menjadi bagian-bagian kecil. Petanda sudah sangat lama kertas itu terhimpit dan tertindih di dalam dompet. Juga menandakan bahwa untaian kalimat pendek dengan bahasa yang kurang lazim itu sudah bertahun-tahun tersalin ke dalam kepala pemiliknya.
"Apa ini?" Borahing yang baru saja keluar dari kamar mandi tetiba disergap pertanyaan. Langkah kaki Borahing terhenti. Ia menoleh ke arah Su’ding. Su'ding menunjukkan kertas lusuh sembari cekikikan.
Borahing kaget melihat isi dompetnya terburai dan berceceran di atas meja. Ia langsung menghambur ke arah Su'ding. Ia segera meraih kertas lusuh itu dari tangan Su'ding dan memunguti isi dompetnya yang lain. Dengan teliti ia memeriksa dompetnya. Dua lembar pecahan lima ribuan, lima lembar pecahan seribu dan selembar uang sepuluh ribu masih di sana. Tidak ada ATM atau kartu kredit. Hanya KTP dan gambar Paramitha Rusadi yang tersenyum. Di balik gambar Paramitha Rusadi ada kalender dengan tinta warna merah. Tidak jelas mengapa Borahing menyimpan gambar Paramitha Rusadi. Mungkin perempuan yang menjadi idamannya mirip Paramitha, atau, mungkin, sebagai jomblo, gambar siapapun bebas menghuni dompetnya. Namun, apapun alasannya, setidaknya, gambar artis ibu kota itu mampu mengikis aura mistis dan hawa menyeramkan di dalam dompet warna abu-abu itu.
"Rokok dari mana itu?", tanya Borahing.
"Apa itu? Bahasa apa itu, hahaha?", tanpa mempedulikan pertanyaan Borahing, Su'ding menunjuk ke arah tangan Borahing dan balik bertanya dengan nada mengejek.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Su'ding? Itu rokok kamu ambil di mana?", Borahing mengulangi pertanyaannya.
"Di dompetmu"
"Huh, kenapa kamu ambil?", Borahing geram. " Asuu! Matikan!"
Su'ding cepat-cepat mematikan rokok yang baru empat kali hisapan kemudian dikembalikan kepada Borahing. Borahing mengambilnya dan memasukkan kembali ke dalam dompet, di tempat paling terpencil. Rokok merek gudang garam itu sudah berubah bentuk. Pipih. Mungkin karena sudah berminggu-minggu mendekam di dalam dompet dan tertindih pantat Borahing setiap kali duduk.
"Eh, itu tulisan di kertas, bahasa apa itu?", Su'ding kembali bertanya. Borahing tidak menjawab. Ia masih kesal atas ulah Su'ding. Ia berlalu dan menghilang ke dalam kamar. Beberapa saat kemudian, Borahing keluar mengenakan kaos dan celana pendek serta menenteng handuk lembap. Su'ding diam. Ia memperhatikan wajah Borahing yang belum juga enak dipandang.
"Ndak usah marah, nanti saya ganti", Su'ding berusaha membujuk. Borahing tidak menjawab. Borahing ingin memberitahu kalau itu bukan rokok biasa. Rokok itu sudah diisi mantra. Namun, Borahing berpikir Su'ding akan menertawakannya lagi, berkali-kali.
Meskipun Borahing tutup mulut soal rokok itu, Su’ding sebenarnya tahu rokok itu adalah jimat bakar sekali pakai, dan nama perempuan, entah siapa, juga sudah ditiupkan ke dalamnya sesuai permintaan Borahing. Tidak hanya itu, Su’ding bahkan tahu siapa yang memantrai rokok itu.
Pada suatu purnama malam jumat, sehabis magrib, Borahing terlihat di kios penjual barang campuran mengenakan kemeja bergaris-garis dan bercelana jins warna biru. Di saku belakang celana jins-nya terselip kopiah hitam, dilipat menjadi seukuran dompet. Ia membeli dua bungkus rokok dan seliter gula pasir.
Ia akan menemui gurunya. Sesuai janji gurunya beberapa waktu lalu, ia akan diberi ilmu malam itu. Purnama malam jumat sudah ditunggu-tunggu Borahing dengan penuh perjuangan, dengan penuh kesabaran. Seliter gula pasir dan dua bungkus rokok mengiringi langkah Borahing. Harapannya tentang gambar Paramitha Rusadi yang terusir dari dompetnya karena protes cemburu seorang perempuan yang diidamkan membentang di hadapannya.
Setelah sampai di depan rumah gurunya, Borahing mengeluarkan kopiah dari saku belakang jins-nya. Kopiah itu tampak masih sangat baru semenjak dibeli setahun lalu. Ia memang jarang pakai songkok, sejarang ia pergi ke masjid. Selain jumatan, ia ke masjid hanya jika ada urusan yang dianggap sangat penting.
Sebelum menapaki anak tangga, Borahing mengintip ke dalam kolong rumah dari balik pagar bambu. Lampu di kolong rumah gurunya selalu dibiarkan menyala sepanjang malam. Biasanya, waktu antara magrib dan isya, gurunya memberi makan ayam-ayam peliharaannya.
Borahing berjalan menaiki tangga setelah memastikan gurunya tidak sedang memberi makan ayam-ayamnya. Pintu berderit setelah Borahing mengetuk dan memberi salam kepada penghuni rumah. Kecamuk perasaan Borahing tidak terlukiskan kala gurunya mengajaknya ke kamar. Terbayang sekali lagi bagaimana ia dengan segenap kerelaan yang dimiliki, dengan perasaan bahagia tiada bandingannya, ia mencopot Paramitha Rusadi dari dompetnya dan mencampakkannya di mana saja karena seorang perempuan dengan rasa cemburu yang kesetanan telah mendesak dan memaksanya habis-habisan.
Gurunya meminta Borahing agar berwudhu terlebih dahulu. Setelah berwudhu, mereka berdua duduk berhadap-hadapan.
“kamu harus memperhatikan baik-baik yang akan saya ucapkan”, kata gurunya. Borahing mengangguk saja.
“Yang akan saya ucapkan ini tidak panjang, tapi saya hanya akan mengatakannya satu kali. Ingat, tidak ada pengulangan. Tidak boleh ditulis. Jadi, kamu harus langsung bisa menghafalnya”, lanjut gurunya menegaskan. Borahing, sekali lagi, mengangguk.
Borahing menunduk. Pandangannya tembus ke kolong rumah melalui celah-celah lantai bambu yang memang agak berjarak. Sambil menunduk, telinganya sedikit ditelengkan agar mendengar lebih jelas mantra yang dirapal gurunya. Tepat saat gurunya, setengah berbisik, merapal mantra, pandangan mata Borahing terbentur pada sepasang mata di bawah kolong rumah. Sepasang mata sialan itu tampak mengawasi, juga terkesan mengejek.
“Asu!”, maki Borahing dalam hati.
“Bagaimana?”, gurunya bertanya untuk memastikan Borahing mengahafalnya atau tidak setelah proses menurunkan ilmu selesai. Borahing, kembali, hanya mengangguk. Kemudian mereka saling berjabat tangan.
“Terima…”, kata gurunya.
“Saya terima”, kata Borahing menyambut ucapan gurunya.
Guru dan murid itu keluar dari kamar. Di meja sudah terhidang kopi dan pisang goreng yang masih hangat. Setelah kopi Borahing tandas, ia minta pamit. Gurunya menepuk pundak Borahing sebelum mencapai tangga. Tepukan dengan makna yang dalamnya mungkin sedalam samudera.
Kembali sebuah pertanyaan mendadak menyergap Borahing setelah mencapai ujung lorong. Su’ding, serupa hantu, tetiba muncul.
“Saya hafal, loh. Bagaimana denganmu, kawan? Hafal juga, kan?”, katanya dengan tawa yang dihalau sekuat tenaga.
Borahing tidak ambil peduli. Ia meninggalkan Su’ding yang terus berusaha menggoda dan meremehkannya. Sepanjang jalan menuju rumah, Borahing terus memaki. Mengutuk sikap berlebihan Su'ding.
“Terkutuk! Su’ding asu!”
0 Komentar