"Apa yang tidak dijangkau oleh penglihatanmu...", Papa Saidinang membuka percakapan. Ia duduk tampak sangat santai. Berbeda sekali di kala ia duduk bersama pak imam atau pak P3 NTR. Jika bersama pak imam dan pak P3, ia selalu terlihat sangat sopan, bahkan untuk menggeser posisi pantatnya pun ia sungkan.
Punggungnya melekat ke tembok masjid, sementara bokongnya sedikit di dorong keluar, tidak menyentuh tembok. Di belakang telinganya terselip setengah batang rokok. Rokok yang dinikmati saat membersihkan halaman masjid dan dimatikan saat hendak berwudhu melaksanakan shalat ashar. Ia tidak langsung melanjutkan kalimatnya. Ia mengambil rokok dari belakang telinganya lalu menyulutnya. Asap tebal terhempas dari mulutnya dua kali, disusul asap dari dua lubang hidungya, seperti asap yang tersemprot dari pantat pesawat super cepat. Borahing yang duduk di sampingnya memperhatikan kalimat Papa Saidinang sembari melihat-lihat kendaraan yang berjalan lambat di jalan depan masjid yang penuh genangan air . Karena terjeda beberapa detik, Borahing mengira papa saidinang bertanya.
"Tengkuk", Borahing menimpali.
Su'ding langsung menoleh. Tatapan mata Su'ding seolah menyampaikan pesan agar Borahing diam dulu. Seakan menangkap pesan Su'ding, Borahing bergeser mundur dan merapatkan punggungnya ke tembok.
Papa Saidinang kembali menghempaskan asap tebal kemudian meletakkan rokoknya di atas piring kecil yang dijadikan asbak.
"Tetap bisa dilihat dan disaksikan rasamu", katanya melanjutkan kalimat yang sebelumnya terjeda iklan rokok yang disusul iklan jawaban Borahing.
Borahing dan Su'ding saling berpandangan. Tatapan mata keduanya seperti menginginkan penjelasan lebih gamblang.
"jika batu permatamu jatuh ke dalam drum yang airnya keruh. Apakah pandanganmu bisa menembus keruhnya air itu?", tanya Papa Saidinang.
Bersamaan Su'ding dan Borahing menjawab tidak. Papa Saidinang meraih rokoknya. Ia menghisap sekali dan menaruhnya kembali sebelum melanjutkan penjelasan.
"Dan di dasar drum itu ada banyak kerikil. Batu permatamu ada di antara kerikil-kerikil itu. Karena matamu tak bisa menjangkau, kau masukkan tanganmu. Tanganmu menggantikan matamu. Karena di dasar drum tersebut ada banyak kerikil yang seukuran batu permatamu, tanganmu bisa saja terkecoh dan mengambil kerikil yang kau sangka permatamu. Tapi, ada yang tidak mungkin terkecoh. Rasamu. Tanganmu sebenarnya hanyalah perpanjangan rasamu. Rasamu tidak mungkin keliru. Ia akan menuntunmu pada permatamu yang berada di antara banyaknya kerikil. Bagaimana dengan matamu? Bisa jadi kau pejamkan. Boleh jadi juga ia terbuka. Jika pun terbuka, namun sesungguhnya ia tertutup. Maksudnya, di saat rasamu sedang dalam upaya pencarian, matamu tertuju pada apa saja. Namun, sebenarnya, ia tidak benar-benar melihat dan menyaksikan objek-objek itu"
Su'ding mencolek Borahing, memberitahu api rokoknya sudah hampir mencapai jarinya. Borahing buru-buru merontokkan abu rokoknya kemudian menghisapnya beberapa kali tanpa jeda, lalu membuang puntungnya ke dalam asbak piring.
"Pernah melihat orang shalat dan pandangannya tidak tertuju ke tempat sujud atau memejamkan mata?", tanya Papa Saidinang
"Pernah", Su'ding menjawab. Borahing mengangguk-anggukkan kepala.
"Orang seperti itu tidak boleh langsung dituduh ini, itu. Atau shalatnya begini dan begitu. Boleh jadi. Boleh jadi, ya, ia sedang tenggelam dalam samudera rasa tak terperi, sehingga matanya yang tertuju ke mana-mana tidak menyaksikan satu objek pun di hadapannya. Tenggelam dalam penyaksian"
"Apa yang disaksikan?", Borahing bertanya. Su'ding menatap langit-langit teras masjid. Ia seolah berpikir keras.
"Tuhan", Papa Saidinang menjawab setengah berbisik. Pandangan Borahing sejenak mengikuti jejak pandangan Su'ding di langit-langit sebelum kembali bersuara.
"Tapi, kan, Tuhan tidak bisa disaksikan?"
"Ya, sama dengan permata jatuh ke dalam drum yang airnya keruh dan banyak kerikil di dasarnya. Permata itu juga tidak terjangkau oleh pandangan mata. Tapi bisa disaksikan oleh rasa", kata Papa Saidinang mencoba menjelaskan.
"Bagaimana kita tahu bahwa rasa kita itu benar dan tidak mungkin salah?", Su'ding kembali bersuara.
"Ia sendiri yang hadir dan menyingkapkan diri. Dan rasa menyaksikan itu". Pandangan mata Borahing terlihat seperti sedang mengurai benang kusut. Su'ding pun demikian.
"Kalian pernah lapar?", tanya Papa Saidinang.
"Pernah"
"Apakah ketika lapar hadir, kalian meragukannnya atau berpikir dan mencoba mememukan rumus-rumus tertentu untuk membuktikan bahwa apa yang menyingkapkan dirinya pada diri kalian adalah benar-benar sesuatu yang disebut lapar?"
"Tidak", kata Su'ding.
"Jadi, iklan kecap itu benar, dong. Rasa tidak pernah berbohong", seloroh Borahima.
"Apa yang dikatakannya benar", kata Papa.Saidinang. "Yang keliru adalah...."
".....kalau selalu merasa paling enak dan paling nomor satu", Kata Su'ding melanjutkan kalimat Papa Saidinang.
Tetiba pak Imam muncul arah samping masjid. Papa Saidinang, Su'ding dan Borahing sontak berdiri. Rokok mereka diletakkan. Mereka membungkukkan badan dan kedua tangana mereka diapitkan di antara kedua paha.
"Eh, pak imam. Lagi cerita-cerita sama anak-anak, pak imam", kata papa saidinang menyambut pak imam penuh penghormatan. Pak imam tersenyum.
"Lanjut, lanjut..", katanya sambil berlalu ke dalam masjid.
0 Komentar