Header

Header

TAKDIR

Seperti agama dan seperti kebanyakan orang, namanya disandang tanpa mengajaknya berunding terlebih dahulu. Ketika telinganya mulai bisa menangkap suara, ia dipanggil begitu saja dengan nama itu oleh kedua orang tuanya, kakek, bibi dan pamannya, seluruh keluarganya, juga oleh orang-orang di sekelilingnya. Menoleh saat nama itu disebutkan dan sesekali merespon dengan tawa yang lucu. Ia tidak bisa menolak, Takdir diterima apa adanya tanpa bisa mengusulkan satu nama pun sebagai alternatif. Mfardi, misalnya, atau Abdullah atau Sudir atau Hidayat. Nama terakhir adalah nama yang paling ia sukai. Ia kerap berkhayal orang-orang memanggilnya Dayat ketika melihatnya. Tapi tidak, ia tidak pernah menerima Hidayat yang disukainya. Di akte kelahirannya yang terbuat dari batang pohon kelapa, di kamar orang tuanya, dan digandakan di dinding kamar, dengan jelas tertulis : Takdir, lahir malam sabtu 14 Januari 1970. 

***

Bagi Takdir, perempuan seumpama Hidayat dalam hidupnya. Didamba-damba tapi tak kunjung dimiliki. Berkali-kali ia mendekati perempuan dengan niat dinikahi jika kelak cinta dan maksud baiknya disambut tulus. Tentu saja keberanian dan kemantapan langkahnya mengetuk hati disokong oleh jimat atau mantra penjinak hati. Mantra yang dipungkas kata-kata Tuhan : Kun Fa Yakuun. Namun, entah mengapa, takdir dan kenyataan yang ia hadapi selalu berdiri berseberangan dengan harapan dan keyakinannya. Oleh perempuan yang didatangi, ia melulu diminta mencari perempuan lain. Begitu mendatangi perempuan lain, hal sama ia peroleh, perempuan lain itu pun memintanya mencari perempuan lain. Begitu seterusnya, ia terus menerus terpental ketika ia mencoba menyentuh sesuatu yang diharap-harap. 

"perempuan benar-benar tidak hanya satu", gumamnya pada diri sendiri mengenang kata-kata salah seorang sahabatnya setelah perempuan kesebelas yang menolaknya juga memintanya mencari perempuan lain. Tapi, Takdir bukannya bersemangat, malah cenderung putus asa. 

Ia akan berhenti berusaha jika perempuan keduabelas juga memintanya mencari perempuan lain. Begitu sumpahnya suatu hari kepada dirinya sendiri, beberapa minggu kala ia merasa hatinya sudah menjadi lebih baik setelah keterpentalannya yang kesebelas kali. Ia sadar sumpahnya terlampau berat. Selain risikonya mengerikan, juga tentu saja menyelisihi sunnah Nabi. Nabi, sependek tahunya, tidak mengajarkan hidup selibat. Untuk sumpahnya yang sungguh-sungguh itu, ia memutuskan mencari mantra paling ampuh. Ia tak ingin tergenang dalam kubangan bid'ah hingga nafas terakhirnya.

Sialnya, Takdir harus menerima segala risiko sumpahnya untuk hidup mandiri, melayani dan dilayani diri sendiri sebelum berhadapan dengan perempuan keduabelas. Takdir terlanjur putus asa. Laa yukallifullahu nafsan illa wus'aha... yang setiap kali diwiridkan seusai shalat sama sekali tak membekas. Keputusasaan sudah terlampau kuat. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.

Orang tua yang tinggal jauh dari perkampungan dan terkenal sangat sakti yang didatanginya atas petunjuk sahabatnya ternyata tidak menyimpan sesuatu yang bisa mendekatkan dirinya pada harapannya. Ia malah disodori mantra penjinak buaya dan ular saat ia bertanya mantra penjinak hati. Ditolaknya dua tawaran itu. Selihai bagaimanapun membelokkan niat ketika merapal mantra penjinak binatang buas itu, sekuat apapun upaya menggambarkan perempuan sebagai buaya dan ular karena ganasnya penolakan yang ia terima selama ini darinya, bagi Takdir, perempuan tetaplah sosok yang lembut dan muasal kasih sayang, tidak mungkin diandaikan sebagai makhluk menakutkan. Ia pun menampik tawaran mantra yang bisa menjadikan telunjuk sendiri sebagai tempat persembunyian yang aman dengan alasan khawatir kelak akan disalahgunakan. Takdir pulang dengan tangan hampa dan siap menjalani kehidupan dengan kehampaan perempuam di sisinya.

*** 

Takdir memutuskan minggat dari rumahnya di pinggir kali. Ia memilih membangun gubuk kecil di atas gunung, di kebun jagung miliknya. Kebun yang berbatasan langsung dengan kuburan itu sebenarnya bukan milik pribadi yang diwarisi dari orang tuanya. Kebun itu milik Hajjah Saoda, seorang janda sepuh yang anak lelaki semata wayangnya tidak memiliki minat menggarap kebun ibunya dan lebih memilih merantau. Kabarnya, anak Hajja Saoda menjadi kuli bangunan di Kalimantan. 

"Loh, kok minggatnya ke kuburan?", kata seorang tetangganya tak habis pikir. Takdir, oleh para tetangganya dikenal sangat takut pada setan, hantu dan makhluk-makhluk halus lainnya. 

"Jangan-jangan selama ini ia berbohong tentang ketakutannya pada hantu?", seseorang lagi berkomentar penuh sangsi. 

Takdir, sebelum minggat, memang tidak pernah bercerita kepada siapapun alasannya. Tiba-tiba saja ia pergi dan membawa pakaiannya dan beberapa peralatan dapur. 

Selama tinggal di gubuk kecilnya, Takdir tetap berhubungan dengan tetangganya seminggu sekali saat ia membesuk rumahnya untuk sekedar membersihkan atau melepas kangen. Bincang-bincang dengan bekas tetangganya tidak pernah berlangsung lama. Sebisa mungkin dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hal itu ia lakukan untuk menghindari pertanyaan perihal keputusan minggatnya yang tiba-tiba. 

Sebelas bulan setelah minggat, Takdir ditemukan salah seorang warga dalam kondisi tidak bernyawa di kebunnya. Di sisi mayatnya tergeletak cangkul. Ubun-ubunnya robek. Wajahnya bersimbah darah dan kedua tangannya menggenggam erat sebaris gigi buaya berlumur darah. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun....

Saat orang-orang ramai berdatangan, seekor burung bangkai terbang memutar di atas kepala mereka sambil meraung horor sebelum akhirnya menghilang ke arah matahari terbenam. 

"Jadi, ini alasan kenapa memilih minggat? Karena menghindari takdir mati dimakan buaya? Hahahahah", salah seorang bekas tetangganya tiba-tiba berseloroh melayangkan dugaan. Beberapa orang menyepakatinya, beberapa orang lagi menertawakannya. 

Kawan khayali saya menahan laju tanganku yang hendak menambahkan dugaan-dugaan tetangganya yang lain. Ia muncul begitu saja dan duduk di sampingku dalam wujud yang sama persis dengan yang ada di imajinasiku. Ia mengaku sangat dekat dengan sosok Takdir. Katanya, yang saya ceritakan ini adalah kisah nyata. Benar, Takdir minggat dari rumahnya dan memutuskan tinggal jauh dari sungai, alasannya memang untuk merubah jalan matinya. Meski kelak kepalanya tidak berada di pangkuan salah seorang dari kesebelas perempuan yang mendepaknya atau salah seorang di antaranya menuntun nafasnya di detik-detik akhir, Takdir, sebagai manusia yang biasa-biasa, ingin mati secara wajar saja. 

Kawan saya menuturkan sebagaimana yang dikisahkan Takdir padanya bahwa pada suatu malam, di malam selasa, Takdir bermimpi. Dalam mimpi yang sangat buruk dan sangat nyata itu, orang tua yang menawarinya mantra penjinak buaya mendatanginya. Takdir dipaksa menerima mantra itu. Tapi, seperti sebelumnya,  tetap ditolaknya. Sikap Takdir membuat orang tua itu murka. Ia berdiri dan menunjuk-nunjuk muka Takdir dengan sengit. Selagi murka, tubuh orang tua itu perlahan semakin membesar dan meninggi. Orang tua itu lenyap setelah meninggalkan pesan horor : "takdirmu bakal mati dimakan buaya!". Takdir menggigil ketakutan dan terbangun dengan kondisi tubuh penuh keringat. 

Karena tidak berhenti dihantui mimpi buruknya, dua hari setelahnya, Takdir memutuskan menemui orang tua itu. Setelah sampai, tidak ditemukan orang tua itu di sana. Tidak ada rumah. Tidak ada embikan kambing yang dahulu menyambutnya. Takdir semakin kebingungan setelah mendapati tanah tempat rumah orang tua itu berdiri ditumbuhi pohon-pohon besar dan dipenuhi semak belukar dan tidak ada jejak yang menunjukkan bahwa pernah ada rumah berdiri di sana semenjak berpuluh-puluh tahun yang lalu. 

"yang merobek ubun-ubun Takdir itu benar gigi buaya yang diantar elang? Memang seperti itu kah takdir bekerja? tanyaku. Karena tidak langsung mendapat jawaban, saya menoleh ke arahnya. ternyata ia sudah tidak ada. Lenyap, entah kemana. 

😂

Posting Komentar

0 Komentar