Tidak seperti matahari yang bersinar lebih cerah
dari biasanya pagi itu, wajah nenek Sumirah terlihat begitu murung. Matanya
berkaca-kaca. Dua orang perempuan tampak sedang berusaha menenangkannya. Habir,
cucunya, juga sangat terpukul atas kejadian itu. Di antara kerumunan
orang-orang, Habir duduk menyender ke pohon, dagu disampirkan di atas sepasang
lututnya yang dinaikkan. Kedua tangannya memeluk lutut penuh bekas luka itu.
Sesekali tangannya menyeka air mata dan membersihkan cairan yang merembes dari
hidungnya dengan lengan bajunya. Matanya menatap kandang kambing di depannya
dengan nanar. Kambing pejantan miliknya raib semalam. Kini, kandang yang
disekat jadi dua bagian itu hanya dihuni seekor kambing betina kecil yang belum
puber. Kejadian yang menimpa nenek Sumirah adalah awal dari rentetan peristiwa
kehilangan selanjutnya di kampung itu.
“Padahal semalam saya tidur lewat tengah malam.
Tapi tidak ada suara-suara mencurigakan terdengar dari arah kandang kambing
itu”, Kata Darmin, tetangga nenek Sumirah.
“Saya tadi malam sehabis shalat isya langsung
tidur. Tidak tahu kenapa, saya secapai itu sepulang dari sawah”, Dullah
menimpali.
Sumang yang rumahnya di samping surau dan cukup
jauh dari rumah nenek Sumirah dan dari tadi asik mengobrol dengan Dullah dan
Darmin, melirik Rayuan. Rayuan sibuk membenarkan kandang kambing nenek Sumirah
bersama isterinya. Kebetulan rumah Rayuan berada di belakang rumah nenek
Sumirah dan hanya berjarak beberapa meter dari kandang kambing yang jebol
semalam itu. Sumang berjalan ke arah kandang kambing dan menghampiri Rayuan.
“Kamu tidak dengar suara-suara mencurigakan
semalam, Rayu?”, tanya Sumang. Rayuan yang sedari tadi berjongkok, berdiri
menyambut Sumang. Tubuhnya sedikit oleng saat mencoba berdiri akibat terlalu
lama berjongkok. Diraihnya salah satu tiang kandang agar bisa berdiri tegak, kemudian
memejamkan mata sejenak mengusir beberapa ekor kunang-kunang yang menyertainya
berdiri. Wajahnya berpeluh. Peluh itu mengucur dari pelipisnya dan dibiarkan
mengalir begitu saja.
“Hmm, apa yang bisa didengar orang yang tidurnya
seperti orang mati”, isteri Rayuan menukas sebelum Rayuan sempat menjawab
pertanyaan Sumang.
“Heran saya, kok ada orang yang tidurnya persis
seperti mayat begitu. Jangankan suara kambing atau bunyi kandang dibongkar,
kalau sudah ngorok, gajah adu mulut di telinganya saja tidak akan mengusiknya. Huh!”,
sambung isterinya dengan wajah yang sangat tidak enak dipandang. Rayuan diam,
tidak menggubris. Omongan isterinya benar belaka. Menjelang pukul sembilan
orang-orang membubarkan diri, mereka kembali kepada kesibukan masing-masing.
***
Setiap malam di kampung kecil itu selalu saja ada
keluarga yang kehilangan harta bendanya. Dalam sepekan saja sejak kambing nenek
Sumirah hilang, setidaknya ada delapan orang yang melapor kepada Pak Dusun
bahwa semalam mereka kehilangan harta benda. Siapa pelakunya dan bagaimana
pelaku itu beraksi, tidak seorang pun yang tahu.
Keresahan masyarakat semakin menjadi-jadi hari demi
hari. Para perempuan dihantui rasa takut setiap malam. Mereka takut jika pelaku
misterius itu nantinya tidak lagi hanya mencuri harta benda mereka, tapi juga melakukan
hal-hal paling mengerikan. Bagimana jika pelaku itu menggorok leher para lelaki
satu persatu, memperkosa isteri dan anak-anak perempuan sebelum menghabisi
nyawa mereka dengan cara paling sadis ; membakar mereka hidup-hidup dengan
kondisi tangan dan kaki terikat?
Menanggapi ketakutan-ketakutan itu, setelah salat
jumat ditunaikan, Pak Dusun berdiri di hadapan jamaah. Setelah menyampaikan
mukaddimah sekenanya, ia langsung pada pokok permasalahan. Pak Dusun meminta
jamaah, terutama para kepala keluarga, untuk tidak langsung pulang setelah pembacaan
doa selesai. Ia mengajak jamaah duduk bersama untuk membahas dan mencari jalan
keluar atas teror yang menimpa kampung mereka dan telah membuat para perempuan didera
ketakutan.
Pertemuan yang berakhir menjelang pukul dua siang itu,
mereka bersepakat untuk kembali mengaktifkan ronda. Petugas ronda terdiri dari
enam orang. Tidak ada silang pendapat, semua yang hadir setuju dan bersemangat.
“Kalau misalnya ada yang bukan jadwalnya meronda
tetap bisa bergabung, tapi jangan lupa beri tahu anggota keluarganya, terutama
isteri”, kata Pak Dusun.
“Tapi siapapun, kecuali ia sakit, jika jadwalnya
meronda sama sekali tidak boleh tinggal di rumah. Wajib menjalankan tugas!”, sambung
Pak Dusun tegas. Semua setuju.
Matahari terus beringsut ke arah barat dan melukis
warna merah jingga di cakrawala. Orang-orang kembali ke rumah setelah berjibaku
dengan tanah di sawah-sawah mereka. Ternak-ternak dikandangkan. Lenguhan sapi
dan erangan kambing-kambing lapar yang mondar mandir di dalam kandang satu
persatu surut ke dalam sorak sorai suara binatang malam yang riuh menyambut
malam turun. Mega merah di ufuk lenyap dan tidak terlihat lagi seorang pun anak-anak
bermain di luar rumah. Lampu-lampu serentak menyala di rumah-rumah penduduk,
pertanda malam menegaskan diri, dan kini gelap meliputi seisi kampung.
Selepas isya, suasana terasa kian mencekam di malam
pertama orang-orang meronda. Dullah, Arip, Musa, Diris, Sumael dan Abrar
mendapat giliran pertama. Kopi dan kue bekal meronda selepas magrib diantar ke pos
ronda. Keenam kepala rumah tangga itu masing-masing membawa senter dan
pentungan. Di pinggang mereka menggantung parang untuk menjaga diri. Mereka
benar-benar siap dan bersemangat menjaga kampung mereka demi menghadirkan rasa
aman bagi para perempuan, anak-anak dan seluruh warga. Setiap satu setengah jam
empat orang berkeliling memantau keadaan, dua lainnya berjaga di pos ronda.
Menjelang pukul tiga dini hari saat tak satupun
suara binatang malam terdengar dan orang-orang bisa mendengar degup jantungnya
sendiri, keenam peronda sejenak saling menatap sebelum mencampakkan
lembaran-lembaran domino di tangan mereka kemudian menghambur dengan pentungan
dan senter menyala di tangan. Tangis keras kambing dari arah rumah Dullah
memecah keheningan. Tiga orang bergegas menuju sumber suara termasuk Dullah,
tiga lainnya berkeliling memantau keadaan. Dullah langsung menuju kandang
kambingnya. Dilihatnya kambing itu berbaring dengan dua anaknya yang masih
kecil meringkuk di bawah tetek induknya. Sepertinya tidak terjadi sesuatu pada kambing-kambingnya.
Dullah malah menemukan seekor kodok berukuran cukup besar melompat ke sudut
kandang. Setelah memastikan kambingnya aman dan baik-baik saja, Dullah, Arip
dan Musa menyebar memeriksa keadaan di sekitar. Tiga sorot lampu senter beradu dalam
gelap menerobos semak-semak, seperti lampu sorot di panggung pertunjukan.
Setelah memastikan keadaan benar-benar aman, mereka kembali ke pos ronda.
Keenam orang yang bertugas ronda malam itu
benar-benar tidak tidur semalaman. Racikan kopi yang kental telah mengganjal
dua kelopak mata mereka agar tidak terpejam. Beberapa saat setelah orang-orang
pulang dari surau melaksanakan salat subuh, dengan nafas susul menyusul, isteri
Dullah mendatangi pos ronda dan melaporkan bahwa kandang kambingnya kosong.
Keenam orang yang bertugas jaga malam itu kembali saling berpandangan.
“Loh, semalam kan….”, kata Dullah tidak habis
pikir.
Keesokan harinya, kompor gas milik Sudir lenyap
tepat di hari yang sama Samiang melaporkan tipinya sudah tidak ada di
tempatnya. Hari berikutnya, Saidinang kehilangan sapinya, Junaedi kehilangan
ayam dan burung-burung peliharaannya padahal sudah dimasukkan ke dalam rumah. Besoknya
lagi, isteri Ridwan dan isteri pak guru Mansyur merana karena terpaksa menumpang
mandi, mencuci dan buang air di rumah tetangga karena mesin air mereka hilang. Besoknya
lagi, pak Rauf penjual sayur bersepeda kehilangan sepedanya. Entah besok siapa
lagi.
Demikianlah, setiap pagi tiba selalu ada yang mendatangi
pos ronda melaporkan ternak atau harta benda mereka yang hilang. Sialnya, tidak
seorang pun yang bisa mencegah kehilangan-kehilangan itu.
***
Aziz, ayah Habir, pulang kembali ke kampung setelah
beberapa tahun mengadu nasib di Kalimantan. Habir bahagia mendapati ayahnya
pulang. Rasa senang juga tergambar di wajah nenek Sumirah. Aziz tidak datang
sendiri. Ia bersama seorang perempuan, isteri barunya. Kepulangan Aziz juga
turut membuat warga lain senang karena ada tambahan pasukan ronda.
Kepada Aziz, nenek Sumirah bercerita panjang lebar
tentang apa yang sedang terjadi di kampung. Aziz mendengar dengan tekun cerita ibunya
sambil mengelus-elus kepala anaknya yang mendekam di pangkuannya. Aziz juga
menyimak baik-baik cerita ibunya mengenai Habir yang berhari-hari kehilangan keceriaan
dan semangat ke sekolah setelah kambing jantan kesayangannya yang dirawat penuh
kasih sayang seperti seorang ibu merawat anaknya sendiri menghilang dalam
kandang.
“Hmm… Ilmu Sembunyi?”, Aziz bergumam setelah
mendengar semua cerita ibunya.
Dua hari Aziz berada di kampung, ia ikut meronda
pada malam ketiga. Selain senter, pentungan dan parang, ia juga membawa botol
mungil berisi minyak beraroma akar kayu.
Minyak yang berwarna kemerahan itu diperolehnya di pedalaman Kalimantan.
Minyak itu sudah menyatu dengan mantra. Mantra yang ditiupkan oleh seseorang
yang dikenal sebagai kepala suku. Jika minyak tersebut dioleskan di kelopak
mata, segala sesuatu yang tersembunyi akan menjadi tampak terang benderang.
Maka, setelah bergabung dengan keenam orang yang bertugas meronda malam itu,
Aziz mengoleskan minyak itu di kelopak matanya. Keenam orang lainnya pada
mulanya menolak karena khawatir malah akan melihat hantu-hantu menyeramkan,
kuntilanak atau genderuwo. Memang benar, seseorang bisa melihat wujud makhluk
halus jika kelopaknya diolesi minyak sakti itu. Namun, Aziz meyakinkan bahwa
ada rapalan mantra khusus saat mengoles agar makhluk halus tidak terlihat dan
yang akan tampak hanya orang yang memiliki ilmu menghilangkan diri.
Ilmu menghilangkan diri ini orang kampung
menyebutnya sebagai “Ilmu Sembunyi”. Ilmu Sembunyi sebenarnya ilmu yang
diberikan kepada para tentara yang akan melenggang ke palagan agar tidak
terlihat oleh musuh. Konon, dengan kesaktian ilmu itu, seseorang bisa
bersembunyi di balik telunjuknya sendiri sehingga keberadaannya tidak akan
terdeteksi oleh mata siapapun. Sudah banyak kesaksian dari tentara yang pulang
dari medan tempur dengan tidak satu pun luka di tubuhnya serta berhasil
mengahabisi musuh dengan mudah. Namun, entah bagaimana ceritanya ilmu itu disalahgunakan
oleh orang-orang picik untuk melancarkan aksi-aksi kotor yang merugikan banyak
orang. Setelah mendengarkan penjelasan Aziz, keenam orang itu akhirnya bersedia.
“O, iya. Kalau mengantuk, kalian tetap bisa membasuh
muka untuk mengusir kantuk. Tidak usah khawatir khasiat minyak itu hilang. Minyak
itu kalau dioleskan malam ini, khasiatnya baru akan luntur pada malam
berikutnya”, kata Aziz memberi tahu.
“Tenang saja, kang, kopi racikan perempuan di
kampung kita bisa bikin melek sampai siang”, tukas seorang sambil terkekeh.
Aziz tersenyum kemudian menyalakan rokok.
“Kalau yang tersembunyi di balik kain, bisa
terlihat terang benderang juga, kang?”, celetuk seorang lagi yang dari tadi
penasaran ingin bertanya. Teman yang duduk di sampingnya menangkap maksud pertanyaan
itu dan langsung melirik.
“Asem! Woi.. sadar dong, anak sudah empat”, katanya
menyindir, kemudian disambut tawa yang lain.
“Mudah-mudahan kemalangan yang terjadi pada kampung
kita segera berakhir. Tahu tidak, isteri pak Dusun, setiap malam semenjak sapi
Saidinang hilang ia selalu gelisah. Tidurnya tidak pernah nyenyak. Pak Dusun
sendiri yang cerita ke saya soal ini”, kata Hasan sambil menuangkan kopi ke
dalam tujuh gelas dalam nampan.
“Ya, semoga saja”, kata Aziz,
“Aamiiiiiin….”, serentak yang lain mengaminkan.
***
Udara malam yang dingin semakin terasa merasuk ke
dalam tulang. Sebagian besar warga sudah dibuai mimpi. Ketujuh peronda mencoba menghalau
kantuk dengan bermain domino dan main catur. Aziz bermain catur dengan Hasan. Rayuan
dan tiga yang lain bermain domino. Rifa’i yang tidak ikut bermain duduk di
sebelah Aziz, menonton Aziz bermain catur sambil menjadi tukang catat poin
mereka yang main domino.
Meskipun para peronda mengisi waktu dengan main
domino dan main catur, mereka tetap awas, tidak terlena. Telinga mereka ditajamkan
sehingga bisa menangkap suara-suara mencurigakan, bahkan yang paling jauh
sekali pun. Ketika waktu bergeser ke pukul 02.35, ayam-ayam milik pak Dusun terdengar
seperti ada yang mengusik. Ketujuh peronda segera menyudahi permainan mereka.
Rifa’i dan Rayuan secepat kilat meraih kopinya yang tersisa kurang dari
setengah gelas. Sepersekian detik kopi dingin itu sudah mengaliri
tenggorokannya. Jejak kopi di ujung kumis Rifa’i tidak sempat diseka, ia
langsung melompat dari pos ronda. Mereka bergegas ke belakang rumah pak Dusun,
tempat ayam-ayam itu dikandangkan. Dengan pentungan di tangan kanan dan parang
menggantung di pinggang, mereka berjalan membungkuk dengan langkah cepat-cepat,
setengah berlari dalam balutan malam. Senter di tangan mereka dibiarkan mati. Benar
saja, di sekitar kandang sudah berdiri tiga orang berjaga-jaga dengan pakaian
hitam dan mengenakan pakaian ala ninja. Dua orang lagi berada di dalam kandang.
Tiga orang yang berjaga di luar kandang kaget
ketika cahaya senter menyorot tubuh mereka. Aziz dan Rifa’i menuju kandang. Dua
pencuri di dalam kandang melupakan beberapa ekor ayam yang sudah dikarungkan
dan berdiri menantang siap menghadapi Aziz dan Rifa’i. Kedua pencuri itu
mengeluarkan parang mereka. Parang itu tampak berkilauan oleh cahaya lampu di
beakang rumah pak Dusun. Aziz merentangkan tangannya menghalau Rifa’i yang
hendak menyerang kedua pencuri itu.
“Tidak usah. Biar saya yang hadapi dua bangsat itu”,
kata Aziz berbisik. Rifa’i tidak jadi maju. Aziz memberikan senternya ke
Rifa’i.
“Nyalakan kedua senter itu. Satunya arahkan ke
saya, satu lagi arahkan ke kedua bangsat itu!”, kata Aziz. Mengikuti perintah
Aziz, Rifa’i mundur beberapa langkah, agak ke samping. Dalam sorot lampu
senter, Aziz tampak berdiri menunduk. Tidak jelas apa yang dilakukannya.
Mungkin ia sedang merapal mantra. Setelah beberapa detik, senter di tangan
Rifa’i hampir jatuh. Tubuh Rifa’i gemetar. Ia merasakan seluruh persendiannya
lemas kala melihat tubuh Aziz perlahan-lahan membesar dan semakin membesar.
Tubuh setinggi empat meter itu kemudian melangkah mendekati kedua pencuri yang merapat
ke dinding kandang. Aziz terus mendekat, hingga jarak mereka tinggal dua
langkah. Para pencuri itu gentar, seluruh tubuhnya gemetar dan parang di tangan
mereka terjatuh tanpa mereka sadari. Keduanya jatuh tersungkur. Terdengar
tangisan yang memilukan disertai erangan panjang saat Aziz memotong kuping
kedua pencuri itu. Setelah mengantongi dua kuping, Aziz meraih lengan kedua
pencuri dan melemparkannya ke luar kandang yang pagarnya setinggi tubuhnya.
Tiga pencuri di luar kandang yang beradu dengan
lima orang peronda lainnya juga terluka. Ketika kedua tubuh pencuri yang
dilemparkan dari kandang ayam mendarat menggebuk bumi, terdengar suara
kesakitan yang ditahan disusul teriakan kepada teman-temannya untuk segera
kabur. Setelah para pencuri berlari tunggang langgang, Aziz kembali ke wujud
normal. Beberapa saat Rifa’i masih terheran-heran.
Rayuan dan Hasan terluka saat mencoba melumpuhkan
pencuri. Rayuan luka di lengan kiri, sementara Hasan luka menganga di
punggungnya tapi tidak terlalu parah.
Rayuan duduk bersandar di pos ronda sambil merintih
kecil menahan perih. Darah mengalir dan menetes di ujung jari-jarinya. Hasan
yang terluka di punggung dibaringkan dalam posisi telungkup. Dengan mata
setengah terpejam, Aziz mengusap dengan sangat pelan luka menganga itu.
Mulutnya terus komat-kamit. Ketika sampai di ujung luka, kulit yang menganga
itu kembali menyatu. Setelah luka dipunggung itu tertutup, Aziz menghampiri
Rayuan dan melakukan hal sama pada luka di lengannya. Luka Rayuan pun langsung
tertutup. Semua yang menyaksikan apa yang dilakukan Aziz, terheran-heran. Dan untuk
kesekian kali, Rifa’i melongo. Setelah Rayuan dan Hasan tidak lagi merasakan
sakit, keduanya langsung menghambur dan menciumi tangan Aziz. Rifa’i dan tiga
orang lain juga melakukan hal serupa.
“Tolong ambilkan air untuk membersihkan darah
mereka”, pinta Aziz kepada Rifa’i. Rifa’i segera menuju sumur di dekat pos ronda
diikuti tiga peronda yang lain.
Peristiwa pemotongan telinga dan penyembuhan luka oleh
Aziz malam itu menjadi bagian akhir dari cerita kehilangan-kehilangan di
kampung itu. Penduduk kembali merasa aman.
***
Cerita tentang kesaktian Aziz dengan cepat menyebar
hingga ke luar desa. Anehnya, cerita yang berkembang di luar lebih daripada apa
yang disaksikan Rifa’i dengan mata kepalanya sendiri. Karena cerita itu, orang-orang
dari luar desa kemudian beramai-ramai datang meminta tolong untuk disembuhkan
penyakitnya. Harapan mereka untuk sembuh dari penyakit yang dideritanya
ternyata bukan isapan jempol. Aziz, dengan sebotol air yang sudah ditiupkan
mantra juga bisa menyembuhkan penyakit mereka.
Orang-orang kemudian memperlakukan Aziz tidak biasa.
Aziz dijadikan sebagai guru, bahkan beberapa dari mereka menganggapnya sebagai
manusia suci. Pendek kata, terjadi pengkultusan pada sosok Aziz. Dan pada
akhirnya, hal yang sulit dihindari pun terjadi : komersialisasi kesaktian.
Beberapa bulan berjalan, setelah sekian banyak
orang berhasil disembuhkan, Aziz sakit. Tidak ada yang tahu penyakit apa yang
menyerangnya. Dan seperti pada umumnya, seseorang yang perkasa menyembuhkan
penyakit orang lain, sulit baginya menyembuhkan dirinya sendiri. Sesakti apapun
Aziz, ia tidak bisa mengeluarkan kelilip di matanya sendiri, dan sialnya, juga
tidak seorang pun dari muridnya yang bisa membantunya. Aziz menghembuskan nafas
terakhirnya di pangkuan isterinya.
Saat Aziz meninggal, orang-orang yang melihat
mayatnya, melongo. Bukan, bukan karena mayat Aziz bangkit kemudian memberi tahu
semua orang bahwa ia hidup kembali karena meminta kepada tuhan agar ditiupkan roh
untuk kedua kalinya. Tapi yang membuat orang-orang melongo adalah karena
menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, detik demi detik, mayat Aziz
mengecil dan semakin mengecil. Mayat Aziz berhenti mengecil di telapak tangan
isterinya saat ukurannya sekecil jari telunjuk. Mayat berukuran mungil itu
digenggam erat-erat oleh isteri Aziz, sebagaimana pesan Aziz sebelum meninggal bahwa
ia harus menjaga mayatnya baika-baik. Diciuminya mayat itu dengan segenap perasaan,
sesekali mayat itu diletakkan di dadanya. Aziz juga berpesan agar mayatnya
jangan dikubur karena orang-orang akan membongkarnya untuk dijadikan jimat dan
dimilikinya sendiri.
Isteri Aziz bingung. Ia merasa tidak ada tempat
aman untuk menyimpan mayat suaminya. Hingga suatu malam isteri Aziz bermimpi. Dalam
mimpinya, ia melihat dua ekor monyet betina sedang menikmati pisang di bawah
sebuah pohon. Ketika seekor monyet jantan serakah yang suka merebut paksa
makanan monyet-monyet betina muncul di kejauhan, kedua monyet betina segera
menghabiskan pisang yang sedang dinikmati. Karena tidak ingin dua pisang yang
masih tersisa dirampas oleh si monyet jantan serakah, kedua monyet betina
tersebut menyembunyikan pisang mereka ke dalam alat vital mereka. Saat terbangun,
isteri Aziz langsung meraih mayat suaminya dan mengamankannya ke dalam
kelaminnya.
Pada mulanya isteri Aziz menolak karena merasa
risih ketika suatu malam Aziz mendatanginya di dalam tidur dan memintanya agar
memberikan kesempatan kepada murid-muridnya atau siapapun yang ingin menziarahi
mayatnya. Namun, setelah suaminya mendatanginya untuk ketiga kali dan
mengatakan bahwa ia boleh meminta sesuatu kepada setiap peziarah yang datang, barulah
isteri Aziz bersedia, meskipun tetap saja merasa kurang nyaman.
Begitulah, murid-murid Aziz setiap malam selasa dan
jumat kliwon mendatangi isteri Aziz dan menyingkap sarung perempuan itu untuk
melakukan ziarah ke makam guru mereka yang terkubur di antara dua paha. Dan
isteri Aziz, seiring berjalannya waktu, menganggap ziarah sangat tidak biasa
itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja di kemudian hari.
***
Teror datang lagi setelah sebulan kematian Aziz.
Penduduk kembali kehilangan harta bendanya hampir setiap malam. Dan para pelaku
kali ini jauh lebih berani melakukan aksi yang menakutkan. Para pencuri tidak
hanya mengambil harta benda penduduk, tapi mulai melancarkan teror dengan
membakar rumah-rumah sawah milik petani. Orang-orang kembali dihantui
ketakutan. Sebagian penduduk mulai berpikir untuk meninggalkan kampung dan
sawah ladang mereka, terutama perempuan dan anak-anak.
Murid-murid Aziz yang mencoba bertahan banyak yang
mati karena senjata mereka, parang dan pentungan, sama sekali tidak bisa
melindungi diri dan mengusir orang-orang jahat itu. Senjata yang mereka miliki
sangat tidak sebanding dengan milik orang-orang jahat itu. Orang-orang jahat
itu menggunakan senjata berpelatuk.
Setelah tidak satupun warga tersisa yang memberikan
perlawanan, orang-orang jahat itu kemudian membakar ladang dan rumah-rumah
warga. Sawah ladang dan semua tanaman yang tumbuh subur di dalamnya ludes
dilalap api. Begitu juga rumah-rumah warga, lumbung tempat menyimpan padi,
surau, tidak ada yang tersisa. Tepat di saat itulah beberapa warga melihat
kemunculan sosok lelaki berbaju putih dengan celana warna gelap berdiri di atas
puing-puing sisa bangunan rumah mereka yang terbakar. Lelaki itu tersenyum
meski wajahnya tampak payah dan tertekan.
Keluarga Aziz akhirnya memilih menyingkir dan
meninggalkan kampung mencari tempat yang lebih aman. Diam-diam isteri Aziz
berharap suatu hari nanti mayat suaminya keluar dari kelaminnya dan lahir
kembali sebagai bayi, dan tentu saja setelah dewasa menjadi jauh lebih sakti
mandraguna dari sebelumnya.*
0 Komentar