Header

Header

RIWAYAT GANJIL

Pagi-pagi sekali orang-orang berkerumun di belakang rumah nenek Sumirah. Perempuan itu tinggal berdua dengan cucunya yang masih duduk di kelas empat SD. Habir, nama bocah laki-laki itu. Semenjak usia lima tahun Habir tinggal bersama neneknya setelah kepergian ayahnya ke Kalimantan. Sebelum tinggal dengan nenek Sumirah, Habir dititip oleh ayahnya di rumah bibinya, saudara tertua ibunya. Tapi entah kenapa, belum tiga bulan bersama bibinya, Habir memaksa untuk tinggal serumah dengan nenek Sumirah, ibu dari dari ayahnya. Ibunya meninggal beberapa hari setelah adik Habir diangkat dari perut perempuan malang itu. Ia mengalami pendarahan hebat pasca operasi. Genap sebulan ibunya ditimbun tanah, adik Habir menyusul.

Tidak seperti matahari yang bersinar lebih cerah dari biasanya pagi itu, wajah nenek Sumirah terlihat begitu murung. Matanya berkaca-kaca. Dua orang perempuan tampak sedang berusaha menenangkannya. Habir, cucunya, juga sangat terpukul atas kejadian itu. Di antara kerumunan orang-orang, Habir duduk menyender ke pohon, dagu disampirkan di atas sepasang lututnya yang dinaikkan. Kedua tangannya memeluk lutut penuh bekas luka itu. Sesekali tangannya menyeka air mata dan membersihkan cairan yang merembes dari hidungnya dengan lengan bajunya. Matanya menatap kandang kambing di depannya dengan nanar. Kambing pejantan miliknya raib semalam. Kini, kandang yang disekat jadi dua bagian itu hanya dihuni seekor kambing betina kecil yang belum puber. Kejadian yang menimpa nenek Sumirah adalah awal dari rentetan peristiwa kehilangan selanjutnya di kampung itu.

“Padahal semalam saya tidur lewat tengah malam. Tapi tidak ada suara-suara mencurigakan terdengar dari arah kandang kambing itu”, Kata Darmin, tetangga nenek Sumirah.

“Saya tadi malam sehabis shalat isya langsung tidur. Tidak tahu kenapa, saya secapai itu sepulang dari sawah”, Dullah menimpali.

Sumang yang rumahnya di samping surau dan cukup jauh dari rumah nenek Sumirah dan dari tadi asik mengobrol dengan Dullah dan Darmin, melirik Rayuan. Rayuan sibuk membenarkan kandang kambing nenek Sumirah bersama isterinya. Kebetulan rumah Rayuan berada di belakang rumah nenek Sumirah dan hanya berjarak beberapa meter dari kandang kambing yang jebol semalam itu. Sumang berjalan ke arah kandang kambing dan menghampiri Rayuan.

“Kamu tidak dengar suara-suara mencurigakan semalam, Rayu?”, tanya Sumang. Rayuan yang sedari tadi berjongkok, berdiri menyambut Sumang. Tubuhnya sedikit oleng saat mencoba berdiri akibat terlalu lama berjongkok. Diraihnya salah satu tiang kandang agar bisa berdiri tegak, kemudian memejamkan mata sejenak mengusir beberapa ekor kunang-kunang yang menyertainya berdiri. Wajahnya berpeluh. Peluh itu mengucur dari pelipisnya dan dibiarkan mengalir begitu saja.

“Hmm, apa yang bisa didengar orang yang tidurnya seperti orang mati”, isteri Rayuan menukas sebelum Rayuan sempat menjawab pertanyaan Sumang.

“Heran saya, kok ada orang yang tidurnya persis seperti mayat begitu. Jangankan suara kambing atau bunyi kandang dibongkar, kalau sudah ngorok, gajah adu mulut di telinganya saja tidak akan mengusiknya. Huh!”, sambung isterinya dengan wajah yang sangat tidak enak dipandang. Rayuan diam, tidak menggubris. Omongan isterinya benar belaka. Menjelang pukul sembilan orang-orang membubarkan diri, mereka kembali kepada kesibukan masing-masing.

***

Setiap malam di kampung kecil itu selalu saja ada keluarga yang kehilangan harta bendanya. Dalam sepekan saja sejak kambing nenek Sumirah hilang, setidaknya ada delapan orang yang melapor kepada Pak Dusun bahwa semalam mereka kehilangan harta benda. Siapa pelakunya dan bagaimana pelaku itu beraksi, tidak seorang pun yang tahu.

Keresahan masyarakat semakin menjadi-jadi hari demi hari. Para perempuan dihantui rasa takut setiap malam. Mereka takut jika pelaku misterius itu nantinya tidak lagi hanya mencuri harta benda mereka, tapi juga melakukan hal-hal paling mengerikan. Bagimana jika pelaku itu menggorok leher para lelaki satu persatu, memperkosa isteri dan anak-anak perempuan sebelum menghabisi nyawa mereka dengan cara paling sadis ; membakar mereka hidup-hidup dengan kondisi tangan dan kaki terikat?

Menanggapi ketakutan-ketakutan itu, setelah salat jumat ditunaikan, Pak Dusun berdiri di hadapan jamaah. Setelah menyampaikan mukaddimah sekenanya, ia langsung pada pokok permasalahan. Pak Dusun meminta jamaah, terutama para kepala keluarga, untuk tidak langsung pulang setelah pembacaan doa selesai. Ia mengajak jamaah duduk bersama untuk membahas dan mencari jalan keluar atas teror yang menimpa kampung mereka dan telah membuat para perempuan didera ketakutan.

Pertemuan yang berakhir menjelang pukul dua siang itu, mereka bersepakat untuk kembali mengaktifkan ronda. Petugas ronda terdiri dari enam orang. Tidak ada silang pendapat, semua yang hadir setuju dan bersemangat.

“Kalau misalnya ada yang bukan jadwalnya meronda tetap bisa bergabung, tapi jangan lupa beri tahu anggota keluarganya, terutama isteri”, kata Pak Dusun.

“Tapi siapapun, kecuali ia sakit, jika jadwalnya meronda sama sekali tidak boleh tinggal di rumah. Wajib menjalankan tugas!”, sambung Pak Dusun tegas. Semua setuju.

Matahari terus beringsut ke arah barat dan melukis warna merah jingga di cakrawala. Orang-orang kembali ke rumah setelah berjibaku dengan tanah di sawah-sawah mereka. Ternak-ternak dikandangkan. Lenguhan sapi dan erangan kambing-kambing lapar yang mondar mandir di dalam kandang satu persatu surut ke dalam sorak sorai suara binatang malam yang riuh menyambut malam turun. Mega merah di ufuk lenyap dan tidak terlihat lagi seorang pun anak-anak bermain di luar rumah. Lampu-lampu serentak menyala di rumah-rumah penduduk, pertanda malam menegaskan diri, dan kini gelap meliputi seisi kampung.

Selepas isya, suasana terasa kian mencekam di malam pertama orang-orang meronda. Dullah, Arip, Musa, Diris, Sumael dan Abrar mendapat giliran pertama. Kopi dan kue bekal meronda selepas magrib diantar ke pos ronda. Keenam kepala rumah tangga itu masing-masing membawa senter dan pentungan. Di pinggang mereka menggantung parang untuk menjaga diri. Mereka benar-benar siap dan bersemangat menjaga kampung mereka demi menghadirkan rasa aman bagi para perempuan, anak-anak dan seluruh warga. Setiap satu setengah jam empat orang berkeliling memantau keadaan, dua lainnya berjaga di pos ronda.

Menjelang pukul tiga dini hari saat tak satupun suara binatang malam terdengar dan orang-orang bisa mendengar degup jantungnya sendiri, keenam peronda sejenak saling menatap sebelum mencampakkan lembaran-lembaran domino di tangan mereka kemudian menghambur dengan pentungan dan senter menyala di tangan. Tangis keras kambing dari arah rumah Dullah memecah keheningan. Tiga orang bergegas menuju sumber suara termasuk Dullah, tiga lainnya berkeliling memantau keadaan. Dullah langsung menuju kandang kambingnya. Dilihatnya kambing itu berbaring dengan dua anaknya yang masih kecil meringkuk di bawah tetek induknya. Sepertinya tidak terjadi sesuatu pada kambing-kambingnya. Dullah malah menemukan seekor kodok berukuran cukup besar melompat ke sudut kandang. Setelah memastikan kambingnya aman dan baik-baik saja, Dullah, Arip dan Musa menyebar memeriksa keadaan di sekitar. Tiga sorot lampu senter beradu dalam gelap menerobos semak-semak, seperti lampu sorot di panggung pertunjukan. Setelah memastikan keadaan benar-benar aman, mereka kembali ke pos ronda.

Keenam orang yang bertugas ronda malam itu benar-benar tidak tidur semalaman. Racikan kopi yang kental telah mengganjal dua kelopak mata mereka agar tidak terpejam. Beberapa saat setelah orang-orang pulang dari surau melaksanakan salat subuh, dengan nafas susul menyusul, isteri Dullah mendatangi pos ronda dan melaporkan bahwa kandang kambingnya kosong. Keenam orang yang bertugas jaga malam itu kembali saling berpandangan.

“Loh, semalam kan….”, kata Dullah tidak habis pikir.

Keesokan harinya, kompor gas milik Sudir lenyap tepat di hari yang sama Samiang melaporkan tipinya sudah tidak ada di tempatnya. Hari berikutnya, Saidinang kehilangan sapinya, Junaedi kehilangan ayam dan burung-burung peliharaannya padahal sudah dimasukkan ke dalam rumah. Besoknya lagi, isteri Ridwan dan isteri pak guru Mansyur merana karena terpaksa menumpang mandi, mencuci dan buang air di rumah tetangga karena mesin air mereka hilang. Besoknya lagi, pak Rauf penjual sayur bersepeda kehilangan sepedanya. Entah besok siapa lagi.

Demikianlah, setiap pagi tiba selalu ada yang mendatangi pos ronda melaporkan ternak atau harta benda mereka yang hilang. Sialnya, tidak seorang pun yang bisa mencegah kehilangan-kehilangan itu.

***

Aziz, ayah Habir, pulang kembali ke kampung setelah beberapa tahun mengadu nasib di Kalimantan. Habir bahagia mendapati ayahnya pulang. Rasa senang juga tergambar di wajah nenek Sumirah. Aziz tidak datang sendiri. Ia bersama seorang perempuan, isteri barunya. Kepulangan Aziz juga turut membuat warga lain senang karena ada tambahan pasukan ronda.

Kepada Aziz, nenek Sumirah bercerita panjang lebar tentang apa yang sedang terjadi di kampung. Aziz mendengar dengan tekun cerita ibunya sambil mengelus-elus kepala anaknya yang mendekam di pangkuannya. Aziz juga menyimak baik-baik cerita ibunya mengenai Habir yang berhari-hari kehilangan keceriaan dan semangat ke sekolah setelah kambing jantan kesayangannya yang dirawat penuh kasih sayang seperti seorang ibu merawat anaknya sendiri menghilang dalam kandang.

“Hmm… Ilmu Sembunyi?”, Aziz bergumam setelah mendengar semua cerita ibunya.

Dua hari Aziz berada di kampung, ia ikut meronda pada malam ketiga. Selain senter, pentungan dan parang, ia juga membawa botol mungil berisi minyak beraroma akar kayu.  Minyak yang berwarna kemerahan itu diperolehnya di pedalaman Kalimantan. Minyak itu sudah menyatu dengan mantra. Mantra yang ditiupkan oleh seseorang yang dikenal sebagai kepala suku. Jika minyak tersebut dioleskan di kelopak mata, segala sesuatu yang tersembunyi akan menjadi tampak terang benderang. Maka, setelah bergabung dengan keenam orang yang bertugas meronda malam itu, Aziz mengoleskan minyak itu di kelopak matanya. Keenam orang lainnya pada mulanya menolak karena khawatir malah akan melihat hantu-hantu menyeramkan, kuntilanak atau genderuwo. Memang benar, seseorang bisa melihat wujud makhluk halus jika kelopaknya diolesi minyak sakti itu. Namun, Aziz meyakinkan bahwa ada rapalan mantra khusus saat mengoles agar makhluk halus tidak terlihat dan yang akan tampak hanya orang yang memiliki ilmu menghilangkan diri.

Ilmu menghilangkan diri ini orang kampung menyebutnya sebagai “Ilmu Sembunyi”. Ilmu Sembunyi sebenarnya ilmu yang diberikan kepada para tentara yang akan melenggang ke palagan agar tidak terlihat oleh musuh. Konon, dengan kesaktian ilmu itu, seseorang bisa bersembunyi di balik telunjuknya sendiri sehingga keberadaannya tidak akan terdeteksi oleh mata siapapun. Sudah banyak kesaksian dari tentara yang pulang dari medan tempur dengan tidak satu pun luka di tubuhnya serta berhasil mengahabisi musuh dengan mudah. Namun, entah bagaimana ceritanya ilmu itu disalahgunakan oleh orang-orang picik untuk melancarkan aksi-aksi kotor yang merugikan banyak orang. Setelah mendengarkan penjelasan Aziz, keenam orang itu akhirnya bersedia.

“O, iya. Kalau mengantuk, kalian tetap bisa membasuh muka untuk mengusir kantuk. Tidak usah khawatir khasiat minyak itu hilang. Minyak itu kalau dioleskan malam ini, khasiatnya baru akan luntur pada malam berikutnya”, kata Aziz memberi tahu.

“Tenang saja, kang, kopi racikan perempuan di kampung kita bisa bikin melek sampai siang”, tukas seorang sambil terkekeh. Aziz tersenyum kemudian menyalakan rokok.

“Kalau yang tersembunyi di balik kain, bisa terlihat terang benderang juga, kang?”, celetuk seorang lagi yang dari tadi penasaran ingin bertanya. Teman yang duduk di sampingnya menangkap maksud pertanyaan itu dan langsung melirik.

“Asem! Woi.. sadar dong, anak sudah empat”, katanya menyindir, kemudian disambut tawa yang lain.

“Mudah-mudahan kemalangan yang terjadi pada kampung kita segera berakhir. Tahu tidak, isteri pak Dusun, setiap malam semenjak sapi Saidinang hilang ia selalu gelisah. Tidurnya tidak pernah nyenyak. Pak Dusun sendiri yang cerita ke saya soal ini”, kata Hasan sambil menuangkan kopi ke dalam tujuh gelas dalam nampan.  

“Ya, semoga saja”, kata Aziz,

“Aamiiiiiin….”, serentak yang lain mengaminkan.

***

Udara malam yang dingin semakin terasa merasuk ke dalam tulang. Sebagian besar warga sudah dibuai mimpi. Ketujuh peronda mencoba menghalau kantuk dengan bermain domino dan main catur. Aziz bermain catur dengan Hasan. Rayuan dan tiga yang lain bermain domino. Rifa’i yang tidak ikut bermain duduk di sebelah Aziz, menonton Aziz bermain catur sambil menjadi tukang catat poin mereka yang main domino.

Meskipun para peronda mengisi waktu dengan main domino dan main catur, mereka tetap awas, tidak terlena. Telinga mereka ditajamkan sehingga bisa menangkap suara-suara mencurigakan, bahkan yang paling jauh sekali pun. Ketika waktu bergeser ke pukul 02.35, ayam-ayam milik pak Dusun terdengar seperti ada yang mengusik. Ketujuh peronda segera menyudahi permainan mereka. Rifa’i dan Rayuan secepat kilat meraih kopinya yang tersisa kurang dari setengah gelas. Sepersekian detik kopi dingin itu sudah mengaliri tenggorokannya. Jejak kopi di ujung kumis Rifa’i tidak sempat diseka, ia langsung melompat dari pos ronda. Mereka bergegas ke belakang rumah pak Dusun, tempat ayam-ayam itu dikandangkan. Dengan pentungan di tangan kanan dan parang menggantung di pinggang, mereka berjalan membungkuk dengan langkah cepat-cepat, setengah berlari dalam balutan malam. Senter di tangan mereka dibiarkan mati. Benar saja, di sekitar kandang sudah berdiri tiga orang berjaga-jaga dengan pakaian hitam dan mengenakan pakaian ala ninja. Dua orang lagi berada di dalam kandang.

Tiga orang yang berjaga di luar kandang kaget ketika cahaya senter menyorot tubuh mereka. Aziz dan Rifa’i menuju kandang. Dua pencuri di dalam kandang melupakan beberapa ekor ayam yang sudah dikarungkan dan berdiri menantang siap menghadapi Aziz dan Rifa’i. Kedua pencuri itu mengeluarkan parang mereka. Parang itu tampak berkilauan oleh cahaya lampu di beakang rumah pak Dusun. Aziz merentangkan tangannya menghalau Rifa’i yang hendak menyerang kedua pencuri itu.

“Tidak usah. Biar saya yang hadapi dua bangsat itu”, kata Aziz berbisik. Rifa’i tidak jadi maju. Aziz memberikan senternya ke Rifa’i.

“Nyalakan kedua senter itu. Satunya arahkan ke saya, satu lagi arahkan ke kedua bangsat itu!”, kata Aziz. Mengikuti perintah Aziz, Rifa’i mundur beberapa langkah, agak ke samping. Dalam sorot lampu senter, Aziz tampak berdiri menunduk. Tidak jelas apa yang dilakukannya. Mungkin ia sedang merapal mantra. Setelah beberapa detik, senter di tangan Rifa’i hampir jatuh. Tubuh Rifa’i gemetar. Ia merasakan seluruh persendiannya lemas kala melihat tubuh Aziz perlahan-lahan membesar dan semakin membesar. Tubuh setinggi empat meter itu kemudian melangkah mendekati kedua pencuri yang merapat ke dinding kandang. Aziz terus mendekat, hingga jarak mereka tinggal dua langkah. Para pencuri itu gentar, seluruh tubuhnya gemetar dan parang di tangan mereka terjatuh tanpa mereka sadari. Keduanya jatuh tersungkur. Terdengar tangisan yang memilukan disertai erangan panjang saat Aziz memotong kuping kedua pencuri itu. Setelah mengantongi dua kuping, Aziz meraih lengan kedua pencuri dan melemparkannya ke luar kandang yang pagarnya setinggi tubuhnya.

Tiga pencuri di luar kandang yang beradu dengan lima orang peronda lainnya juga terluka. Ketika kedua tubuh pencuri yang dilemparkan dari kandang ayam mendarat menggebuk bumi, terdengar suara kesakitan yang ditahan disusul teriakan kepada teman-temannya untuk segera kabur. Setelah para pencuri berlari tunggang langgang, Aziz kembali ke wujud normal. Beberapa saat Rifa’i masih terheran-heran.

Rayuan dan Hasan terluka saat mencoba melumpuhkan pencuri. Rayuan luka di lengan kiri, sementara Hasan luka menganga di punggungnya tapi tidak terlalu parah.

Rayuan duduk bersandar di pos ronda sambil merintih kecil menahan perih. Darah mengalir dan menetes di ujung jari-jarinya. Hasan yang terluka di punggung dibaringkan dalam posisi telungkup. Dengan mata setengah terpejam, Aziz mengusap dengan sangat pelan luka menganga itu. Mulutnya terus komat-kamit. Ketika sampai di ujung luka, kulit yang menganga itu kembali menyatu. Setelah luka dipunggung itu tertutup, Aziz menghampiri Rayuan dan melakukan hal sama pada luka di lengannya. Luka Rayuan pun langsung tertutup. Semua yang menyaksikan apa yang dilakukan Aziz, terheran-heran. Dan untuk kesekian kali, Rifa’i melongo. Setelah Rayuan dan Hasan tidak lagi merasakan sakit, keduanya langsung menghambur dan menciumi tangan Aziz. Rifa’i dan tiga orang lain juga melakukan hal serupa.

“Tolong ambilkan air untuk membersihkan darah mereka”, pinta Aziz kepada Rifa’i. Rifa’i segera menuju sumur di dekat pos ronda diikuti tiga peronda yang lain.

Peristiwa pemotongan telinga dan penyembuhan luka oleh Aziz malam itu menjadi bagian akhir dari cerita kehilangan-kehilangan di kampung itu. Penduduk kembali merasa aman.

***

Cerita tentang kesaktian Aziz dengan cepat menyebar hingga ke luar desa. Anehnya, cerita yang berkembang di luar lebih daripada apa yang disaksikan Rifa’i dengan mata kepalanya sendiri. Karena cerita itu, orang-orang dari luar desa kemudian beramai-ramai datang meminta tolong untuk disembuhkan penyakitnya. Harapan mereka untuk sembuh dari penyakit yang dideritanya ternyata bukan isapan jempol. Aziz, dengan sebotol air yang sudah ditiupkan mantra juga bisa menyembuhkan penyakit mereka.

Orang-orang kemudian memperlakukan Aziz tidak biasa. Aziz dijadikan sebagai guru, bahkan beberapa dari mereka menganggapnya sebagai manusia suci. Pendek kata, terjadi pengkultusan pada sosok Aziz. Dan pada akhirnya, hal yang sulit dihindari pun terjadi : komersialisasi kesaktian.

Beberapa bulan berjalan, setelah sekian banyak orang berhasil disembuhkan, Aziz sakit. Tidak ada yang tahu penyakit apa yang menyerangnya. Dan seperti pada umumnya, seseorang yang perkasa menyembuhkan penyakit orang lain, sulit baginya menyembuhkan dirinya sendiri. Sesakti apapun Aziz, ia tidak bisa mengeluarkan kelilip di matanya sendiri, dan sialnya, juga tidak seorang pun dari muridnya yang bisa membantunya. Aziz menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan isterinya.

Saat Aziz meninggal, orang-orang yang melihat mayatnya, melongo. Bukan, bukan karena mayat Aziz bangkit kemudian memberi tahu semua orang bahwa ia hidup kembali karena meminta kepada tuhan agar ditiupkan roh untuk kedua kalinya. Tapi yang membuat orang-orang melongo adalah karena menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, detik demi detik, mayat Aziz mengecil dan semakin mengecil. Mayat Aziz berhenti mengecil di telapak tangan isterinya saat ukurannya sekecil jari telunjuk. Mayat berukuran mungil itu digenggam erat-erat oleh isteri Aziz, sebagaimana pesan Aziz sebelum meninggal bahwa ia harus menjaga mayatnya baika-baik. Diciuminya mayat itu dengan segenap perasaan, sesekali mayat itu diletakkan di dadanya. Aziz juga berpesan agar mayatnya jangan dikubur karena orang-orang akan membongkarnya untuk dijadikan jimat dan dimilikinya sendiri.   

Isteri Aziz bingung. Ia merasa tidak ada tempat aman untuk menyimpan mayat suaminya. Hingga suatu malam isteri Aziz bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat dua ekor monyet betina sedang menikmati pisang di bawah sebuah pohon. Ketika seekor monyet jantan serakah yang suka merebut paksa makanan monyet-monyet betina muncul di kejauhan, kedua monyet betina segera menghabiskan pisang yang sedang dinikmati. Karena tidak ingin dua pisang yang masih tersisa dirampas oleh si monyet jantan serakah, kedua monyet betina tersebut menyembunyikan pisang mereka ke dalam alat vital mereka. Saat terbangun, isteri Aziz langsung meraih mayat suaminya dan mengamankannya ke dalam kelaminnya.

Pada mulanya isteri Aziz menolak karena merasa risih ketika suatu malam Aziz mendatanginya di dalam tidur dan memintanya agar memberikan kesempatan kepada murid-muridnya atau siapapun yang ingin menziarahi mayatnya. Namun, setelah suaminya mendatanginya untuk ketiga kali dan mengatakan bahwa ia boleh meminta sesuatu kepada setiap peziarah yang datang, barulah isteri Aziz bersedia, meskipun tetap saja merasa kurang nyaman.

Begitulah, murid-murid Aziz setiap malam selasa dan jumat kliwon mendatangi isteri Aziz dan menyingkap sarung perempuan itu untuk melakukan ziarah ke makam guru mereka yang terkubur di antara dua paha. Dan isteri Aziz, seiring berjalannya waktu, menganggap ziarah sangat tidak biasa itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja di kemudian hari.

***

Teror datang lagi setelah sebulan kematian Aziz. Penduduk kembali kehilangan harta bendanya hampir setiap malam. Dan para pelaku kali ini jauh lebih berani melakukan aksi yang menakutkan. Para pencuri tidak hanya mengambil harta benda penduduk, tapi mulai melancarkan teror dengan membakar rumah-rumah sawah milik petani. Orang-orang kembali dihantui ketakutan. Sebagian penduduk mulai berpikir untuk meninggalkan kampung dan sawah ladang mereka, terutama perempuan dan anak-anak.

Murid-murid Aziz yang mencoba bertahan banyak yang mati karena senjata mereka, parang dan pentungan, sama sekali tidak bisa melindungi diri dan mengusir orang-orang jahat itu. Senjata yang mereka miliki sangat tidak sebanding dengan milik orang-orang jahat itu. Orang-orang jahat itu menggunakan senjata berpelatuk. 

Setelah tidak satupun warga tersisa yang memberikan perlawanan, orang-orang jahat itu kemudian membakar ladang dan rumah-rumah warga. Sawah ladang dan semua tanaman yang tumbuh subur di dalamnya ludes dilalap api. Begitu juga rumah-rumah warga, lumbung tempat menyimpan padi, surau, tidak ada yang tersisa. Tepat di saat itulah beberapa warga melihat kemunculan sosok lelaki berbaju putih dengan celana warna gelap berdiri di atas puing-puing sisa bangunan rumah mereka yang terbakar. Lelaki itu tersenyum meski wajahnya tampak payah dan tertekan.

Keluarga Aziz akhirnya memilih menyingkir dan meninggalkan kampung mencari tempat yang lebih aman. Diam-diam isteri Aziz berharap suatu hari nanti mayat suaminya keluar dari kelaminnya dan lahir kembali sebagai bayi, dan tentu saja setelah dewasa menjadi jauh lebih sakti mandraguna dari sebelumnya.*

Posting Komentar

0 Komentar