Fisiknya yang ringkih sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari antrian yang mengular di kantor pos tiap sebulan sekali. Dari sisi materi, ia sungguh tergolong miskin. Wajar jika kemudian namanya selalu becokol di urutan teratas daftar penerima BLT yang dirilis setiap kepala di kampungnya. Setiap orang di kampungnya jika ditanya tentang miskin itu apa, mereka selalu memberi jawaban seragam sembari mengarahkan telunjuk pada sesosok perempuan janda berusia senja : Mak Lawo.
Dalam daftar orang miskin yang ada di kantor desa dan kecamatan, nama Mak Lawo tidak pernah bergeser dari posisinya di urutan pertama.
Setiap kali daftar manusia miskin tersebut dimutakhirkan, setiap kali pula kompetitor Mak Lawo bertambah panjang. Artinya, janji tentang kesejahteraan hidup tiap penduduk benar-benar tidak kuasa menjangkau kampung ini. Atau, boleh jadi, adalah sebuah bentuk kesengajaan para terhormat yang duduk di kursi empuk yang tetap menyisakan manusia-manusia miskin demi agenda gila kampanye pada periode selanjutnya di lima tahun mendatang.
Demikianlah, beberapa dari mereka memang senang berjanji. Janji manis dalam aneka bentuk dan kerap kali dibungkus teks suci agar lebih mudah diterima dengan penuh suka cita oleh warga yang sekian tahun bermimpi tentang hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Juga agar janji-janji tersebut lebih nyaman ditelan. Tentu saja, dengan demikian, si penabur janji akan memperoleh bonus yang tak ternilai : caleg religius.
Mak Lawo adalah janda yang ditinggal mati suaminya 30 tahun lalu. Ia saat itu sedang hamil anak pertama. Usia kandungannya masih sangat muda ketika seorang bocah dengan nafas tersendat-sendat mengantarkannya kabar dari kebun kelapa milik kepala dusun. Kabar tentang Diris, suaminya, membuat hati dan jiwanya remuk redam.
Kabar yang tidak pernah terlintas dalam benaknya itu membuat dunianya mendadak gelap gulita. Diris yang dikenal sebagai pemanjat ulung memiliki rekor tak terpecahkan oleh pemanjat manapun. Ia tercatat sudah lima kali jatuh dari pohon kelapa sepanjang karirnya, dan selalu sukses mendarat mulus laksana kapas. Hari itu, di bulan muharram, bulan yang dipercaya masyarakat sebagai bulan duka dan penuh darah, Diris tidak seberuntung pada peristiwa-peristiwa sebelumnya. Kaki, tangan dan tulang belakangnya patah ketika tubuhnya menghentak keras menghantam bumi dari ketinggian 15 meter. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Kondisi kesehatan Mak Lawo menurun drastis semenjak ditinggal suami. Tergelar di hadapannya sisa hidup yang harus dihabiskan tanpa sosok Diris yang kokoh serta beratnya perjuangan merawat, membesarkan dan mendidik buah hatinya seorang diri.
Hari demi hari ia lewati dengan lamunan dan air mata. Puasa bicara. Segala derita hati dan pikirannya ia sampaikan melalui sorot matanya yang hampa. Nasi dimakan bagai batu, air diminum terasa duri. Tubuhnya kian melemah dari waktu ke waktu. Akalnya tidak lagi mampu bekerja secara sehat, hingga ia tidak menyadari dan nyaris tak pernah peduli bahwa sikapnya terhadap musibah yang tengah mendera hidupnya itu sama saja dengan mempersilakan dengan hormat kemalangan yang lain mengambil posisi seluas mungkin untuk menghancurkannya lagi sehancur-hancurnya.
Dan benar saja, genap sebulan kematian sang suami, jabang bayi yang sedang dikandungnya segera menyusul ayahnya. Segala kekhawatiran tentang merawat, membesarkan dan mendidik anaknya seorang diri, sirna jua akhirnya. Kemalangan yang mengintai dan membuntutinya semenjak ia jatuh dan membiarkan dirinya diseret arus penderitaan, kini mengamuk dan menghabiskan bagian yang disisakan amukan kemalangan sebelumnya. Mak Lawo keguguran.
Lima bulan waktu yang dibutuhkan oleh Mak Lawo untuk benar-benar sampai pada titik balik kehidupannya.
Pelan dan pasti, jalan panjang menuju akal sehatnya kembali ia temukan. Ia sadar bahwa segala sesuatu yang adanya bersifat mungkin adalah ada-ada nisbi belaka dan pada gilirannya akan kembali tiada. Segala sesuatu berasal dari Tuhan, akan kembali jua kepada-Nya. Ia yakinkan diri, ia harus beranjak, harus bergerak dari keadaan dirinya yang sekarang agar jalan hidupnya berubah. Perubahan adalah keniscayaan dari gerak, sekecil apapun, bisiknya pada diri sendiri.
Lamunan dan air mata yang menjadi pakaian menghias hari-harinya, kini berganti semangat. Sorot mata yang dulu hampa, kini penuh gairah.
"Dua kekasihku telah kuberikan kembali pada-Nya. Apa gunanya menangis dan meratapi, toh yang mengambil adalah pemiliknya sendiri. Jika pun mereka berdua adalah milikku, bukankah menangisi pemberian merupakan kegilaan? Aku tidak gila!" Dengan penuh kesadaran Mak Lawo menyongsong hari depan penuh suka cita.
Hari-hari selanjutnya dilalui penuh perjuangan dan kerja keras. Sepetak kebun peninggalan suami yang luasnya tidak lebih dari ukuran tempat pemungutan suara di kampungya ia garap. Kebun itulah yang menjadi satu-satunya penopang utama kehidupannya. Ia menanam pisang di batas-batasnya. Sereh, kunyit, lengkuas ditanam di antara batang-batang pisang. Di bagian tengah kebun mungilnya secara bergantian diisi dengan ubi jalar, singkong dan sesekali jagung.
***
"Percuma kamu shalat, kalau kamu tidak mengenal siapa yang kamu sembah. Ketika kamu shalat, kamu harus melihat-Nya"
"Tuhan itu gaib, tidak bisa dilihat. Jangan mengada-ada, kawan"
"o, berarti kamu belum sampai"
"sampai apa, sampai di mana?
"aiii. sia-sia shalatmu! Belajar lagi!"
"Ngawur! Memangnya kamu yang menerima shalat?"
Perdebatan semacam ini merupakan hal yang tidak ada habisnya terdengar di lingkungan Mak Lawo tinggal. Kadang mereka berdebat semalam suntuk dan tak jarang berujung pertikaian.
Di rumah, di jalan, di tempat minum arak dan di manapun, kecuali di masjid, adalah arena tempat mereka berdebat. Yang satu menyalahkan yang lain, yang lain menuding pemahamannya tentang shalat tidak sempurna, sebatas kulitnya saja.
Ketertarikan sebagian dari mereka kepada agama memang didorong oleh keinginan-keinginan lain dan bukan semata-mata untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Di antara mereka, ada yang hanya duduk-duduk saja, tafakur, kemudian mendaku bahwa sudah melaksanakan shalat.
Lain halnya dengan Mak Lawo yang melaksanakan apa saja sepanjang sesuatu itu adalah kebaikan dan tidak bertentangan dengan syariat dan kemanusiaan. Sikap sombong, merasa paling paham dan merasa paling benar tidak pernah tampak pada dirinya. Rendah hati sudah menjadi menjadi pakaian kebesarannya. Dalam setiap laku, ucapan, gerak hati dan pikirannya seluruhnya bergerak bersama sikap rendah hati dan kepasrahan
Sebagaimana dipahami bahwa salah satu pembeda manusia satu dengan yang lain adalah koleksi pengetahuan yang dimilikinya. Mak Lawo, tidak memiliki koleksi pengetahuan yang cukup seperti kebanyakan orang di kampungnya. Koleksinya hanya seukuran debu dibanding yang lain. Yang menjadi koleksi paling berharga baginya, barangkali, bacaan shalat, wirid pendek dan doa sapu jagat dan itu pula yang secara konsisten ia amalkan seusai shalat. Mak Lawo tidak lulus sekolah dasar.
"Saya ini bodoh, nak, ndak tau apa-apa. Saya sekolah hanya sampai kelas dua setengah" Terang Mak Lawo pada Da'ali, seorang muadzin bersuara rada cempreng dan penggebuk beduk masjid suatu ketika usai shalat magrib.
"Kelas dua setengah? Maksudnya, Mak?" Da'ali dengan wajah penasaran balik bertanya.
"iya, karena pas mau naik ke kelas tiga saya berhenti karena orang tua saya tidak punya lagi biaya. Katanya, ndak apa-apa, yang penting bisa membaca" jawab Mak Lawo sambil tersenyum mengenang kisahnya. Da'ali menahan tawa. "Kelas dua setengah.....?"
Orang sekampung mengenal Mak Lawo sebagai sosok dermawan. Meskipun ia sendiri jauh dari hidup cukup. Namun, berbagi, bagi Mak Lawo, merupakan satu-satunya kata kunci ia menjalani hidup. Harta yang dimiliki harus dibagikan kepada sesama. Ia tak pernah berharap balasan dari pemberiannya. Tidak dari manusia, tidak dari Tuhan. Ia berbagi, semata-mata karena menurutnya baik. Karena diperintahkan oleh Tuhan. Ia tidak pernah menanti yang sepuluh setelah melepas yang satu. Mak Lawo bukan tipikal manusia transaksional. Ia bukan pedagang. Ia hanyalah pecinta kebaikan. Sosok manusia yang telah selesai dengan dirinya sendiri.
Ketika ia panen pisang, pisangnya ia bagi kepada setiap orang yang ditemui di sepanjang jalan menuju rumah, hingga yang sampai ke rumahnya adalah pisang yang ukurannya paling kecil. Bahkan tidak jarang semua pisangnya habis ia bagikan. Jika ia mendapati seseorang sedang duduk di teras rumah, diantarkannya sesisir pisang. Ia akan sedikit memaksa apabila yang hendak diberi menolak apapun alasannya.
Semua orang di kampungnya mengenal Mak Lawo sebagai janda miskin tanpa mencoba melihat lebih dalam dari sisi yang berbeda. Sedikit orang yang menyimak bagaimana ia me jalani hidup. Dari sedikit yang menyimak, beberapa di antaranya mengambil pelajaran. Di antara yang mengambil pelajaran itu, nyaris tidak ditemukan yang berani mengikuti jejak Mak Lawo bagaimana ia berbagi.
Dengan dua belahan jiwanya, ia telah berbagi dengan Tuhannya. Kepada sesama manusia seluruh hartanya ia akan berbagi.
Dua bulan menjelang menyusul suami dan buah hatinya, Di tempat wudhu, Mak Lawo mengejutkan Da'ali lewat satu pertanyaan tak terduga. Pertanyaan sederhana, namun menyisakan tanda tanya besar bagi Da'ali, dan mungkin juga bagi banyak orang.
"Da'ali.."
"Iya, Mak. Ada apa?" sahut Da'ali sambil memperbaiki letak pecinya setelah berwudhu.
"Anu... E...e.. Kampung Madinah itu benar ada ya?" Dengan wajah serius Mak Lawo menanti jawaban Da'ali. Da'ali memperhatikan Mak Lawo sambil mengernyitkan dahi.
"Iya, ada, Mak. Kenapa?" Suara Da'ali terdengar keheranan.
"Terang sekali di sana, ya. Lampu-lampu banyak. Masjidnya indah, besar dan bercahaya", Kata Mak Lawo menggambarkan Madinah yang ditanyakannya sendiri.
"Mak melihatnya di tipi?"
"Ndak"
"Poto?"
Mak Lawo senyum. "Bukan", katanya
"Mak mimpi?"
"Ndak juga"
"Lalu, Mak tahu dari mana?"
Da'ali bingung, diam terpaku tidak habis pikir. Di saat yang sama Mak Lawo menghilang ke dalam masjid.
The End.
Terinspirasi dari kisah nyata.
Wallahu 'alam
Wabillahi taufik Wal hidayah
Selamat menyambut tahun baru masehi 2019
0 Komentar