"Ada yang mati! Ada yang mati!" Sarul, bocah kurus berkaos bergambar zorro bercelana seragam sekolah warna merah hati berlari di tengah kampung menuju mushalla sambil meneriakkan kabar kematian.
Dua orang ibu yang sedang menunggu penjual ikan keliling berusaha mencegahnya.
"siapa yang mati? Heeei, berhenti!".
Sarul terus berlari, ia abai pada teriakan yang akan memperlambat lajunya menuju mushalla. Tiba di pintu mushalla ia berhenti, matanya menyapu seisi ruangan sembari mengatur nafasnya yang masih terengah-engah. Tidak satu pun batang hidung yang membentur matanya. Ia masih membungkuk memegangi perutnya saat ia dikagetkan suara Mahir, tukang sapu mushalla merangkap bilal sekaligus corong informasi bagi seluruh warga.
"Ada apa? kamu kok ngos-ngosan gitu, Rul?" tanya Mahir yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
Sarul terperanjat. "anu....ee',,, eee, bbb, bu, Wara mati". Jawab Sarul terbata.
"meninggal, bukan mati", Mahir sok-sokan meluruskan penggunaan kata Sarul yang dinilainya kurang tepat.. "kapan? terus, siapa yang menyuruh kamu menyampaikan ini ke saya?" Mahir melanjutkan pertanyaannya dan berusaha memastikan kebenaran kabar yang dibawa Sarul.
"baru saja mati.. e, meninggal. saya di suruh kepala"
"kepala? kepala apa?
"kepala papa muntar"
"oo, kepala dusun"
"iyaa..."
Beberapa detik kemudian terdengar suara toa diketok-ketok, tiga kali. Kemudian disusul suara hembusan nafas, dua kali.
Di dusun Tanah Sisa, informasi biasanya disampaikan setiap ba'da magrib. Mendengar suara tiupan nafas dan ketokan toa dari mushalla membuat warga yang belum mendapat informasi tentang kematian Bu Wara saling bertanya-tanya. Beberapa jenak mereka berusaha untuk tidak menghasilkan suara apapun, bersiap menyimak informasi apa yang akan disampaikan Mahir. Rasa penasaran, was-was menyelimuti hati dan pikiran sebagian besar warga.
"Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke rahmatullah orang tua kita, Bu Wara, pada pagi hari ini jam delapan lewat empat puluh sembilan menit. Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh", disusul kemudian bunyi toa yang sangat berisik dari suara yang benturan mik yang ditautkan. Mahir sejak dulu belum pernah berinisiatif mematikan mik terlebih dahulu sebelum menautkan kembali mik pada tangkainya.
Setelah Mahir meneruskan informasi, Sarul minta pamit. Satu dusun warga dinaungi kesedihan dan rasa kehilangan. Hampir setiap warga memang memiliki kedekatan khusus dengan almarhumah Bu Wara. Lebih dari separoh ibu-ibu di dusun Tanah Sisa ditangani Bu Wara saat akan melahirkan. Sebagai seorang dukun beranak, kesaktian Bu Wara terkenal hingga ke desa tetangga.
Bayi yang posisinya salah di dalam perut, ia dibenarkan hingga proses keluar si bayi normal. Ibu-ibu yang susah melahirkan diatasinya dengan segelas air putih dan sekali hembusan mantra. Bagi kebanyakan warga, ia seperti memiliki mukjizat. Namun, konon katanya, Bu Wara hanya merapal bismillah dan beberapa kali shalawat dengan penuh keyakinan. Wallahu 'alam.
Setiap kali seorang anak yang didukuni Bu Wara khatam juz amma, masuk Quran Besar atau ketika sukses meraih "Sayaquulu", pada acara syukurannya, orang tua si anak selalu menghadirkan Bu Wara, selain tentu saja, mengundang guru mengajinya.
Begitu juga saat menjelang idul fitri. Sebagian orang tua memilih Bu Wara sebagai tempat menyalurkan zakat fitrah. Sebagian yang lain menyalurkan melalui imam masjid. Tidak seorang pun yang berusaha menyalurkannya ke lembaga resmi, KUA. Selain karena jaraknya yang jauh, juga disebabkan warga tidak terbiasa memasuki dan menginjakkan kaki di kantor.
Menjelang dzuhur orang-orang sudah memenuhi rumah Bu Wara. Ibu-ibu terisak melihat tubuh Bu Wara terbujur kaku tertutup sarung sutra dan selembar sajadah kusut made in china berwarna merah. Bapak-bapak sibuk membuat penanda makam. Sebagian menyiapkan air, serta sekitar delapan orang dipimpin Mbah Janggot menggali lubang sebagai tempat peristirahatan terakhir Bu Wara di pekuburan islam Tanah Sisa. Rencananya, pemakaman akan dilakukan selepas shalat ashar.
Liang lahad sudah siap, kayu penanda makam sudah selesai dibuat dan nama Bu Wara tertera menggunakan beberapa batang paku tujuh senti. Setelah Bu Wara selesai dimandikan, imam, kepala dusun, guru ngaji dan beberapa orang warga mengambil alih barisan bersiap untuk melaksanakan shalat jenazah.
Seorang perempuan yang sedari awal terus memperhatikan tubuh Bu Wara tiba-tiba bersuara setengah ketakutan.
"Bergerak....bergerak"
Orang-orang yang hendak menshalati, serentak memalingkan wajah kepada perempuan tersebut.
"apa bergerak?" sergah salah seorang jamaah.
"Bu Wara hidup. Lihat.! Bu Wara belum mati. Bergerak.. Ia bergerak" Wajah perempuan itu pucat pasi, suaranya terdengar bergetar.
Sontak seluruh jamaah mengepung mayat Bu Wara. Dua orang bergegas melepas ikatan kain kafan.
Beberapa perempuan menutup wajah, ada yang mengintip dari sela-sela jari, ada yang memaksa memberanikan diri melihat dengan posisi kaki memasang kuda-kuda siap menerobos kerumunan orang yang bertumpuk di pintu dekat tangga. Terbayang di pikiran mereka, perempuan-perempuan itu, tawa melengking dengan pinggiran mata menghitam, persis pilem kuntilanak yang di tonton di layar tancap dua pekan lalu.
Kain kafan perlahan dibuka setelah ikatannya dilepas. Tampak wajah Bu Wara dengan mata terpejam. Pelan ia membuka matanya. Wajahnya tampak sangat lelah. Ia melmperhatikan sekeliling dengan penuh heran. Perempuan-perempuan yang ketakutan terdengar berucap syukur. Ada yang menangis bahagia, ada pula yang membuang nafas dengan keras.
"apa yang terjadi?" hening yang menyembunyikan suasana tegang pecah oleh suara letih Bu Wara.
"istirahat saja, tidak usah banyak berpikir dulu". pak imam memberi saran.
Satu persatu, para pelayat pulang. Beberapa orang memilih tinggal bersama pak imam, kepala dusun dan guru ngaji. Mereka ingin mendengar kisah Bu Wara, apa saja yang disaksikan saat ia mati.
*****
Samiang, seorang pemuda penghayat arak, berlari menuju rumah Mbah Janggot. Mbah Janggot seusai menggali memang langsung pulang ke rumah dan berpesan pada Samiang untuk memanggilnya kalau jenazah sudah mau dikebumikan. Mbah Janggot memilih mengisi perut di rumah sendiri karena perutnya sejak dulu menolak makanan apapun dari rumah orang meninggal.
Jika pun diantarkan, tetap saja tidak bisa ia makan. Segelintir orang di kampung mengidap kelainan semacam ini.
"sudah mau diantar kah?" Samiang disambut tanya Mbah Janggot saat terlihat di depan tangga.
"ndak jadi"
"kenapa?"
"ndak jadi mati"
"duduk, duduk. maksudmu ndak jadi mati itu apa?"
"ya ndak jadi mati. Hidup lagi" beberapa saat Samiang diam kemudian melanjutkan "itu orang-orang sudah pulang, sisa beberapa orang saja yang masih tinggal"
"hahahahah" tawa mbah janggot pecah. Samiang melirik sambil merogoh kantongnya lalu mengeluarkan bungkusan rokok yang bentuknya tidak utuh lagi.
"kayak kontol saja itu si Wara", mbah janggot setengah memaki.
"maksudnya apa, mbah?, selidik Samiang.
"ya, kayak kontol. Kontol kan, sembari menggerak-gerakkan telunjuknya naik turun, sebentar mati, hidup lagi, malam mati lagi, pagi hidup lagi. persis kan?. Hahahah"....
Setelah menandaskan kopi dalam gelas ukuran raksasa, gelas hadiah sabun superbusa, mbah janggot bergegas menuju rumah Bu Wara.
Wajah Samiang tampak kusut. Wajah tak segar itu disanggul pula dengan potongan rambut yang tidak selaras dengan bentuk mukanya semakin menenggelamkan Samiang ke dalam pusaran tidak enak dipandang. Dari wajahnya, ia terlihat sedang berusaha keras mengingat-ingat sesuatu. Perilaku alat vital yang didengarnya dari mbah Janggot menghentaknya keras. Campur aduk perasaannya, tidak jelas. Galau segalau-galaunya. Ia memegangi alat vitalnya, yang sepanjang ingatannya, selama 25 tahun meringkuk di antara sekangkangannya, belum pernah sekalipun berdiri menantang langit dan hanya menggantung manja seperti ular hendak mematuk bumi.
Keesokan paginya, dusun Tanah Sisa gempar oleh penemuan sesosok mayat. Samiang ditemukan tidak bernyawa tergantung di kamarnya. Tak ketinggalan, alat vitalnya ikut menggantung.
Tidak seorang pun yang tahu penyebab Samiang bunuh diri. Kematiannya tetap menjadi misteri.
Dari mushalla, suara Mahir kembali kabarkan duka ke langit. "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke rahmatullah saudara kita Samiang pada jam......, tadi malam"
Disusul suara berisik toa dari mik yang dikaitkan ke tangkainya.
0 Komentar