Header

Header

NUHAMMADIYAH

:Allahumma Shalli 'Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad
"Kami sampaikan kepada jamaah yang akan melaksanakan taraweh 8 rakaat agar tidak langsung pulang, shalat witir dulu", demikian kurang lebih penyampaian panitia sebelum shalat isya dimulai pada malam pertama ramadhan di sebuah masjid yang seluruh warganya adalah pengamal tradisi keagamaan NU.

Setelah shalat isya selesai dilaksanakan, wakil imam berdiri dan menyampaikan bahwa dirinya tidak bersedia menjadi imam shalat witir bagi jamaah yang melaksanakan taraweh 8 rakaat. Selain karena ia akan melaksanakan taraweh 20 rakaat, menurutnya, dan itu disampaikan kepada jamaah, orang yang melaksanakan taraweh 8 rakaat adalah Muhammadiyah. Nah, selesai taraweh 8 rakaat, jamaah 8 rakaat langsung pulang dan tidak menunggu shalat witir. Ada ketidaknyamanan dalam hati jamaah 8 rakaat. Mereka tersinggung disebut sebagai Muhammadiyah. "Masa kami dibilang Muhammadiyah. Kami bukan Muhammadiyah", protes mereka tanpa argumen atau dalil.

Mereka taraweh dengan jumlah rakaat sama dengan Muhammadiyah. Meskipun demikian, mereka tetap tidak mau disebut mengikuti Muhammadiyah apalagi jika disebut sebagai Muhammadiyah. Bagi mereka, yang dibesarkan dalam tradisi NU, ada anggapan bahwa Muhammadiyah itu keliru, aneh dan islamnya tidak benar. Menjadi Muhammadiyah adalah aib bagi mereka.

Di kampung saya sendiri pandangan masyarakat juga seperti itu. Muhammadiyah itu aneh. "Itu, si anu, shalat shubuh kok tidak pake qunut", atau "kamu itu kayak Muhammadiyah saja", kalau ada yang berlebaran bersamaan dengan Muhammadiyah, misalnya, dlsb. 

Pandangan meremehkan dengan nada sinis seperti itu sangat sering terdengar.
Karena bagi mereka menjadi muhammadiyah adalah aib dan dimuhammadiyahkan adalah penghinaan, tapi mereka pun tidak mau menjalankan taraweh 20 sebagaimana tradisi NU dan memilih 8 rakaat dengan alasan lebih cepat selesai, maka sebagai jalan tengah sebut saja sebagai NUhammadiyah.

Posting Komentar

0 Komentar