Wandu, demikian gelar yang
kerap dialamatkan rekan-rekan saya kepada sosok banci. Banci yang banyak
menghuni kedai kecantikan dan kegantengan. Saat pertama kali mendengar
kata/istilah tersebut, saya tertawa. Dan menurut rekan-rekan saya, gelar
tersebut asalnya dari para banci sendiri. Mereka sendiri yang menyebut diri
mereka sebagai wandu. Wandu adalah akronim dari wanita durhaka.
Sepertinya gelar itu
bermasalah. Benarkah mereka adalah sosok yang durhaka pada wanita atau telah
berkhianat pada kodrat kewanitaan?
Secara fakta mereka adalah
laki-laki, bukan wanita. Laki-laki yang mencoba murtad, setengah-setengah
ataupun totalitas. Mereka mencampakkan identitas kelaki-lakian mereka sembari
di saat yang sama berupaya sekeras mungkin menyerap segala sifat dan ciri yang
melekat pada wanita. Mulai dari potongan rambut, model alis, gaya dan warna
suara, pakaian sampai lenggak lenggok yang digemulai-gemulaikan, lembut serta
sentuhan yang semuanya diperempuankan.
Identitas laki-laki yang
melekat pada dirinya, boleh jadi, adalah noktah, noda yang wajib dibuang
jauh-jauh. Namun, ibarat tanda tangan, sebagus dan semirip apapun jika ia
adalah hasil tiruan tetaplah bukan tanda tangan asli, meskipun tiruan itu lebih
indah dan lebih bagus dari aslinya.
Mereka tidak pernah
mendurhakai perempuan. Bahkan kepada perempuan mereka adalah pecinta sejati.
Sedemikian cintanya kepada perempuan, maka mereka akan habis-habisan,
mati-matian untuk menjadi perempuan. Walaupun harus berhadapan dengan kerasnya
cibiran, segala cara akan ditempuh demi cintanya. Bukankah pecinta sejati
adalah mereka yang menyerap sifat-sifat kekasihnya? Namun, kalaupun mereka
memang harus durhaka, maka Laki-laki Durhaka lah yang lebih tepat. Karena jeruk
tidak boleh makan jeruk.
Perayaan identitas kewanitaan
di kalangan jenis makhluk Tuhan yang satu ini pun di helat dalam beragam event
mulai dari skala kecil sampai besar. Muncullah kemudian kontes kecantikan para
wandu, salah satunya.
Saya pernah satu mobil
dengan seorang cantik. Postur tubuhnya tinggi, hitam manis, rambutnya ikal dan,
tentu saja, tubuhnya wangi. Ia duduk di depan, di samping sopir. Saya tahu
namanya dari perbincangannya dengan sopir sepanjang perjalanan dari makassar
menuju polewali mandar. Ira namanya. Tentu saja itu bukan nama sebenarnya. Ira
turun lebih dahulu dari saya. Ia turun sebelum memasuki ibu kota polewali
mandar, masih polewali mamasa waktu itu. Setelah ira turun, sopir bercerita
bahwa ira bukanlah perempuan, tapi seorang banci. Ia banyak menjuarai kontes
kecantikan. Dari kesuksesannya itu, Ira menghajikan orang tuanya. Dari pak
sopir saya tahu bahwa laki-laki yang mengantarnya ke terminal tadi adalah
suaminya. Dan dari pak sopir pula saya tahu bahwa Ira adalah i Rais yang
didandani.
0 Komentar