"Allahumma Shalli 'Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad"Di kampung saya tidak pernah ada tadarusan di masjid menggunakan pengeras suara sampai larut malam di bulan ramadhan, terlebih di luar bulan ramadhan. Makanya, saya cukup kaget ketika membaca artikel tentang tadarusan yang merampas hak orang lain untuk istirahat.
Memang benar, di kampung
isteri saya kenyataannya juga seperti itu. Sampai tengah malam masih ada yang
tadarusan di masjid menggunakan pengeras suara. Apakah saya terganggu? Entahlah,
saya, saat itu, hanya bertanya pada isteri saya ; "masih ada yang
tadarusan kah sudah tengah malam begini?" Isteri saya hanya tersenyum dan
menjawab ; "Disini memang sudah seperti ini tradisinya, kak".
Akhirnya, ketahuanlah bahwa selama ini saya sangat kurang piknik dan hanya tahu
keadaan kampung sendiri.
Menghidupkan malam-malam
ramadhan di tiap daerah tidak selalu sama. Lain padang lain belalang, lain
lubuk lain ikannya. Seusai shalat taraweh 20 rakaat + witr 3 rakaat, semua
jamaah kembali ke rumah masing-masing. Ada yang memilih langsung istirahat agar
bisa bangun lebih awal menyiapkan santapan sahur. Ada yang tadarusan di rumah,
menghabiskan beberapa lembar atau sampai 1 juz sebelum istirahat. Ada pula yang
menghidupkan malam dengan shalat malam. Ada yang melabrak makanan sisa-sisa
berbuka sebelum tidur. Yang nonton sinetron? Ada juga dong. Begitulah suasana
ramadhan di kampung saya.
Andai saja tidak ada knalpot
motor yang sengaja dibelah pemiliknya yang menghasilkan suara meraung-meraung,
di kampung saya, malam-malam ramadhan tidak akan pernah ada polusi suara.
Akhir-akhir ini, suara toa
di masjid kami setiap menjelang masuk waktu shalat, menurutku, volumenya
terlampau keras. Rumah saya yang berjarak 100 meter lebih dari masjid saja,
kalau lagi ngobrol, hampir-hampir suara lawan bicara tak bisa ditangkap dengan
sempurna. Toa dan amplipiernya mungkin kualitas bagus, jadi suara yang
dihasilkan juga bukan suara kawe-kawean.
Saya sudah pernah menyampaikan perihal
volume yang pekak itu, tapi ya tetap saja. Saya tidak meminta agar tidak
menggunakan pengeras suara seperti permintaan pak Jeka. Saya hanya ingin suara
bacaan tarhim dan ayat suci yang keluar dari pengeras suara itu tidak sampai
mengganggu obrolan orang, meskipun obrolan itu obrolan biasa dan jauh dari apa
yang disebut obrolan suci. Dikurangi volumenyalah, biar lebih enak di telinga
dan semakin menjadi-jadi syahdunya di hati.
Di kampung saya hampir tidak
ada yang berusaha menegur lantunan ayat suci yang diputar menggunakan pengeras
suara dengan suaran pekak itu. Terkesan tidak mau ambil pusing. Meskipun,
mungkin, kadang-kadang pusing juga dibuatnya, apalagi yang rumahnya dekat
dengan sumber suara. Apakah mereka takut kualat karena, menurut mereka, yang ia
hadapi hakikatnya adalah firman suci Tuhan dan bukan toa/pengeras suara yang
berisik itu? Bisa jadi. Bisa jadi juga karena tidak mau menerima risiko dituduh
yang aneh-aneh oleh masyarakat dan pengurus masjid.
Saya teringat tentang kisah
putri raja yang jatuh cinta berat terhadap Islam. Tapi, akhirnya ia campakkan
cintanya karena mendengar suara azan yang begitu buruk. Nah kalau yang
tadarusan sampai tengah malam itu suaranya buruk, bacaannya buruk, bagaimana?
Memang sih tidak ada larangan suara buruk untuk hunting pahala sebanyak
mungkin, tapi ya ditimbang-timbang juga lah. Yang mendengar kan juga mau yang
indah-indah.
0 Komentar