Ini kejadian sekitar empat tahun lalu, dik, di masjid tempat saya biasa melaksanakan shalat jumat. Khatib yang berdiri di mimbar, kala itu, tampaknya bukan orang sini. Ia tampak sangat profesional dan berotak cemerlang. Benar-benar menguasai apa yang disampaikan. Poin demi poin materi khutbahnya dijabarkan dengan lugas dan mudah dipahami. Mungkin dahulu ia seorang santri, sama seperti kamu, yang saban hari bergelut dengan kitab fikih, hadits, tafsir, tasawuf versi gundul, tentu saja. Saya yang jarang sekali tidak diperkosa kantuk saat khutbah dibacakan, bisa melek sampai khutbah kedua yang memuat doa berakhir siang itu. Bahkan saya merasa terlalu singkat dan ingin menyimak lebih lama lagi.
Saya perhatikan seluruh jamaah juga sepenuh hati menyimak khutbah yang disampaikan oleh khatib hebat itu. Bercakap-cakap pelan di saat ayat-ayat Allah, hadits, nasehat, petuah, anjuran, perintah dan larangan berhamburan dari atas mimbar adalah pemandangan yang sudah akrab di masjid itu oleh beberapa jamaah yang belum memahami bahwa khutbah adalah salah satu rukun shalat jumat. Waktu itu tidak terdengar, lamat-lamat pun tidak. Juga setan yang biasanya bergelantungan di pelupuk tidak berkutik di penghulu hari yang berlimpah berkah itu. Benar-benar mati kutu setan-setan sialan itu. Khutbah luar biasa itu bertema : Pentingnya mengindahkan ayat-ayat Allah.
Namun, di pertengahan khutbah, dik, tiba-tiba listrik mati. Suara khatib yang sebelumnya terdengar ke seluruh ruangan, mendadak hanya terdengar jelas oleh jamaah yang duduk di shaf-shaf paling depan. Saya hendak bergeser lebih ke depan, tapi sudah tidak ada tempat. Dalam hati, saya berharap semoga listrik segera menyala. Tak sesuai harapan, sampai khutbah kedua selesai, listrik tidak kunjung memihak gairahku, mungkin juga pada antusiasme jamaah yang lain.
Shalat jumat akhirnya dilaksanakan tanpa pengeras suara sebagaimana biasa. Alhasil, bacaan al-fatehah imam terdengar jelas di empat shaf pertama saja. Semakin ke belakang, suara imam kian terdengar samar. Selesai al fatehah dibacakan, seperti biasa, imam membaca ayat pavoritnya. Beberapa ayat dari surah cahaya : Allaahu nurussamaawaati wal ardh, matsalu nuurihi kamisykaatin fiiha misbaah...,.
Belum tuntas ayat cahaya dibacakan pada rakaat pertama, mendadak terdengar suara aneh nan berisik. Listrik kembali menyala, dik. Kamu tentu bisa menebak-nebak isi kepala dan suasana hati setiap orang. Juga tentang kondisi khusyuk yang terusik. Namun apa hendak dikata, imam terlanjur tidak memasang mikropon mungil yang biasa di pasang di bajunya. Beberapa detik kemudian, tape berisi kaset lantunan tarhim terputar secara otomatis. Maka, mengalunlah dengan indahnya tarhim di rakaat pertama shalat jumat : ashshalaatu wassalaamu alaik, ya imaamal mujaahidiin.. yaa rasuulallaah.,.. suara tarhim yang terhubung ke toa dan loudspeaker pun dengan perkasa melumat suara imam. Seperti AC. Milan melumat Internazionale di liga champions yang membuat interisti berulah. Hahahahah. Kiper Milan, Nelson Dida, yang berdiri di bawah mistar gawang di curva nord, area khusus para interisti, sampai mengalami nasib sial. Ia terkena petasan yang dilemparkan oleh pendukung internazionale sialan itu. Ah, tapi percuma saja, kamu tidak mengerti sepakbola, dik, apalagi panasnya atmosfer yang menaungi San Siro setiap kali derby kota mode bernama cantik itu digelar : Derby Della Madonnina.
Memasuki rakaat kedua, tidak seorang pun berinisiatif menghalau laju tarhim yang mengalun tidak tepat waktu itu. Di tengah situasi yang serba tidak mengenakkan itu, tanpa pemahaman fikih shalat yang memadai saya diam-diam menghendaki imam agar tidak perlu nekad memilih surah panjang. Imam sebaiknya memilih "qulhu" saja atau surah pendek lainnya, Tetapi, tampaknya imam sama sekali tidak terganggu oleh tarhim kesasar itu. Beliau tetap memilih surah yang agak panjang seperti jumat yang sudah-sudah dalam kondisi normal.
***
0 Komentar