Header

Header

TERMINAL

Poto : kompasiana.com
Terminal merupakan tempat pemberhentian sementara menuju akhir sebuah perjalanan. Titik penghubung antara tempat asal (dari mana) dan tujuan (ke mana). Manusia dari beragam etnis, budaya, agama serta keragaman latar belakang yang lain berkumpul disini. Penuh sesak.

Di terminal, kita bisa menyaksikan setiap orang asyik dengan diri mereka sendiri. Setiap orang disibukkan dengan urusan masing-masing. Meskipun tidak saling mengganggu, namun ketidakpedulian satu sama lain juga membentang jelas di depan mata. Seseorang bagi seseorang yang lain tidaklah penting di persinggahan sementara ini. Setiap orang berdiri berdekatan, duduk bersebelahan di bangku yang sama, tapi tidak ada interaksi, tidak ada komunikasi. Mereka dekat, dan pada saat yang sama juga sangat berjauhan.

Setiap orang dan kelompok dengan diri dan kelompoknya saja. Kehidupan terminal adalah arena individualisme. Titik hubung antara asal dan tujuan ini merupakan realitas kehidupan yang sakit. Sakit parah. Penyakit yang mewabah dan ganas ini menjangkiti siapa saja walau mampir hanya sebentar. Penyakit dengan daya rusak luar biasa ini menyerang dan menggerogoti sisi kepedulian dan keramahan setiap orang. Cukup sulit mengidentifikasi jenis penyakit ini. Berdasar habitatnya, sebut saja sebagai Penyakit Terminal.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi, dari waktu ke waktu, benar-benar merasuki setiap sisi kehidupan kita sebagai manusia. Smartphone adalah contoh paling nyata. Ia adalah jendela untuk melihat dunia lebih luas. Dengannya, setiap orang bisa mengakses berita teraktual melalui benda tipis ajaib ini. Smartphone benar-benar sudah menjadi bagian dari diri kita, meskipun tentu saja tidak serta merta membuat semua orang menjadi benar-benar pintar.

Smartphone tidak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan sehari-hari sebagian besar orang. Ia berhasil menaklukkan banyak orang, terutama kalangan muda yang dikenal sebagai generasi milenial, generasi era viralisme. 

Pada awalnya, pengguna smartphone berada dalam kontrol diri. Pergumulan yang intens, lama kelamaan, membuat pengguna lepas kendali atas dirinya. Takluk. Kemana-mana harus ditemani smartphone. Ke pengajian, saat melakukan aksi peduli sosial wajib ditemani smartphone. Ke toilet, bahkan saat makan sekalipun smartphone kadang-kadang menjadi salah satu menu utama. Ketika baterai smartphone menuntut diisi, penggunanya menjadi mirip kambing yang diikat oleh sang gembala. Smartphone, pada akhirnya menjadi alat paling ampuh dalam menularkan penyakit terminal.

Tidak sulit menemukan seseorang asik memainkan smartphone, sibuk berkomunikasi dengan makhluk maya sembari abai terhadap keberadaan orang lain - saudara, orang tua dan orang-orang dekat yang berada begitu dekat dengannya. ini menjadi suguhan yang banyak tersaji di ruang-ruang keluarga, di meja makan, di atas bus/kereta dst. Jika Anda tidak menemukan di kiri kanan Anda, cobalah tengok diri Anda sendiri.

Karena benda tipis ajaib ini, manusia yang sejatinya merupakan makhluk sosial, berubah menjadi makhluk media sosial. Menyadari sejatinya diri, banyak orang ingin kembali ke kehidupan normal. Atau setidaknya mendapatkan kembali kontrol atas dirinya. Sekuat tenaga, jatuh bangun berusaha menjauh dari jangkauan cengkeraman smartphone. Hasilnya, tidak bersentuhan dengan smartphone selama sebulan atau sepekan dijadikan sebagai pencapaian sangat fantastik. Sebagai bukti hamba yang pandai bersyukur, pencapaian luarbiasa itu kemudian dikisahkan di sejumlah akun media sosial seperti twitter, facebook, instagram, telegram, dst. Dan tentu saja lengkap dengan beragam tantangan saat menjalani tirakat luar biasa itu.

Bahkan bagi ahli hisap, rokok dan segelas kopi tanpa smartphone menjadi kurang nikmat. Ketiganya harus ada secara bersama-sama. Barangkali, bagi lelaki jomblo, smartphone diperlakukan nyaris seperti tulang rusuknya yang baru ditemukan setelah sekian lama hilang. Namun, sebelum mencari tahu bagaimana cara jomblo memperlakukan tulang rusuknya yang dulu hilang, pastikan terlebih dahulu apakah benar Tuhan juga mendesain jomblo dengan tulang rusuk yang hilang satu.  

Dimana-mana, kita bisa saksikan dalam kehidupan keseharian, di ruang tunggu, di halte, di warung, di halaman masjid, di rumah, di tempat kerja, keadaannya sudah seperti di terminal sebagai potret kehidupan sosial yang sakit di mana orang-orang tidak menganggap penting saling menyapa. Dan begitu banyak orang, mungkin juga termasuk kita, kini benar-benar terjangkit penyakit terminal tersebut.

Barangkali, satu-satunya yang pantas menemani seseorang masuk ke liang kubur adalah smartphone. Malaikat penjaga kubur tidak perlu repot-repot membuat daftar pertanyaan untuk para penghuni kubur. Malaikat tinggal meminta menyerahkan smartphone, semua data ada disana. Amal baik seperti aksi peduli, pengajian dan majelis taklim, shalat berjamaah dan lain-lain semua ada disana. Dan catatan amal buruk semisal fitnah, nyinyir, olok-olok serta ragam data tentang jejak hitam tersimpan dengan rapi dalam memori smartphone. Aplikasi pintar baca AL-Qur’an, murottal, hikayat-hikayat birahi juga merupakan data pendukung yang bisa sangat menentukan. Malaikat tinggal pilih, mau pakai data yang bagaimana. Bentuk tulisan ada, dalam bentuk dokumentasi/poto selpi juga ada. Tidak perlu lagi ada komunikasi verbal dengan malaikat, serahkan smartphone lalu tidur-tiduran sambil menunggu hasil putusan. Apakah nanti akan berakhir dengan pesta bersama puluhan bidadari molek, mandi susu, tegang terus, perawan sepanjang waktu ataukah harus berurusan dengan setrika, blender, gergaji, somel dan alat-alat pertukangan lain yang ada disana? Tentu saja, semua tergantung pada data.

Wallahu ‘alam

Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya”, celetuk Borahing mengutip surah ‘Abasa ayat 37, sok-sokan membenarkan.

Posting Komentar

0 Komentar