Header

Header

AYAH DALAM KENANGAN

Sepanjang hidupku, aku mendapati wajahnya selalu dikepung asap dari lintingan tembakau, kecuali saat makan, mandi, tidur dan shalat. Sampai kemudian ia terserang flu dan batuk yang dahsyat dan memaksanya berurusan dengan dokter. Ia terserang penyakit paru-paru dan harus rutin dan disiplin menelan butiran-butiran kimia selama enam bulan.
Ayah Bersama KH. Arif Liwa

Minum obatnya harus benar-benar tepat waktu. Jika di hari pertama minum obat jam 7 malam/pagi, maka begitu juga malam-malam selanjutnya, sampai malam yang keenam bulan. Kalau aturan itu dilanggar, berarti ritual minum obat yang melelahkan itu akan dimulai dari awal lagi. Dan yang paling dikhawatirkan adalah virus penyebab penyakit akan menjadi lebih kebal, dan pada gilirannya penyakit akan lebih sulit disembuhkan.

Selain ritual minum obat, juga ada ritual setor dahak sekali satu minggu. Selama menjalani kedua ritual ini, alhamdulillah, keinginan untuk tetap menjadi ahli hisap berhasil diredam. Tentu saja, selain karena kesadaran sendiri, juga karena nasehat dari isteri dan kami anak-anaknya yang sangat mencintai dan menyayanginya.

Enam bulan berlalu, ritual minum obat yang melelahkan pun usai. Dokter berpesan agar jangan pernah berurusan dengan rokok lagi, untuk selamanya. "Selamat menempuh hidup baru, ayah!". Pesan tersebut sangat boleh jadi serasa bak petir menyambar di siang bolong. Atau laksana jomblo yang cintanya nyaris diterima perempuan yang siang malam selalu diimpikan. Tapi, bagaimanapun, hidup harus terus berlanjut. Semangat, ayah, kami yakin ayah bisa!

Bulan dan tahun berlalu. Hidupnya dilalui tanpa rokok. Bahkan, ajaibnya, dari kopi ia hijrah ke teh.

Namun, beberapa minggu sebelum meninggal, ia melabrak larangan dokter. Sesuatu yang sebenarnya sudah saya khawatirkan jauh-jauh hari. Sebagai penghayat rokok yang telah memakrifati rokok selama berpuluh tahun, sejatinya berat hatinya berpaling darinya sepenuhnya. Ia sebenarnya hanya menunggu hari yang baik saja untuk kembali memulai mengepulkan asap penghayatan.

Sebagai sesama penghayat rokok, apa dayaku dan saudara-saudaraku. Kami hanya bisa memakluminya, sambil tetap terus menasehati dan selalu mengingatkan bahwa penyakit yang sama ketika menyerang untuk kali kedua, serangannya jauh lebih ganas dan tanpa ampun.

Pesan dokter dan apa yang dirahasiakan dokter padanya tentang hasil rontgen paru-parunya tak lupa kami ingatkan. Benar, batuk akibat penyakit paru-parunya memang tidak pernah kambuh selama kembali merokok. Mungkin karena ia benar-benar memulainya pada hari baik. Namun, andai saja boleh memilih, saya akan memilih penyakitnya kambuh walau sehari saja agar saya berkesempatan merawatnya dan berpeluang berada di sampingnya di detik-detik saat ia hendak tinggal landas untuk memulai perjalanan panjangnya menuju keabadian, menuju Sang Maha Kasih.

Ayah..., ibu dan kami (Milik Nawawi, Muhammad Qayyim, Fajriah Harun Letana) merindukanmu.

Posting Komentar

0 Komentar