Header

Header

BERBEDA BUKAN SESAT

"Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa aali Muhammad"

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Agama dimaknai sebagai sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kpd Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yg berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa sanskerta, āgama yang berarti "tradisi".[10]. Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. (Wikipedia)
Ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia. Dengan bimbingan agama ini diharapkan manusia mendapatkan pegangan yang pasti dan yang benar dalam menjalani hidupnya dan membangun perdabannya. Dengan kata lain, agama diwahyukan untuk manusia, bukannya manusia tercipta untuk kepentingan agama. Agama adalah jalan, bukan tujuan. Dengan bimbingan agama itulah manusia berjalan mendekati Tuhan dan mengharap ridhaNya melalui amal kebajikan yang berdimensi vertical (ritual keagamaan) dan horizontal (pengabdian sosial). (1) (Buku : Atas Nama Agama – Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik – Pustaka Hidayah)
 Saya pernah menonton video yang diunggah ke situs Youtube, terlihat pemandangan yang sangat tidak mencerminkan sikap yang merupakan karakter bangsa kita, bahkan bisa dikatakan sangat tidak manusiawi. Dalam video tersebut warga beragama Kristen yang hendak melaksanakan ibadah mendapat gangguan dari penduduk setempat yang kebetulan mayoritas berpenduduk muslim. Warga mayoritas tersebut, entah berpegang pada dalil yang seperti apa, seakan-akan mendapat mandat langsung dari Tuhan bahwa di atas tanah ini Tuhan hanya ridha dihuni oleh orang yang beragama Islam saja. Mereka memutar lagu qasidah sekeras-kerasnya dengan pengeras suara di saat yang sama warga beragama Kristen sedang melaksanakan kebaktian. Jelas kebaktian yang dilaksanakan di tempat seadanya itu jauh dari kekhusyukan. Sebagai muslim, saya sangat kecewa, karena sikap beragama semacam ini sangat tidak mencerminkan dengan apa yang telah dicontohkan junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang sangat menjunjung tinggi sikap toleransi, tasamuh.
Akhir-akhir ini wajah Islam sebagai pembawa kemaslahatan untuk seluruh alam, rahmatan lil ‘alamin, dipertaruhkan. Bagaimana tidak, para jahil yang mengaku muslim malah mempertontonkan secara vulgar sesuatu yang bertentangan dengan pesan autentik Islam dan kemanusiaan universal. Islam yang sejatinya merupakan agama yang membela dan melindungi hak-hak kaum tertindas, malah menindas. Agama Islam yang seharusnya menjadi wadah mendialogkan persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan, malah dijadikan alat untuk mendorong konprontasi fisik. Islam yang seharusnya memberikan rasa aman dan keadilan, tapi oleh penganutnya yang pandir dan serakah dijadikan sebagai alat untuk memenuhi hasrat duniawi dan kepentingan kelompok dan pribadi mereka masing-masing, sehingga yang terjadi kemudian adalah Islam, alih-alih memberikan kedamaian, keselamatan, malah menghadirkan rasa tidak aman dan ketakutan di masyarakat. Pesan agung Kanjeng Nabi SAW. tentang akhlak dan moral ditinggalkan, pada gilirannya, wajah Islam menjadi begitu mengerikan dan menakutkan.
Hampir setiap saat kita disuguhi Informasi yang membuat kita tidak habis pikir sebagai orang beragama. Berita tentang penyegelan dan pengrusakan rumah ibadah, pelarangan beribadah terhadap penganut agama tertentu yang kebetulan tinggal dan hidup dalam masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim. Kalau kita tarik persoalan kekerasan atas nama agama ini ke dalam internal Islam, maka tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana kisah duka warga Syiah dan Ahmadiyah yang dibantai oleh saudaranya sesama muslim yang mendaku diri paling benar dan paling suci dan paling memahami maksud dari pesan Tuhan yang tertuang dalam teks kitab suci. Terlepas dari adanya faktor lain dari merebaknya kekerasan atas nama agama, misalnya, persoalan politik atau adanya konspirasi antara penguasa (pemerintah) dan pengusaha karena ditengarai tempat domisili mereka mengandung kekayaan alam seperti minyak, emas dan semacamnya (ingat kasus warga syiah di Sampang Madura), sehingga ketika negosiasi untuk relokasi (pengusiran) warga tidak berjalan mulus menurut logika pihak yang memiliki otoritas, maka upaya relokasi akan ditempuh dengan cara-cara picik semisal memberi stigma kepada warga, yang kebetulan bermazhab berbeda dengan mazhab mainstream, sebagai penganut mazhab sesat.
Terlepas dari itu semua, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa memang ada sebagian diantara saudara semuslim kita yang senang mengkafirkan muslim yang lain yang berbeda pemahaman dengan mereka, kemudian dengan argument seadanya, mereka menebar kebencian dan permusuhan bahkan tidak segan-segan menghilangkan nyawa saudaranya sendiri.
Persoalannya adalah apakah setelah mereka yang diberi stigma sesat tersebut dimusnahkan, persoalan selesai sampai disitu? Tentu tidak. Kekuatan dan efek stigma itu sangat dahsyat.  implikasinya panjang dan bahkan bisa saja sesuatu yang lebih buruk akan diterima oleh keluarga dan anak-anak korban di masa-masa yang akan datang. Anak-anak mereka akan terkucilkan dari pergaulan dalam masyarakat. Mereka akan dijauhi dan bukan hal yang tidak mungkin mereka akan mendapat perlakuan tidak manusiawi karena stigma sesat tersebut. Kekuatan stigma tersebut akan melahirkan apa yang diistilahkan oleh Edward Norton Lorenz sebagai Butterfly Effect atau Efek Kupu-Kupu. Istilah ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.
Mencermati berbagai konflik yang mengatasnamakan agama, khususnya Islam, salah satu faktor yang menjadi penyebabnya adalah fanatisme sempit. Fanatisme sempit ini lahir dan berakar pada pemahaman agama yang dangkal. Pemahaman agama yang dangkal jika disertai keengganan membuka diri terhadap pemahaman yang berbeda dari orang lain akan melahirkan manusia-manusia yang terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri dan pada gilirannya akan menjelma menjadi manusia yang tidak percaya diri dalam beragama dan akan cenderung berlindung di balik kalimat bahwa kita harus kembali kepada Al-Quran dan Sunnah.
Anjuran untuk kembali kepada kedua sumber rujukan utama itu adalah hal yang baik dan benar. Namun persoalannya adalah ketika jalan kembali yang kita tempuh malah mengantarkan kita semakin jauh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. Pemahaman agama yang tekstualis, akan menjadikan seseorang memahami teks kitab suci sebagaimana adanya. Apa yang tertuang dalam teks itulah makna satu-satunya. Hal ini berarti bahwa makna selain itu otomatis tertolak.
Memahami Al-Quran yang sarat makna memang dibutuhkan penguasaan ilmu yang memadai. Jika tidak, bukan tidak mungkin makna dan pesan yang paling fundamental yang hendak disampaikan Tuhan akan habis tereduksi. Parahnya lagi, jika semangat mempelajari al-Quran tidak berangkat dari niat yang tulus untuk mengambil hikmah, tetapi didasari oleh kepentingan dan nafsu pribadi atau kelompok. Baru hafal satu, dua ayat saja sudah berani menebar ujaran-ujaran yang dapat memicu permusuhan dengan orang yang berbeda pemahaman dengannya. Berbekal satu dua ayat itu pula, mereka pongah lalu mengklaim orang lain sebagai kafir, sesat dan sederet istilah yang sangat tidak mengenakkan dan merugikan bagi mereka yang dilabeli. Merasa diri paling benar, paling suci dan paling Islam, di luar diri dan kelompoknya adalah salah, kafir dan pasti masuk neraka. Seolah-olah kunci surga dan neraka ada di tangan mereka. Apakah mereka lupa bahwa ada hadits yang menyatakan : “man kafara akhahu musliman fahuwa kaafiruun” (barangsiapa yang mengkafirkan saudaranya sesama muslim adalah kafir). Ini berarti bahwa kafir tidaknya seseorang itu adalah hak Allah untuk menilai, bukan manusia. Orang-orang yang beragama dengan model seperti ini, menurut penulis, adalah orang-orang yang beragama dengan ketidak percayaan diri yang sudah melampaui batas akut. Mereka akan senantiasa merasa terancam dengan hadirnya orang lain atau kelompok lain dengan pemahaman agama yang berbeda dengan mereka. Mereka adalah orang-orang yang sakit jiwa.
Padahal, salah satu kemukjizatan Al-Quran adalah bahwa ayat-ayatnya mengandung berlapis-lapis makna. Makna-makna itu tidak akan pernah habis sampai jagatraya ini bubar, alias kiamat. Semakin al-Quran dibaca, maka akan kian bermunculan makna dan pemahaman-pemahaman yang baru. Mengutip Ulil Absar Abdallah, ayat ayat Al-Quran tidak serupa rumah kaca yang sekali kita memandang ke dalam, maka seisi rumah terlihat semua. Tapi, butuh disiplin-disiplin keilmuan untuk menyelam lebih dalam ke kedalaman samudera makna ayat-ayat Al-Quran. Hal Ini memberi kesan bahwa seseorang harus ikhlas membuka diri dan menerima kenyataan bahwa pemahamannya atas ayat Al-Quran hanyalah salah satu percikan makna yang ia peroleh dari tak terhitung makna yang belum ia temukan. Dengan demikian, anggapan bahwa pemahamannya atas ayat al-Quran sebagai satu-satunya yang paling benar disadari sebagai anggapan yang benar-benar keliru.
Merasa diri benar dalam memahami pesan-pesan teks Al-Quran adalah benar dan sah-sah saja. Namun merasa diri paling benar disertai sikap gampang mengkafirkan, takfiri, sesama saudara, enggan mendengar pendapat orang lain jelas merupakan sikap yang tidak dapat diterima oleh siapapun.
Untuk mengeliminir konflik yang mengatasnamakan agama, upaya yang senantiasa ditawarkan adalah mendialogkan pemahaman keagamaan. Membuka ruang dialog, bukan debat untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan. Dialog dimaksudkan untuk mencari akar permasalahan dan mencoba mencari titik temu, kalimatun sawa’, dari perbedaan yang kian meruncing.
            Dengan niat yang tulus untuk melakukan dialog, maka perbedaan atas pemahaman keagamaan akan benar-benar menjadi sebuah rahmat Allah yang tak terperi. Dengan demikian, perbedaan akan kembali dipahami sebagai perbedaan, bukan kafir atau sesat. Bukankah ketika Tuhan berfirman, kita hampir selalu mendengar beda? Ibarat suara gong kecil penjual Es keliling. Menurut telinga orang di tanah jawa, suara yang dihasilkan oleh gong tersebut berbunyi Dung Dung, sehingga mereka menyebutnya Es Dung Dung. Namun versi telinga orang Sulawesi menangkap suara tersebut berbeda dengan telinga orang jawa. Menurutnya, suara yang dihasilkan gong penjual es tersebut berbunyi Tong Tong. Karena itulah, orang Sulawesi mnyebutnya Es Tong Tong. Dengan perbedaan itu, apakah kita harus bertengkar dan saling menuduh sesat pendengaran? Menurut penulis, suara gong kecil penjual es keliling itu memiliki warna sendiri dan sejatinya ia adalah suara tanpa huruf.
Oleh karena itu, kita berharap, di masa-masa yang akan datang dan sampai kapanpun kita selalu sukses menampilkan wajah Islam kita yang teduh, yang rahmatan lil ‘alamin. Meminjam apa yang pernah disampaikan oleh Guru Bangsa kita, Al-Maghfurlah KH. Abd. Rahman Wahid (Gusdur), beliau mengatakan : Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah.


*Dari berbagai sumber.

 Mamuju, 2014

Posting Komentar

0 Komentar