Ekslusivisme dan Inklusifisme
Dalam diri setiap pemeluk agama, Islam misalnya, keyakinan bahwa Islamlah agama yang paling benar (truth claim) dan hanya satu-satunya jalan keselamatan (salvation claim) selalu ada. Keyakinan yang sama juga ada pada agama-agama selain Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan lain-lain. Keyakinan tersebut tidaklah muncul begitu saja dan tanpa alasan sama sekali, karena setiap agama hadir dan sudah dilengkapi dengan fasilitas dan fitur klaim kebenaran, klaim keselamatan, dan semacamnya. Klaim-klaim tersebut sudah menjadi jantung dan konstruksi keimanan yang sangat kokoh dari keyakinan setiap pemeluk agama, terlepas dari apakah klaim kebenaran, klaim keselamatan tersebut benar-benar valid dan bisa dipertanggung jawabkan.
Sikap keberagamaan ini kemudian terartikulasikan dalam dua bentuk, ekslusif dan inklusif.
Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak memberikan alternatif lain apapun. Ia tidak memberikan ruang adanya kebenaran yang lain sedikitpun dan tidak mengenal kompromi. Ia memandang kebenaran secara hitam-putih. Klaim kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia terpresentasikan secara demonstratif oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen dan Islam, masing-masing saling mengklaim diri yang paling benar.
Sikap keberagamaan ini juga memperoleh pijakan hukum yang kuat dalam kitab suci masing-masing agama yang bersangkutan. Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja; Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla salus”-nya dan Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan (original sin); sementara Islam dengan statemen Allah SWT dalam al-Qur’an: “Innad-dina ‘indallahi al-islam” (Ali Imran 19) dan hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (berislam) kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan: “wa man yabtaghi ghairal-islami dinan fa lan yuqbala minhu wa huwa fil-akhirati minal-khasirin” (Ali Imran 85).
Inklusivisme, merupakan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu pihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar (the truth) secara absolut, tapi, di pihak lain ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan transformasinya untuk mencakup seluruh pengikut agama lain. Inklusivisme ini mendapatkan ekspresinya yang begitu artikulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para teolog semisal Karl Rahner dengan teori “Anonymous Christian” (Kristen anonim)-nya, yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown Christ of Hinduism’.
Dengan kata lain inklusivisme ingin mengambil sikap tengah-tengah, antara eksklusivisme dan pluralisme. Dalam pandangan teolog Kristen yang memiliki sikap inklusif misalnya, memandang bahwa mereka yang menjalani hidup sesuai dengan ajaran Jesus, meskipun secara kelembagaan tidak beragama Kristen dan tidak meyakini Trinitas, mereka adalah orang-orang yang benar dan mereka adalah Kristen tanpa Salib. Menjadikan ajaran Kristen sebagai tolok ukur sebuah kebenaran sikap dan perilaku dalam kehidupan, hal tersebut menunjukkan bahwa betapapun mereka memandang adanya kebenaran di luar agama Kristen, namun keyakinan bahwa Kristenlah agama yang paling benar tetap menjadi sesuatu yang tidak bisa dtawar dan dikompromikan. Hal yang tidak jauh berbeda kita jumpai dalam Islam.
*Dari berbagai sumber
*Dari berbagai sumber
0 Komentar