Bayangkan seseorang bernama Masa Bangun. Bayangkan ia seorang tipikal manusia Indonesia-modern (di masa Orba). Dalam keindonesiaannya telah bangkit kemodernan ; dan dalam kemodernannya selalu menggeliat keindonesiaan. Sebagai manusia Indonesia modern, ia amat percaya teknologi, dan karenanya sangat percaya pada ide-ide kemajuan. Haqqul Yakin! Mas Bangun tentu saja sangat bangga pada warisan leluhur dan budaya bangsa – itu tak perlu diragukan. Tapi bukan berarti kita harus hidup di masa lalu, katanya. Hidup, lanjutnya, adalah masa kini dan masa depan. Masa lalu adalah serba takhayul dan serba aturan tradisional yang sudah kasip. Masa kini adalah alam rasional-teknologis dan kerja keras mencari keajegan.
Lalu, tanya seseorang pada Mas Bangun, dimana letak warisan leluhur dan budaya bangsa? Pada kepribadian, kata Mas Bangun.pada nilai, moral, polah dan perilaku kita dalam menjalani hidup masa kini. Mas Bangun mencontohkan, agama bisa jadi pendukung dan penuntun kemajuan. Asal tidak dalam bentuknya yang penuh takhayul, melainkan sebagai etika. (weleh, ini Paramadina banget, ya?). Lho, wong Enstein saja yakin agama dan ilmu pengetahuan bisa saling bela. Kemajuan tanpa tuntunan bisa membawa akses gawat, seperti di Barat itu lho! Nah, memang Mas Bangun setuju banget pada rumusan Pak Koentjaraningrat : Modernisasi bukan westernisasi (kalimat itu jadi salah satu mantra andalan Mas Bangun kalau menasehati anak-anak muda di RT nya). Maka Mas Bangun bertekad menjadi partisipan-aktif pembangunan. Iya dong, katanya menegaskan. Dimana harga diri bangsa kalau di Barat, ibu-bu (dan bapak-bapak) rumah tangga sudah bisa belanja lewat jaringan komputer, sementara disini masih sibuk soal santet dan guna-guna? Pembangunan adalah jalan selamat menuju kemajuan, sekaligus amanat kemerdekaan. Dan ingat lho, ujar Mas Bangun, berulang-ulang pada anak-anaknya, pembangunan bukan cuma fisik, tapi lebih penting adalah pembangunan mental-spritual (welwh, ini Orba banget ya?). Disitu letak harga diri kita, letak kebangsaan kita, tegas MAs Bangun.
Partisipasi aktif Mas Bangun dalam pembangunan adalah ikut dalam berbagai kegiatan dan organisasi kemasyarakatan, mulai dari tingkat RT sampai kelurahan ; mulai dari gotong royong membersihkan got hingga mengorganisasi kirab. Layaklah jika MAs Bangun jadi tokoh, panutan masyarakat. Pekerjaan favoritnya adalah mengayomi masyarakat. Saudara-saudara (dengan tekanan-tekanan pada “d”, biar mantep), kata Mas Bangun selalu jika sedang “menyadarkan para tetangganya, pembangunan itu terbeban pada pundak kita ; pembangunan bukan tugas pemerintah belaka; kita, saudara-saudara, kita adalah yang paling berkepentingan pada pembangunan, karena kita bla bla bla……
Partisipasi minimal Mas Bangun dalam pembangunan adalah menjadi warga Negara yang baik. Artinya, Mas Bangun menjalani “hidup tertib” dan “tertib hidup” dalam kesehariannya. Artinya; mematuhi undang-undang dan birokrasi. Soal terakhir memang sering menjengkelkan. Main pingpong memang enak, tapi menjadi bola pingpong yang dimain-mainkan oleh tangan-tangan birokrasi sungguh menyebalkan. Tapi, ingat lho, ujar Mas Bangun, birokrasi itu perlu dan bagian hidup masa kini. Birokrasi itu demi efisiensi. Kalau ada kekusutan, pungli dan manipulasi, ya wajar toh? Kita kan Negara berkembang, masih banyak oknum birokrasi yang belum mengerti tujuan bersama. Ya, sabar. Itu tantangan. Yang jelas, kata Mas Bangun, saya tak bisa membayangkan pembangunan tanpa birokrasi.
***
Demikianlah Mas Bangun dengan segala keyakinannya. Tapi belakangan ini Mas Bangun sering menerawang. Tahun 1994 sampai bulan Ramadhannya kok penuh bencana yang mengejutkan, ya? Banjir-banjir besar di tempat-tempat ‘aneh’ (tak biasanya kebanjiran), dari Paris hingga Parijs Van Java (Bandung). Lalu gempa dahsyat di LA, kebakaran hebat di Australia, gedung ambrol di Malasyia. Semua berita itu memberi rasa kerawanan. Rawan, karena sedemikian jauh kemajuan peradaban manusia, toh tragedy-tragedi mengerikan tetap tak bisa ditampik. Rawan, karena ada tanda-tanda bahwa “tangan-tangan” manusia turut bertanggung jawab terhadap berbagai kejadian mengerikan di muka bumi ini.
Duh, kok bermuram durja si Bapak, ledek Dayat, anak sulung Mas bangun. Anak itu memang selalu begitu, piker Mas Bangun setengah keki setengah bangga. Dayat memang takpernah kehilangan penghormatan pada Mas Bangun. Tapi entah kenapa Mas Bangun selalu merasa anak itu agak sinis dalam menanggapi kebanyakan nasihatnya mengenai kehidupan. Yang jelas, anak itu memang amat cerdas.
Dayat memang anak zamannya. Ia skeptis pada kebanyakan keyakinan bapaknya. Ia banyak membaca, banyak melihat dan tidak bisa menolak internalisasi keresahan zaman. Ia baca laporan untuk Club Of Rome, ia baca Batas-Batas Pertumbuhan, serta laporan tahunan States Of The World dari Laster R. Brown, dan dengan itu kecemasan akan masa depan planet bumi mengendap di otaknya. Ia membaca karya Galtung soal ketegangan negara-negara pinggiran kepada negara-negara pusat, lantas merasa betapa bangsa awak ada dalam jerat ketertindasan gaya baru yang lebih parah dari kolonialisme Belanda dulu. Ia juga banyak membaca karya para filsuf kritis Mazhab Frankfurt, Korkheimer, Marcuse dan Adorno, lalu enjadikan titik ideology sebagai agenda pemikirannya. Ia baca Berger yang menunjukkan biaya-biaya manusiawi yang sering luput dari perhitungan proyek-proyek modernisasi; dan bahwa sekularisasi adalah ciri dunia modern, sehingga “langit suci” runtuh dan wahyu menjadi sekadar “kabar angin dari langit” – walhasil, Dayat sepakat dengan usulan demodernisasi dari Berger. Ia baca Habermas yang wanti-wanti memngingatkan “dominasi teknologi” sebagai ideology yang sama berbahayanya dengan berbagai ideology fasis, misalnya. Ia membaca para pewaris Nietszche, yaitu kaum posmodernis seperti Lyotard, Derrida, Barthes dan Foucoult, lalu mendapat kesan kuat kebuntuan zaman, kebutuhan yang mengejawantah dalam era berbagai kematian ; kematian tuhan, kematian masyarakat, kematian individu, kematian subjek, kematian penulis, kematian sejarah. Maka Dayat tak bisa lagi seoptimis Toffler atau suami dari Naisbitt-Aburden (atau bapaknya, Ma Bangun) dalam menatap masa depan.
Ya, Dayat sukar percaya pada keyakinan-keyakinan bapaknya - yang suatu ketika ia sebut “pembangunanisme”, dengan nada melecehkan. Ceriwis, kata bapaknya jengkel. Tentu saja Dayat tidak menganggap bapaknya bodoh karena sekian keyakinannya itu. Dayat yakin bahwa mereka berada dalam dua dunia yng berbeda ; bapaknya dalam dunia kepastian rasional-teknologis, dunia modern ; sedang Dayat dalam dunia krisis yang menuntunya selalu kritis, sebuah dunia modern versi lain – dunia modern dengan sekian masalah gawat, justru karena kemodernannya sendiri.
Bagi Mas Bangun, pikiran-pikiran anaknya itu nyeleneh, mengganggu, dan tak perlu. Bangsa ini masih banyak pekerjaan rumahnya, toh? Mas Bangun terganggu karena keyakinan-keyakinannya banyak tergugat oleh pikiran-pikiran nyentrik itu. Ia tak sepenuhnya mengerti, dan tidak bisa menimpali anaknya dengan argument yang memuaskan. Mas Bangun terganggu, maka ia kembali pada keyakinan-keyakinannya semula.
Tapi justru belakangan ia merasa keyakinan-keyakinannya kropos di suatu tempat.
***
Gusti Allah, keluh Mas Bangun di awal Ramadhan 1994, kenapa aku begini gamang? Kubaca Koran-koran, kutonton televisi, kupandang sekeliling, kok bathin ini jadi nyesek?
Suatu malam di awal Ramadhan Mas Bangun bermimpi. Ia sedang berjalan meninggalkan kampungnya yang sudah sayup-sayup di belakang menuju sebuah kota gemerlap yang penuh janji dan harapan. Ia bergegas sampai, tetapi selalu saja ia tersandung-sandung. Ketika ia tertatih-tatih berjalan, tiba-tiba saja di hadapannya berdiri seorang lelaki penuh wibawa yang berwajah teduh. Lelaki teduh itu tersenyum dan bertanya teduh, tapi merasa menusuk dada Mas Bangun ;
“mau kemana?”
Mas Bangun terbangun, deg-degan, dan tak bisa tidur lagi. Di luar adayang beteriak “sahur… sahur”!
sumber : Tuhan Tidak Sembunyi – Hikmat Darmawan
sumber : Tuhan Tidak Sembunyi – Hikmat Darmawan
0 Komentar