Ia adalah sosok pembelajar yang gigih. Sekali kau kabarkan hal baru padanya, dengan segenap keterbatasannya akan ditekuninya. Tentang bagaimana ia sebagai seorang ayah dan suami, saya tidak punya pengetahuan memadai soal itu. Namun, saya menduga kuat ia adalah ayah yang istimewa dan suami yang setia.
Kami berkenalan belasan tahun lalu. Kami memiliki banyak kegandrungan yang sama. Barangkali, karena sebab itu, kami berdua cepat akrab. Perbedaan tentu lebih banyak lagi, saya kira. Dengan perbedaan yang ada di antara kami berdua, berusaha saling memahami adalah pilihan paling bijak dan rasional.
Selain perbedaan dan kegandrungan yang sama, kami juga memiliki kelebihan masing-masing. Kelebihan yang sifatnya given - diberikan langsung oleh Tuhan tanpa sedikit pun diusahakan. Jenis kelebihan ini, oleh beberapa orang, acapkali ditimpali dengan dua kata : "maumi diapa".
Kami saling mengungguli dalam satu jenis kelebihan. Maksudnya, sesuatu yang menjadi kelebihannya atasku, pada saat yang sama adalah kelebihan saya atasnya. Ia, misalnya, memiliki kulit lebih gelap dibanding kulitku. Itu kelebihannya, dan ia mengungguliku. Tapi, sepersekian detik saja saya bisa melakukan serangan balik dan membalikkan keadaan : Kulit saya lebih terang dibanding kulitnya. Hidungnya lebih mancung dari hidungku. Jika tak mau kalah, skor dengan mudah saya samakan : "hidungku lebih pesek dari hidungnya". 😆😆 Mengenai kelebihan, kami bersepakat. Seri! Juara kembar. Sikap kami atas kelebihan masing-masing adalah saling menghormati. Sependek ingatan saya, kami tidak pernah saling melempar pujian atas kelebihan jenis ini. Jenis kelebihan yang unik. Saya pikir begitu.
Mengapa ia saya sebut sebagai pembelajar yang gigih?
Ia sedang duduk di bangku sekolah menengah pertama, saat ia mengendus kabar bahwa ayahnya baru saja membeli sepeda motor baru. Kabar tersebut tak ayal merecoki konsentrasi belajarnya. Hari-hari pasca memperoleh kabar tentang motor baru, ia menjadi lebih mirip orang cacingan saat duduk di bangku kelas. Tidak tenang. Jasadnya di dalam kelas, namun pikirannya berada jauh di kampung menembus dinding kelas dan tembok sekolah. Di pantatnya cacing berdansa dan membuatnya tidak sempat berpikir panjang. Ia lalu mengambil keputusan sangat berani. Demi kuda besi, masa-masa yang seharusnya ia habiskan menuntut ilmu menjadi tumbal. Ia nekat pulang ke rumah ayahnya di Lembah Harapan, ratusan kilometer dari ibu kota Sulawesi Tengah, Palu, dengan ongkos pas-pasan. Paman saya juga tinggal tidak jauh dari Lembah Harapan. Namanya Roma.
"Kenapa kamu mengambil keputusan super nekat itu, bro?", saya bertanya.
Saya berpikir akan mendengar jawaban dan alasan setimpal dengan keputusan super beraninya. Ternyata tidak. Sialan! Alasannya, saya beri tahu, hanya karena ia dikepung dan tersandera oleh imajinasinya tentang motor bebek terbaik di masanya itu. Tentang bagaimana ia menggeber si kuda besi, F1zr, raungannya di atas aspal terus menerus hadir nyaris tanpa jeda, siang-malam tak kunjung enyah dari kepalanya. Karena syahwat menggeber motor yang tak kuasa ia kendalikan, saya menduga, saat berangkat ia lupa mengucapkan salam perpisahan : selamat tinggal bangku sekolah!
Saat bertemu pertama kali, saya unggul jauh darinya dalam mengoperasikan komputer. Saya bahkan meragukan ia bisa mematikan komputer dengan benar kala itu. Hampir pasti ia akan memperlakukan tombol power komputer seperti saklar listrik saat hendak menyalakan dan mematikan lampu. Jadi, perbandingannya kira-kira begini : ia masih berpikir bahwa komputer itu adalah keajaiban. Mungkin menurutnya, keajaiban dan kesakralan komputer setara mukjizat. Atau untuk mendekati dan mengoperasikannya seseorang harus bersih dari najis agar computer tidak terjangkit virus. Sementara saya sudah melampaui anggapan purbanya itu. Tapi ia penasaran setengah mati. Rasa ingin tahunya tak terbendung. Badai rasa ingin tahunya benar-benar mengantam dan menerbangkannya, jauh lebih dahsyat dibanding badai imajinasi yang menerjangnya yang membuatnya meninggalkan bangku sekolah.
Ia pun memulai petualangannya dan berusaha mengenal lebih dekat benda yang ia asumsikan sebagai keajaiban itu. Waktu senggangnya ia manfaatkan untuk belajar. Nama dan istilah-istilah dalam komputer satu persatu ia lahap. Kau tahu, pelajaran yang diterima Adam pertama kali adalah juga nama-nama. Wa 'allama aadamal-asma-a kullaha....
Beruntung ia mendapatkan mentor yang tepat untuk memulai jelajahnya. Mentornya adalah seorang kawan yang memiliki banyak pasokan kesabaran. Ia melesat dari satu pelajaran ke pelajaran yang lain. Kobar semangatnya tak pernah surut. Ia benar-benar menikmati berselancar di atas longsoran salju keingintahuannya. Dan, tak butuh menunggu lama, ia sudah bisa membuat kop surat beserta logo jawatan, setelah sebelumnya sukses menjadikan ketikannya rata kiri-kanan. Sebuah capaian besar berhasil direngkuh. Amazing! Ia merasakan rambutnya berdiri, jantungnya berdegup riang. Sensasi bahagia hadir tanpa proses rekayasa. Selamat, masbro.
Hari, bulan.... tahun pun berganti. Dari sekadar mengetik, menempelkan logo di kop surat dan membuka google, tiba jua masanya ia memalingkan rasa penasaran dan melirik aplikasi edit mengedit gambar dan video.
Di awal-awal perkenalannya dengan aplikasi potoshop, kami pernah belajar bersama. Saya berbagi dengannya apa saja yang saya tahu tentang potoshop, dan ia membalas dengan mengeluarkan korek dari sakunya lalu menunggu saya sodorkan rokok. Rokok memang tidak bisa dimakan, ia hanya berarti ketika ada korek. Dan soal itu ia sangat memahaminya. O, ia kerap mengingatkan bahwa saya pernah berbagi sedikit pengetahuan tentang potoshop kepadanya. Entahlah, mungkin ia berpikir saya pelupa.
Sudah saya bilang di awal, sekali kau kabarkan hal baru padanya, maka dengan segenap keterbatasannya ia akan menekuninya. Tidak butuh waktu lama, ia sudah piawai mengedit poto. Kehebatannya tidak sebatas sanggup mengambil gambar yang terpisah lalu menghimpunnya dalam satu kanvas atau meletakkanmu di depan ka'bah bersama presiden, ia bahkan sanggup menjadikan siapapun meragukan wajahnya sendiri.
Kau tahu apa kuncinya? Ia tak pernah merasa diri lebih pintar dari orang lain. Tidak pernah malu bertanya, mengakui sisi lemah dirinya, dan ia senang meminta masukan. Baginya, bertanya, mengakui kekurangan dan meminta masukan berarti mengetuk pintu-pintu pengetahuan baru yang tersimpan jauh dalam bilik-bilik rahasia di kepala setiap orang. Saat pintu pengetahuan terbuka, koleksi ilmu dan pengetahuan yang dimiliki pun bertambah. Ia selalu memposisikan diri sebagai si bodoh, si fakir ilmu. Karena itulah barangkali mata air keingintahuannya tak pernah mengalami kemarau. Dan, satu lagi, ia gemar berbagi. Ilmu memang akan kian terasah saat kita berbagi. Lebih dari sekadar terasah, dengan berbagi pengetahuan baru juga kerap hadir mengungkapkan dirinya sendiri.
Hasil dari ledakan keingintahuannya kini mencipta kawah besar yang di dalamnya bertumpuk aneka karya. Tak tanggung-tanggung, salah satu karyanya pernah mengantarnya ke podium tertinggi dalam satu kompetisi yang diikutinya atas nama jawatan di mana ia bekerja.
Aku tahu ini akan membuat Robert kikuk setengah mampus. Tak masalah. Selain menari-nari di atas derita orang lain, saya rass kita juga harus membiasakan diri berjingkrak dan berdansa di atas kekikukan seorang kawan. Wkwkwk.
••••
Bodoh itu bukan sesuatu. Seseorang disebut bodoh bukan karena ia memiliki sesuatu yang disebut “kebodohan”. Kebodohan adalah ketiadaan. Seseorang yang bodoh berarti seseorang tersebut dilekati sejenis ketiadaan : ketiadaan ilmu. Sehingga, ketika seseorang tersebut belajar keras dan menjadi banyak tahu, ia sama sekali tidak kehilangan sesuatu dari dirinya yang disebut “kebodohan”. Sekali lagi, kebodohan bukan sesuatu, ia adalah ketiadaan murni. Demikian menurut Murtadha Muthahhari. (Kalau tidak keliru, sih)
Wallahu ‘alam.
0 Komentar