Header

Header

KURANGI ROKOKMU, SAYANG

"Kurangi rokokmu, sayang. Tiga batang saja setiap hari. Saat minum kopi dan sehabis makan", isteri saya menasehati.


Ia duduk memunggungi saya yang sedang menikmati bunyi "kretek" dari ujung Troy yang terbakar dan menghayati penuh kekhusyukan asap yang mengalir ke dalam tenggorokan dan keluar melewati sempitnya dua lubang hidung. Hidung yang ditakdirkan untukku. Untuk bernafas. Ya, untuk bernafas. Dahulu, saya acapkali menarik-nariknya setiap pagi di depan kaca. Atau sehabis mandi dan saat hendak keluar rumah. Berharap agar ia memiliki satu tambahan fungsi : hiasan wajah. Namun, mancung tak dapat diraih, takdir mesti diterima meski harus meminjam ikhlas di sana-sini.

"Apa itu?", tanyaku sambil menunjuk cairan kental di lantai di samping kulkas. Saya tahu itu adalah susu anakku yang tumpah karena lobang pada puting dotnya sudah bertambah besar lagi. Saya hanya berpura-pura bertanya, dan memilih tidak merespon nasehatnya. Kalau sedang ingin merespon, saya kerap berdalih "Ini sudah saya kurangi, sayang. Buktinya, tadi pagi masih 20 batang, sekarang sudah sebelas batang". Kali ini saya memilih tak menanggapi.


"Kamu tidak dengar yang saya bilang?", isteri saya menoleh dan tetap memunggungiku.


"Dengar, lah"


"Kenapa tidak menjawab?"

"Tidak mesti dijawab. Nasehat itu kan memang untuk didengarkan. Paling jauh, dilaksanakan"

"Berkacalah pada bapak", isteri saya mulai membuka catatan tentang bapak yang pernah menjalani ritual setor dahak sekali sepekan selama enam bulan. Kata dokter, bapak mengidap penyakit TBC. Dan satu-satunya tertuduh adalah rokok. Padahal, penyebab penyakit TBC bermacam-macam : diabetes, kanker, kecanduan alkohol, menderita penyakit ginjal stadium lanjut, dan lain-lain.

Saya kembali diam. Nasehat tidak boleh ditimpali. Kali ini, sambil mengenang bapak, saya menyulut sebatang lagi dengan penghayatan yang jauh lebih khusyuk.
Isteri saya sebenarnya paham bahwa merokok memang nikmat. Ia hanya menguji konsistensi saya. 😁

Posting Komentar

0 Komentar