Header

Header

PATOLA

“Eh, kalian pernah ndak melihat kucing memakan anaknya sendiri?” Sambil membuka kemasan deterjen baru, Kauwa membuka percakapan dengan melempar pertanyaan kepada Udin dan Borahima.
‘’Apa?”, Udin dan Borahima menjawab serentak. Wajah keduanya tidak terlalu menunjukkan kekagetan yang serius atas pertanyaan itu.
‘’Iya, kucingku, si Tepu, mungkin tadi subuh, ia menghabisi anaknya sendiri beberapa saat setelah melahirkannya’’, Ma’dang memberi penjelasan. Kauwa mengiyakan.
‘’O, mungkin anaknya Patola’’, cepat-cepat Borahima menduga.
‘’Hmmm. Iya benar! Patola itu!’’, Udin dengan penuh pecaya diri menegaskan dugaan Borahima
‘’Jadi, benar begitu?’’, Kauwa melirik Ma’dang. Ma’dang menangkap lirikan Kauwa, kemudian melempar senyum penuh makna.
‘’Kau pernah melihat kejadian seperti itu juga sebelumnya, Borahima? Udin?”, selidik Kauwa.
“Belum pernah, sih. Tapi hampir semua orang bilang begitu’’, Jawab Borahima
‘’Jadi, belum pernah menyaksikannya sendiri”
‘’Belum!’’
‘’Orang-orang itu?
‘’Ndak tahu. Mungkin pernah!’’
‘’Kenapa percaya?’’
‘’Sesepuh kampung juga bilang begitu’’
‘’Betul, Haji Sahibu juga pernah bilang begitu’’, Udin mencoba membela Borahima dengan membeberkan apa yang dipercayainya sebagai bukti.
‘’Apa kata haji Sahibu?’’
‘’Ya sama, seperti yang dikatakan orang-orang’’
‘’Haji Sahibu pernah melihat langsung?’’
‘’Ndak tahu. Tapi, kepala dusun dan pak P3 juga bilang begitu’’
‘’Haji Raupung juga. Bahkan, kata haji Raupung, kalau malam jumat atau pas shalat jumat kucing patola akan mengeluarkan tanduknya’’, Borahima tampak kian bersemangat memberikan penjelasan dengan bukti-bukti seperti yang disodorkan Udin.
‘’Siapa lagi?”
‘’Papa Saidinang. Ia pernah menunjukkan ke saya’’
‘’Menunjukkan apa?’’
‘’Tanduk kucing’’
‘’Tai kucing?’’
Udin meludah.
‘’Tanduk kucing!’’, Borahima memperjelas.
‘’Kamu percaya itu tanduk kucing?’’
‘’Iya…”
‘’Memangnya kamu pernah melihat tanduk kucing sebelumnya?’’
‘’Ndak pernah’’
‘’Trus, kenapa kamu percaya?’’
‘’Papa Saidinang bilang itu tanduk kucing’’
‘’Kalau ternyata itu bukan tanduk kucing, kamu percaya?’’
‘’Tanduk apa kalau bukan tanduk kucing?’’
‘’Tanduk kambing’’
‘’Ya ndak percayalah. Tanduk kambing besar, ndak sekecil itu’’
‘’Kalau ternyata itu tanduk ayam?’’
‘’Hahahaa, mana ada ayam punya tanduk’’
‘’Kamu pernah lihat kucing bertanduk?’’
‘’Hmm.. Ndak. Belum pernah, sih’’
‘’Jadi, kenapa kamu percaya kalau yang ditunjukkan papa Saidinang ke kamu itu tanduk kucing?’’
Ma’dang yang dari tadi tidak terlalu melibatkan diri dan merasa tidak enak melihat udin dan borahima dicecar pertanyaan menyudutkan, beranjak. Ia mengambil rokoknya yang disimpan di atas batu di balik lipatan kaosnya tepat di belakang Borahima. Borahima masih tampak memikirkan jawaban atas keraguan-keraguan usil Kauwa, sampai Ma’dang mengalihkan perhatiannya. ‘’Rokok..’’, Ma’dang menyalakan rokok lalu menggeser kotak rokoknya ke depan Borahima. Borahima meraih rokok dan menyalakannya. Masih memegang kotak rokok dan korek, asap putih tebal mengalir agak pelan dari dua lubang hidungnya kemudian dari bibirnya yang dimonyongkan melepaskan dengan deras asap bersama aneka pikiran yang tampak rumit. Merasa sudah lebih plong, Borahima meletakkan kembali korek dan rokok di depan Ma’dang. Udin yang semula berharap dan menunggu Borahima menggeser kotak rokok lebih ke depannya, terpaksa beranjak dari tempatnya. ‘’Eh, maaf. Lupa”, kata Borahima. Udin tidak menjawab, hanya sikutan kecil yang didaratkan ke lutut Borahima. Ma’dang menyentuh kotak rokok sebagai sebagai isyarat mempersilakan. Perbincangan mereka pun beralih dari tanduk kucing patola ke persoalan kebun, kambing, kerja bakti di masjid hingga Ramadhan yang sebentar lagi datang. ***




Posting Komentar

0 Komentar