“Eh, kalian pernah ndak melihat kucing memakan anaknya sendiri?” Sambil
membuka kemasan deterjen baru, Kauwa membuka percakapan dengan melempar
pertanyaan kepada Udin dan Borahima.
‘’Apa?”, Udin dan
Borahima menjawab serentak. Wajah keduanya tidak terlalu menunjukkan kekagetan
yang serius atas pertanyaan itu.
‘’Iya, kucingku, si
Tepu, mungkin tadi subuh, ia menghabisi anaknya sendiri beberapa saat setelah
melahirkannya’’, Ma’dang memberi penjelasan. Kauwa mengiyakan.
‘’O, mungkin
anaknya Patola’’, cepat-cepat Borahima menduga.
‘’Hmmm. Iya benar!
Patola itu!’’, Udin dengan penuh pecaya diri menegaskan dugaan Borahima
‘’Jadi, benar
begitu?’’, Kauwa melirik Ma’dang. Ma’dang menangkap lirikan Kauwa, kemudian
melempar senyum penuh makna.
‘’Kau pernah
melihat kejadian seperti itu juga sebelumnya, Borahima? Udin?”, selidik Kauwa.
“Belum pernah, sih.
Tapi hampir semua orang bilang begitu’’, Jawab Borahima
‘’Jadi, belum
pernah menyaksikannya sendiri”
‘’Belum!’’
‘’Orang-orang itu?
‘’Ndak tahu.
Mungkin pernah!’’
‘’Kenapa percaya?’’
‘’Sesepuh kampung
juga bilang begitu’’
‘’Betul, Haji
Sahibu juga pernah bilang begitu’’, Udin mencoba membela Borahima dengan
membeberkan apa yang dipercayainya sebagai bukti.
‘’Apa kata haji
Sahibu?’’
‘’Ya sama, seperti
yang dikatakan orang-orang’’
‘’Haji Sahibu
pernah melihat langsung?’’
‘’Ndak tahu. Tapi,
kepala dusun dan pak P3 juga bilang begitu’’
‘’Haji Raupung
juga. Bahkan, kata haji Raupung, kalau malam jumat atau pas shalat jumat kucing
patola akan mengeluarkan tanduknya’’, Borahima tampak kian bersemangat
memberikan penjelasan dengan bukti-bukti seperti yang disodorkan Udin.
‘’Siapa lagi?”
‘’Papa Saidinang.
Ia pernah menunjukkan ke saya’’
‘’Menunjukkan
apa?’’
‘’Tanduk kucing’’
‘’Tai kucing?’’
Udin meludah.
‘’Tanduk kucing!’’,
Borahima memperjelas.
‘’Kamu percaya itu
tanduk kucing?’’
‘’Iya…”
‘’Memangnya kamu
pernah melihat tanduk kucing sebelumnya?’’
‘’Ndak pernah’’
‘’Trus, kenapa kamu
percaya?’’
‘’Papa Saidinang
bilang itu tanduk kucing’’
‘’Kalau ternyata
itu bukan tanduk kucing, kamu percaya?’’
‘’Tanduk apa kalau
bukan tanduk kucing?’’
‘’Tanduk kambing’’
‘’Ya ndak
percayalah. Tanduk kambing besar, ndak sekecil itu’’
‘’Kalau ternyata
itu tanduk ayam?’’
‘’Hahahaa, mana ada
ayam punya tanduk’’
‘’Kamu pernah lihat
kucing bertanduk?’’
‘’Hmm.. Ndak. Belum
pernah, sih’’
‘’Jadi, kenapa kamu
percaya kalau yang ditunjukkan papa Saidinang ke kamu itu tanduk kucing?’’
Ma’dang yang dari
tadi tidak terlalu melibatkan diri dan merasa tidak enak melihat udin dan
borahima dicecar pertanyaan menyudutkan, beranjak. Ia mengambil rokoknya yang
disimpan di atas batu di balik lipatan kaosnya tepat di belakang Borahima.
Borahima masih tampak memikirkan jawaban atas keraguan-keraguan usil Kauwa,
sampai Ma’dang mengalihkan perhatiannya. ‘’Rokok..’’, Ma’dang menyalakan rokok
lalu menggeser kotak rokoknya ke depan Borahima. Borahima meraih rokok dan
menyalakannya. Masih memegang kotak rokok dan korek, asap putih tebal mengalir
agak pelan dari dua lubang hidungnya kemudian dari bibirnya yang dimonyongkan
melepaskan dengan deras asap bersama aneka pikiran yang tampak rumit. Merasa
sudah lebih plong, Borahima meletakkan kembali korek dan rokok di depan
Ma’dang. Udin yang semula berharap dan menunggu Borahima menggeser kotak rokok
lebih ke depannya, terpaksa beranjak dari tempatnya. ‘’Eh, maaf. Lupa”, kata
Borahima. Udin tidak menjawab, hanya sikutan kecil yang didaratkan ke lutut
Borahima. Ma’dang menyentuh kotak rokok sebagai sebagai isyarat mempersilakan.
Perbincangan mereka pun beralih dari tanduk kucing patola ke persoalan kebun,
kambing, kerja bakti di masjid hingga Ramadhan yang sebentar lagi datang. ***
0 Komentar