Header

Header

LAGI, TENTANG AYAH

Ayah Saat Ziarah ke Makam Sunan Ampel Surabaya

Dulu, ayah sering bercerita tentang seseorang yang tinggal cukup lama di rumahnya. Saat itu saya dan saudara-saudara saya belum lahir. Ayah dan ibu sudah menjadi keluarga baginya. Yang ia makan adalah juga yang dimakan ayah dan ibu. Saat sakit, ayah dan ibu yang merawatnya.

Keluarganya jarang berkunjung. Marten saja, anak lelakinya yang berdomisili di Polewali yang mengunjungi ayahnya. Itupun tidak rutin, kata ayah. Bisa dimaklumi, jarak antara Polewali dan tempat mukim ayah waktu itu, Pumbalanu, tahun 70an, tidak sedekat saat kini. Dulu, jalan menuju rumah ayah masih sangat susah. Untuk bisa sampai ke sana, seseorang harus memiliki dengkul dan nafas yang kuat dan tahan lama. Bukan dengkul yang manja.

Sampai ia meninggal dan dimakamkan, menurut cerita ayah, juga tidak satupun keluarganya yang hadir mengantar menuju kerajaan Tuhan, peristirahatan terakhirnya.

Namanya Ambe. Atau ia dipanggil dengan nama itu. Ia dari Tana Toraja. Dari nama dan asal daerahnya, tak perlu lagi bertanya agamanya apa.

Ambe dimakamkan pada malam hari, selepas magrib. Tentu saja tidak diupacarakan. Tidak menurut tata cara agama dan keyakinan Ambe. Tidak pula secara Islam, pasti. Sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap makhluk tertinggi ciptaan Tuhan, Ambe dimakamkan sebagaimana layaknya manusia dimakamkan.

Ayah bercerita, setelah Ambe meninggal ia sempat beberapa kali ke rumah Marten, anaknya Ambe. "Kalau saya ke Polewali dan Marten tahu, ia pasti menemui saya dan memaksa saya ke rumahnya", kenang ayah. Marten menjamu ayah dengan sangat baik. Marten kala itu sudah menjadi pemuka agama.

"Jangan berpikir bahwa Marten memberiku makanan apapun yang halal baginya. Tidak!. Ia memberi saya yang halal saja bagi saya. Di rumahnya sudah disediakan piring dan gelas khusus untuk tetamu muslim dan disimpan di dalam lemari tersendiri", katanya, memuji sikap anak lelaki Ambe memperlakukan tamu muslimnya.

 

***

 

Bagi Anda yang lahir di tahun 80an, tentu tahu acara Mimbar Agama di TVRI. Acara ini dikemas dalam dua bentuk. Pertama, dalam bentuk ceramah agama, dan kedua, dalam bentuk film. Saya sendiri lebih menyukai versi yang kedua.

Pernah suatu kali, kami menumpang nonton di rumah tetangga. Malam jumat. Ada acara mimbar agama malam itu. Mimbar agama Kristen. Di rumah kami memang tidak ada televisi. Meski ayah seorang pegawai, gajinya tidak cukup untuk mendaratkan televisi di rumah kami. Gajinya kecil dan hanya mampu membeli yang kecil-kecil dan ringan saja, seukuran rokok. Ya, benar, ayah seorang perokok besar. Ayah adalah guru agama paruh waktu, dan penghayat rokok sepanjang masa. 

Ayah duduk di kursi tepat di depan televisi. Sangat dekat, hanya berjarak kurang lebih satu meter dari meja bersarung batik tempat duduk televisi. Sementara itu, ibu dan tiga adik saya sudah tertidur. Ayah tampak sangat serius menonton. Seserius menikmati tinju, cabang olah raga paling digemarinya. Ayah, sedemikian sukanya sama tinju, ia rela tidak tidur sampai jam dua dini hari hanya untuk menuntaskan beberapa pertarungan tinju amatir. Yah, tinju pakai helm yang sangat jarang berdarah-darah itu.

Ayah menyimak dengan baik setiap adegan dan dialog yang disuguhkan. Meresapi dan merenungkan pesan yang disampaikan film tersebut. Sampai film tersebut selesai ayah tidak pernah sekalipun beranjak dari kursinya. Pokusnya ke layar televisi barangkali hanya terjeda saat ia menyulut rokok, dan saat mendepak atau menyingkirkan percikan api rokok yang jatuh ke sarungnya dengan punggung jemarinya. 

Beberapa saat setelah film usai, ayah tampak menikmati rokok yang tersisa beberapa hisapan lagi. Asap tebal penghabisan melayang dan menabrak langit-langit rumah, ayah berdiri dan berucap: Kasihan orang-orang ini. Mereka adalah orang-orang baik.

Kata-kata pamungkas tersebut tak ayal menghadirkan banyak suatu dalam kepala saya. Kata-kata tersebut merupakan kesimpulan teramat singkat atas film yang baru saja ia tuntaskan. Singkat, namun mengandung makna yang boleh jadi tidak sependek kalimat yang mewakilinya. Sebuah pengakuan atas nilai-nilai kebaikan universal yang terdapat di setiap agama dan kepercayaan. Bahwa semua agama mengajarkan dan membimbing manusia kepada kebaikan adalah benar belaka, meskipun jalan keselamatan yang ditempuh setiap agama berbeda-beda. Kata "kasihan" menegaskan bahwa sebagai seorang muslim, ayah tetap memposisikan agama Islam pada tingkatan tertinggi piramida kebenaran, meyakininya sebagai jalan keselamatan paling benar di antara banyak jalan keselamatan. Singkatnya, ayah seolah ingin mengatakan, orang-orang ini baik tapi sayang tidak berislam. Kebaikan yang mereka lakukan pada akhirnya akan serupa debu yang diterbangkan angin karena tidak beriman kepada Allah aw. dan kepada kenabian Muhammad saw. Intinya, kalau mau selamat, mesti beriman dulu. Iman Islam. Tentu saja ayah punya dalil soal itu dan tidak sembarang saja main klaim. Sebagaimana dalam Katolik ada 'extra exlussiam nulla salux', outside christianity not salvation di Kristen, dan di Islam ada 'innaddiina 'indallaahil islaam'.

Adik-adik saya cepat-cepat menyeka bibir mereka yang belepotan waktu saya bangunkan. Air liur yang tergenang di lantai buru-buru saya lenyapkan menggunakan kaki. Ibu membangunkan tuan rumah. Setelah merapikan kembali bantal, ibu minta pamit.

Bertahun-tahun berlalu, adik-adik saya sudah beranjak dari masa kanaknya dan mulai bergaya seenaknya, dan tentu saja sekenanya.

Pada satu kesempatan, salah seorang adikku membeli sandal jepit dan mengukir simbol agama tertentu di atas sandal barunya itu. Entah maksudnya apa. Ayah mendapati sandal dengan simbol yang disucikan oleh pengikut Isa putra maryam as. terukir di atasnya di depan tangga. Darahnya langsung naik, meletup-letup di atas ubun-ubun. Letupan amarah itu dengan cepat menjalari seluruh wajahnya. Merah padam. Amarahnya meledak. Ayah mengambil parang yang biasa digunakan memangkas tangkai-tangkai coklat di kebun belakang rumah. Dipanggilnya adikku. Suara keras menggertak itu menampar kuping adikku laksana gelegar sangkakala malaikat.

Di hadapan adikku, ayah menunjukkan sesuatu yang baru sama sekali : cara ajaib menandai sandal. 

"Bukan begini caranya menandai sandal. Lihat! Begini..." Bibirnya menegang, kedua alisnya nyaris bertemu. Ayah benar-benar tidak bisa membendung emosi. Sandal jepang/swallow itu kemudian dicincang menjadi potongan-potongan kecil. Adikku yang ketakutan tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu, menyampaikan pembelaan di saat seperti itu sungguh bukan waktu yang tepat. Itu sama saja menyiramkan bensin pada api yang sedang berkobar-kobar.

"Jangan pindah! Jangan pindah! Tetap di situ!" Perintah keras ayah membenamkan kedua kaki adikku ke bumi. Terpaku. Potongan-potongan sandal tersebut kemudian beterbangan. Tidak boleh ditangkis, hanya boleh menghindar. Akip alias Non Sens yang terkenal menguasai jurus menyedot api dari mulut naga dan seluruh kekuatan naga juga ada di TKP saat peristiwa horor di siang hari itu terjadi. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa berharap air liurnya yang tetiba kering masih tersisa sedikit saja untuk disedot demi dahaga yang mendadak mencekiknya. Kehebatannya selama ini menjadi benar-benar nonsens saat itu.

Ayah marah karena anaknya tidak belajar menghargai simbol agama yang disucikan.

  

wallahu ' alam.

bibarakatil fatiha.

 

Posting Komentar

0 Komentar