Header

Header

ASYURA DI MANDAR

Dao teke-teke', muharrangi!
Di mandar, muharram dimaknai sebagai bulan keramat. Bulan yang di kiri kanannya bertabur marabahaya. Muharram adalah bulan larangan, banyak hal pada bulan ini menjadi tabu untuk dilaksanakan, termasuk hajatan besar seperti perkawinan. 
Anak-anak, pada bulan ini, dilarang memanjat pohon, bermain benda tajam. Muharram adalah duka, muharram adalah tetes darah.
Kelapa yang sudah memasuki.masa panen biasanya tertunda di bulan ini. Demi alasan keselamatan, tukang panjat kelapa memilih meliburkan diri. Namun, bagi bocah-bocah tak manja atau tidak merasa pantas bermanja, bulan keramat ini, di satu sisi, adalah anugerah karena buah kelapa yang sudah seharusnya dipanen akan jatuh sendiri. Jatuhnya menggelinding ke dalam dekapannya lalu dijual kepada pedagang.
Di hari asyura, 10 muharram, warga berbondong-bondong membawa makanan ke masjid setelah sebelumnya ada ritual marroma muharrang/menyambut muharram. Dipimpin oleh imam atau andongguru, doa-doa dilangitkan seusai shalat magrib. Magrib ramai, riuh oleh kegembiraan anak-anak yang kerap berebut posisi agar bisa berhadapan langsung dengan hidangan ule-ule' tarreang. Ule-ule' bue/kacang hijau dan beras, mungkin karena sudah terlalu akrab, keduanya sepi dari sengitnya pergolakan anak-anak.
Perjamuan asyura memang selalu menghidangkan beragam ule-ule'. Ada yang dari kacang hijau, tarreang (jawawut) dan juga beras. Semuanya menggunakan gula merah sebagai pemanis. Orang tua bilang bahwa gula merah adalah simbol dari darah.
Darah apa, darah siapa? Jika riwayat menyebutkan bahwa Ibrahim diselamatkan dari unggunan api yang dikobarkan Namrud, Yunus dibebaskan dari perut hiu, Musa dan pengikutnya diselamatkan dari firaun dan bala tentaranya yang dungu. Dan bukankah, sebagaimana diimani, yang terbunuh di tiang salib adalah orang yang diserupakan dengan putra sang perawan suci Maryam, bukan Isa al-masih?
Bersambung...

Posting Komentar

0 Komentar