Primordialisme? Bukan, bukan itu.. Ini cerita tentang kesalahpahaman.
Hubungan orang Mandar dan orang Bugis pernah tidak harmonis di masa lampau. Masa dimana keduanya masih terpetakan dalam kerajaan-kerajaan kecil Nusantara. Orang-orang Bugis dari kerajaan Bone di bawah pimpinan Aru Palakka pernah menyerang Mandar. Darah tumpah dan mengalir dimana-mana. Perkampungan dibakar. Meskipun akhirnya, pihak agresor berhasil didesak mundur dari tanah Mandar. Penyerangan itu dimulai sejak Gowa jatuh ke tangan kerajaan Bone pimpinan Aru Palakka. Sebelumnya, Bone meminta bantuan ke kerajaan Mandar untuk bersatu bersama Belanda menyerang kerajaan Gowa. Mandar menolak karena telah membangun kesepakatan dengan kerajaan Gowa.
Latar belakang hubungan tidak harmonis yang datang dari masa lalu tersebut terekam dalam memori dan menjadi ingatan kolektif generasi Mandar berikutnya. Ingatan disini, tentu saja, bukan dalam pengertian merawat dendam dan kebencian serta sikap mencurigai. Banyaknya perkawinan silang antara dua suku ini menunjukkan bahwa yang lalu biar berlalu, mari menggapai masa depan dengan penuh cinta dan keharmonisan. Dari perkawinan silang ini kemudian lahirlah anak yang dalam dirinya terdapat harmonisasi Bugis dan Mandar. Makhluk spektakuler yang lahir dari cinta anak manusia yang berasal dari dua kerajaan yang pernah berseteru. Bugis dan Mandar menjadi satu kesatuan dalam dirinya yang tidak bisa dipisahkan : BUSMAN.
Mandar dan Bugis merupakan dua etnis yang mendiami pulau Sulawesi. Suku Bugis berada di bagian selatan Sulawesi dan Suku Mandar mendiami bagian barat Sulawesi. Keduanya, apabila dirujuk jauh ke belakang, merupakan generasi dari nenek moyang sama. Setidak-tidaknya berasal dari dua sosok manusia pertama, Adam dan Hawa. :D.
Ada, mungkin beberapa, anekdot yang beredar di Mandar (di Tana Ogi juga mungkin ada. Kalau ada tolong dishare di komentar) mengenai bagaimana orang Mandar memposisikan dirinya di hadapan orang Bugis. Anekdot tersebut, boleh jadi merupakan pengaruh dari hubungan di masa lampau yang kurang harmonis itu. Atau, boleh jadi juga merupakan cara orang Mandar mencoba menertawakan dirinya yang sama sekali buta tentang bahasa di luar bahasanya sendiri dan merasa bahwa satu-satunya bahasa yang digunakan manusia adalah bahasa Mandar.
Karena berasal dari nenek moyang dan latar belakang budaya yang sama, maka bahasa yang digunakan oleh orang Mandar memiliki banyak kemiripan dan kesamaan dengan bahasa yang digunakan orang Bugis.Bahkan beberapa kata dalam bahasa Mandar merupakan hasil adopsi dari bahasa Bugis.
Ada beberapa diksi dalam bahasa Mandar yang sama persis dengan bahasa Bugis namun artinya sama sekali berbeda. Beda dalam kesamaan seperti inilah yang kemudian secara kreatif oleh orang Mandar, entah siapa pencetusnya, dijadikan anekdot dan kisah-kisah yang membuat haha hihi.
Ini adalah salah satu anekdot dari (mungkin) sekian banyak anekdot yang beredar.
Baco (Bugis)
Kaco (Mandar)
Dalam sebuah perjalanan yang menempuh rute mendaki, Si Baco yang gesit berjalan di depan Si Kaco yang lamban dan nyaris tertatih. Mereka adalah kawan. Karena melihat kawannya, si Kaco, yang lamban dan kerap tertinggal jauh, maka si Baco memotivasi kawannya dengan nada sedikit kesal. "sitta' ki ce'de' (cepat dikit, dong)". Si Kaco yang kelelahan merespon dengan nada emosi : "iyyyaaa, cowa-cowa dze' sitta' a.... tea'!" (ya, coba saja kalau berani). Setelah beberapa menit kemudian, si Baco mengatakan lagi hal yang sama kepada si Kaco. Emosi si Kaco kian tersulut hingga emosinya tidak mampu ia bendung, dan.... "buukkk", si Baco dihadiahi bogem mentah. Si Baco heran dan protes kepada kawannya, "Magai namulappa' ki? (kenapa saya dipukul/ditempeleng?)". Si Kaco menjawab : "iyyo, lappa'i tia dolo, purapai anna kambang" (iya, memar dulu. Tunggulah, setelah itu pasti benjol)
Tampak mereka berdua sangat komunikatif, namun yang terjadi sebenarnya adalah yang satu lari ke barat dan yang lainnya terbang ke timur. Keduanya tidak ketemu. Akibatnya terjadi kesalahpahaman di antara keduanya, sampai akhirnya terlibat kontak fisik.
Catatan :
Kata "Sitta'"dalam bahasa Mandar bermakna menarik dengan keras yang dilakukan secepat mungkin agar sesuatu yang melekat atau terikat kepada sesuatu bisa dengan mudah terlepas. Sementara dalam bahasa Bugis kata tersebut berarti : Cepat.
Sementara kata Lappa' dalam bahasa Mandar berarti merah kehitam-hitaman pada kulit karena bekas pukulan. Dalam bahasa Bugis sendiri, kata Lappa' berarti memukul/tempeleng.
Hubungan orang Mandar dan orang Bugis pernah tidak harmonis di masa lampau. Masa dimana keduanya masih terpetakan dalam kerajaan-kerajaan kecil Nusantara. Orang-orang Bugis dari kerajaan Bone di bawah pimpinan Aru Palakka pernah menyerang Mandar. Darah tumpah dan mengalir dimana-mana. Perkampungan dibakar. Meskipun akhirnya, pihak agresor berhasil didesak mundur dari tanah Mandar. Penyerangan itu dimulai sejak Gowa jatuh ke tangan kerajaan Bone pimpinan Aru Palakka. Sebelumnya, Bone meminta bantuan ke kerajaan Mandar untuk bersatu bersama Belanda menyerang kerajaan Gowa. Mandar menolak karena telah membangun kesepakatan dengan kerajaan Gowa.
Latar belakang hubungan tidak harmonis yang datang dari masa lalu tersebut terekam dalam memori dan menjadi ingatan kolektif generasi Mandar berikutnya. Ingatan disini, tentu saja, bukan dalam pengertian merawat dendam dan kebencian serta sikap mencurigai. Banyaknya perkawinan silang antara dua suku ini menunjukkan bahwa yang lalu biar berlalu, mari menggapai masa depan dengan penuh cinta dan keharmonisan. Dari perkawinan silang ini kemudian lahirlah anak yang dalam dirinya terdapat harmonisasi Bugis dan Mandar. Makhluk spektakuler yang lahir dari cinta anak manusia yang berasal dari dua kerajaan yang pernah berseteru. Bugis dan Mandar menjadi satu kesatuan dalam dirinya yang tidak bisa dipisahkan : BUSMAN.
Mandar dan Bugis merupakan dua etnis yang mendiami pulau Sulawesi. Suku Bugis berada di bagian selatan Sulawesi dan Suku Mandar mendiami bagian barat Sulawesi. Keduanya, apabila dirujuk jauh ke belakang, merupakan generasi dari nenek moyang sama. Setidak-tidaknya berasal dari dua sosok manusia pertama, Adam dan Hawa. :D.
Ada, mungkin beberapa, anekdot yang beredar di Mandar (di Tana Ogi juga mungkin ada. Kalau ada tolong dishare di komentar) mengenai bagaimana orang Mandar memposisikan dirinya di hadapan orang Bugis. Anekdot tersebut, boleh jadi merupakan pengaruh dari hubungan di masa lampau yang kurang harmonis itu. Atau, boleh jadi juga merupakan cara orang Mandar mencoba menertawakan dirinya yang sama sekali buta tentang bahasa di luar bahasanya sendiri dan merasa bahwa satu-satunya bahasa yang digunakan manusia adalah bahasa Mandar.
Karena berasal dari nenek moyang dan latar belakang budaya yang sama, maka bahasa yang digunakan oleh orang Mandar memiliki banyak kemiripan dan kesamaan dengan bahasa yang digunakan orang Bugis.Bahkan beberapa kata dalam bahasa Mandar merupakan hasil adopsi dari bahasa Bugis.
Ada beberapa diksi dalam bahasa Mandar yang sama persis dengan bahasa Bugis namun artinya sama sekali berbeda. Beda dalam kesamaan seperti inilah yang kemudian secara kreatif oleh orang Mandar, entah siapa pencetusnya, dijadikan anekdot dan kisah-kisah yang membuat haha hihi.
Ini adalah salah satu anekdot dari (mungkin) sekian banyak anekdot yang beredar.
Baco (Bugis)
Kaco (Mandar)
Dalam sebuah perjalanan yang menempuh rute mendaki, Si Baco yang gesit berjalan di depan Si Kaco yang lamban dan nyaris tertatih. Mereka adalah kawan. Karena melihat kawannya, si Kaco, yang lamban dan kerap tertinggal jauh, maka si Baco memotivasi kawannya dengan nada sedikit kesal. "sitta' ki ce'de' (cepat dikit, dong)". Si Kaco yang kelelahan merespon dengan nada emosi : "iyyyaaa, cowa-cowa dze' sitta' a.... tea'!" (ya, coba saja kalau berani). Setelah beberapa menit kemudian, si Baco mengatakan lagi hal yang sama kepada si Kaco. Emosi si Kaco kian tersulut hingga emosinya tidak mampu ia bendung, dan.... "buukkk", si Baco dihadiahi bogem mentah. Si Baco heran dan protes kepada kawannya, "Magai namulappa' ki? (kenapa saya dipukul/ditempeleng?)". Si Kaco menjawab : "iyyo, lappa'i tia dolo, purapai anna kambang" (iya, memar dulu. Tunggulah, setelah itu pasti benjol)
Tampak mereka berdua sangat komunikatif, namun yang terjadi sebenarnya adalah yang satu lari ke barat dan yang lainnya terbang ke timur. Keduanya tidak ketemu. Akibatnya terjadi kesalahpahaman di antara keduanya, sampai akhirnya terlibat kontak fisik.
Catatan :
Kata "Sitta'"dalam bahasa Mandar bermakna menarik dengan keras yang dilakukan secepat mungkin agar sesuatu yang melekat atau terikat kepada sesuatu bisa dengan mudah terlepas. Sementara dalam bahasa Bugis kata tersebut berarti : Cepat.
Sementara kata Lappa' dalam bahasa Mandar berarti merah kehitam-hitaman pada kulit karena bekas pukulan. Dalam bahasa Bugis sendiri, kata Lappa' berarti memukul/tempeleng.
0 Komentar