"Allahumma Shalli 'alaa Muhammad Wa Aali Muhammad"
Guru saya pernah
bercerita tentang kyai (lupa namanya) yang nyaris setiap malamnya adalah
keberuntungan : bertemu Baginda Nabi Muhammad Saw. Seburuk ingatan saya, guru
saya juga tidak menyebut sumber kisah tersebut. Kyai ini, tentu saja, berada
pada maqam spritual sangat tinggi. Kesalehan ritual dan sosialnya tidak
timpang. Keduanya berjalan beriringan. Beliau adalah panutan dan teladan yang
baik.
Suatu subuh yang
udaranya menikam-nikam sampai ke tulang, sang kyai dikejutkan oleh seonggok
tubuh tergeletak pas di depan pintu masjid. Aroma anggur dari tubuh pemuda itu
begitu jelas, lantang menusuk hidung sang kyai. Seorang pemuda usai menenggak
anggur berlebihan dari cawan maksiat, terkapar tak bergerak dengan posisi wajah
mencium bumi.
Pemuda tersebut adalah
sosok yang sangat asing di mata sang kyai. Disentuh dan dibalikkannya badan pemuda
naas itu dengan ujung jemari dan punggung kakinya. Sang kyai berusaha
mengenalinya. Mengingat-ingat kapan dan dimana ia pernah bersua. Namun, ingatan
itu tak jua kunjung hadir. Kyai belum pernah melihat pemuda itu sebelumnya.
Tanpa melakukan apapun
untuk pemuda mabuk itu, kyai beranjak pergi. Pemuda yang tertawan dalam
lingkaran ketidaksadaran itu ditinggalkan tanpa meninggalkan sesuatupun selain
selimut udara subuh yang membekukan darah. Apa mungkin karena pemuda itu
seorang pelaku maksiat sampai kyai kehilangan empati, sampai menyentuhnya
dengan tangan lembutnya pun tidak sudi? Apakah maqam spritualnya akan terjun
bebas jika memperlakukannya sebagai layaknya manusia pada umumnya? Entahlah.
Jika malam-malam
sebelumnya wajah teduh Nabi Saw. selalu datang menyambanginya di dalam mimpi,
maka malam-malam setelah peristiwa subuh itu, bagi kyai, tidak lagi merupakan
malam keberuntungan. Kini, malam-malam kyai adalah keresahan dan kegelisahan
serta dipenuhi tanda tanya besar. Betapa sedih sang kyai, doa-doanya seakan tidak
lagi disambut Al-Musthafa.
Tidak tahan didera rasa
rindu tak terperi pada Muhammad Al-Musthafa, sang kyai akhirnya menemui
sahabatnya yang juga kyai dengan spritualitas yang juga langitan. Ditumpahkan segala
prahara hatinya di hadapan sahabatnya. Bersamaan pula matanya menganak
sungai, mengalir membasahi janggotnya yang keperakan.
Tidak lama kemudian,
sahabatnya angkat bicara. Ditanyakan padanya peristiwa apa yang telah
dialaminya sebelum muncul prahara yang menderanya. Peristiwa paling anyar,
tentu saja. Sebuah pertanyaan yang
sahabatnya sendiri sebenarnya sudah tahu persis jawabannya. Sang kyai pun
menceritakan peristiwa subuh kepada sahabatnya secara detail. “Itulah
penyebabnya mengapa Nabi Saw. tidak lagi berkenan menemuimu”, jelas sahabatnya
setelah mendengar pengakuan sang kyai. “Kamu tahu siapa pemuda itu?” Tanya
sahabatnya. Belum sempat sang kyai menjawab, sahabatnya sudah menjawab
pertanyaan yang terasa seperti batu yang dihantamkan dengan sangat keras ke
wajah sang kyai. “Ia seorang habib/sayyid. Pemuda itu adalah dzurriyat Nabi
Saw. Dan, kamu, karena menganggapnya kotor karena bau minuman yang memabukkan dari
tubuhnya, kamu menyentuh dan membalikkan badannya dengan ujung kakimu”, lanjut
sahabatnya.
Sang kyai pun kembali
menangis. Oleh sahabatnya, ia disarankan agar menemui pemuda tersebut untuk
meminta maaf, sekaligus meminta maaf kepada Rasulullah Muhammad Saw.
Singkat cerita, sang
kyai berhasil menemui pemuda tersebut dan meminta maaf karena telah
memperlakukannya dengan perlakuan yang tidak pantas. Malam-malam sang kyai,
setelah meminta maaf, kembali menjadi malam yang penuh keberuntungan.
Guru saya memberi kesimpulan bahwa karena perlakuan tidak layak sang kyai terhadap cucu Nabi Saw. itulah, sehingga sang kyai tidak lagi ditemui oleh Nabi dalam tidurnya setelah peristiwa tersebut. Beliu tidak lupa mengingatkan bahwa adab kepada seorang habib/sayyid yang merupakan dzurriyat Nabi Saw. haruslah tetap dijaga. Seorang dzurriyat Nabi, sejahat apapun, semaksiat apapun pekerjaannya pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan setelah melakukan pertobatan.
Guru saya memberi kesimpulan bahwa karena perlakuan tidak layak sang kyai terhadap cucu Nabi Saw. itulah, sehingga sang kyai tidak lagi ditemui oleh Nabi dalam tidurnya setelah peristiwa tersebut. Beliu tidak lupa mengingatkan bahwa adab kepada seorang habib/sayyid yang merupakan dzurriyat Nabi Saw. haruslah tetap dijaga. Seorang dzurriyat Nabi, sejahat apapun, semaksiat apapun pekerjaannya pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan setelah melakukan pertobatan.
Tanpa sedikitpun
mengurangi rasa hormat pada guru saya dan tanpa bermaksud menyelisihi
kesimpulannya, diam-diam saya menyimpulkan berbeda atau semacam kesimpulan
tambahan. Bahwa siapapun pada saat itu yang tergeletak di depan pintu masjid,
sebagaimana kisah kyai di atas, seorang dzurriyat Nabi atau rakyat jelata, jika
sang kyai memperlakukannya tidak manusiawi seperti itu, maka sangat boleh jadi
Nabi Saw. tetap akan menegur sang kyai dengan tidak menyambut dan menyahuti
doa-doanya yang menjadikan malam-malamnya yang penuh keberuntungan berubah menjadi
malam-malam penuh duka nestapa.
Dalam @fileCaknur : Keislaman Yang Hanif, Cak
Nur menulis : Giovanni mengatakan, dalam salah satu buku orang Saracen, seorang
yang bernama Abdullah ditanya oleh seorang muridnya, “Wahai Abdullah, apakah di
muka bumi ini yang harus paling kita hormati dan harus kita pandang sebagai
mukjizat Tuhan?” Abdullah menjawab, “Manusia. Manusia adalah mukjizat Tuhan
karena dia adalah ciptaan Tuhan yang tertinggi. Laqad khlaqnal insaana fii ahsani taqwiim, sungguh telah Kami
ciptakan manusia itu sebagai makhluk yang paling tinggi”. Kemudian Giovanni
mengatakan, “Ini sejajar dengan yang kita warisi dari Yunani kuno”.
Wallahu ‘alam bishshawaab.
0 Komentar