"Allahumma Shalli 'Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad"
Gereja, Masjid, Pura, Wihara dan tempat-tempat ibadah yang lain adalah tidak ada beda dengan bangunan-bangunan seperti rumah makan, gedung-gedung pertemuan, kantor, tempat perkuliahan, perpustakaan bahkan rumah bordil. Yang membuat berbeda dan membuat rumah ibadah menjadi suci hanya karena bangunan-bangunan tersebut adalah tempat mengenali dan melakonkan diri sebagai kerdil di hadapan-Nya, tempat memuja, mengagungkan dan menyembah Tuhan. Disebut suci bukan karena bangunannya yang suci, bukan karena hanya boleh dihuni oleh orang-orang suci dan tak steril dari segala bentuk kesalahan, bahkan rumah ibadah kadang disesaki oleh segerombol pendosa yang dating untuk meminta ampunan-Nya, meminta dosanya diputihkan. Sejatinya, rumah ibadah terbuka untuk siapa saja, apapun warna kulitnya, seperti apapun strata sosialnya, seterpuruk apapun keadaannya, sehitam apapun dosa dan kesalahannya, secompang camping apapun pakaiannya, semua dipersilahkan dengan sambutan yang sama karena di rumah ibadah yang ditemui bukan birokrat yang kadang gemar berbuat "kalau bisa susah, kenapa harus dipermudah", tapi yang ditemui adalah Tuhan yang sama sekali tak mengenal birokrasi, Tuhan yang selalu open house. Masjid (tempat saya beribadah), siapapun yang hendak menemui Tuhan disana, rela atau tidak rela harus melepas segala bentuk kepongahan, mengakui bahwa betapa kerdilnya diri, rukuk, sujud meratakan kening dengan tanah, mensejajarkan kepala dengan kaki, ALLAAHU AKBAR..
Selalu terdeteksi jejak-jejak khusyu', nuansa keteduhan dan rasa tak terlukiskan di guratan wajah mereka, wajah yang sejuk dan benderang cahaya wudhu sesaat setelah mengucap assalaamu 'alaikum warahmatullaahi wa barakaatuhu.
Beberapa saat kemudian, setelah dengan gerakan yang sama, bacaan yang sama dan harap yang aneka di sujud terakhir, bergegaslah mereka pada urusan dunia masing-masing, kembali kepada rutinitas duniawi dengan segala bentuk jeratan-jeratan pesonanya, kembali pada rutinitas yang disesaki kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Rutinitas duniawi yang menjadikan mereka (kita) menjadi diri-diri yang individualis, tak mau peduli keadaan yang terjadi di sekitar, di kiri kanan, kontras dengan gerakan simbolik menoleh ke kanan - kiri sesaat setelah mengakhiri dialog dan pertemuan dengan Rabb al- 'alamiin.
Maka tergelincirlah kita yang tergelincir, korupsilah yang korup, mencuri, mencemooh, memaki dan menghujat.
Tuhan Maha Mafhum atas ketidak tahuan hamba-Nya, bahkan ketika hambanya sengaja melakukan kesalahan. ;)
Mamuju, 5 Mei 2012.
0 Komentar