Kadang,
secara tidak cermat, nasehat ditumpahkan begitu saja di saat dan pada tempat
yang tidak tepat, sehingga yang disasar tidak merespon dan bersikap tidak acuh.
Jika yang disasar kebetulan sedang berada di titik terendah kesabaran, nasehat,
sebaik apapun, berpotensi mengalami nasib buruk. Nasehat yang dituang secara
sembrono akan meluber kemana-mana, wadah yang hendak diisi tidak akan menyimpan
apapun, tetap kosong. Namun begitu, sekali waktu, barangkali, ada baiknya kita
bersedia menampung banyak sekali nasehat dari orang yang sangat mencintai dan menyayangi
kita. Sesembrono dan seboros apapun nasehat itu dialirkan. Kita maklumi,
pemberi nasehat mungkin tak bijak, tapi maksudnya baik. Itu saja prinsipnya.
Poto : https://www.dream.co.id/ |
Sepulang
dari masjid, Saoda menyimak kalimat demi kalimat neneknya sepanjang jalan dari
masjid menuju rumah. Dari mulutnya berhamburan segala rupa peringatan nyaris
tanpa jeda. Perempuan tua ringkih yang ketika berjalan separoh tubuhnya
memunggungi langit itu memang sangat menyayangi dan mencintai cucu semata
wayangnya. Baginya, Saoda adalah anaknya sendiri. Gadis itu, di matanya, adalah
jelmaan ibunya. Ikal rambutnya, hidung dan dahinya yang landai bak hamparan
perbukitan hijau dipenuhi aneka warna bunga-bunga. Ia persis seperti ibunya.
Pada setiap kesempatan ia harus memastikan bahwa Saoda dalam keadaan baik-baik
saja dan tidak melakukan hal-hal yang pantang dilakukan seorang anak perempuan
yang sebentar lagi menjejak usia emas.
Ia
sungguh berharap cucunya kelak bisa merengkuh segala asa dan cita. Perempuan
tua itu tidak ingin cucu satu-satunya ditimpa nasib sama dengan almarhum
ibunya. Karena itulah, di setiap kesempatan, di depan Saoda, ia akan selalu
mengulang-ulang segala rupa nasehat juga larangan yang Saoda sendiri sudah tidak
mau mendengarnya.
Pengulangan
nasehat tanpa jeda dan panjang itu, Saoda, dengan kesal, menyebut kebiasaan
neneknya itu sebagai wiridan yang bisa membuatnya mendadak diserang vertigo. Ia
harus pintar dan lihai menghadapi wiridan itu untuk menghindari berurusan
dengan mantri desa yang akan menyuapinya aneka butiran kimia.
Suatu
waktu menjelang petang, perempuan tua itu memergoki Saoda sedang memasak sambil
bernyanyi-nyayi. Dapur penuh asap dari kayu yang terbakar, bagi gadis seumuran
Saoda, agar menjadi tongkrongan yang tidak menjenuhkan, salah satu cara
menyiasatinya adalah bernyanyi hingga semua masakannya matang.
“kamu
mau jadi perawan tua, ya?!”, bentaknya. Tidak ada sebaris pun penjelasan. Matanya
melotot. Wajah tuanya yang keriput semakin terlihat tidak menarik.
Saoda
belum sempat berkata apa-apa, perempuan tua itu sudah mengusir cucunya dan
mengambil alih posisi Saoda. Bibirnya kembali memulai wirid, komat-kamit tiada henti.
Namun, kali ini yang dihamburkan adalah kekesalan dan amarah atas tingkah laku
cucunya yang menurutnya membahayakan masa depannya dalam urusan asmara.
Menyanyi di dapur bagi anak perempuan diyakini sebagai lelaku memanggil-manggil
dan merencanakan petaka kesepian di masa depan sejak dini . Hampir-hampir wajah
dan rambut peraknya tersiram bunga api karena terlampau keras dan kasar
mendorong kayu ke dalam tungku yang membara.
Suasana
dapur yang sebelumnya terasa hangat, semenjak nyanyian itu terendus kuping si
nenek dan dinterupsi serta dilaknat habis-habisan, dapur tetiba bersuhu neraka.
Saoda yang mulai gerah bergegas beranjak dari dapur meninggalkan penjaga neraka
itu sendirian. Sambil meneruskan nyanyiannya, Saoda meraih beberapa pakaian
kotor yang bergelantung di dinding kamarnya lalu dimasukkan ke dalam ember anti
pecah.
“Apa
sih yang kau andalkan, anak ingusan? Merasa jago, merasa diri hebat. Lancang
benar, berani sekali bernyanyi saat sedang memasak. Jadi perawan tua, tau rasa
kamu! Sudah diperingatkan berkali-kali, tapi masih saja tidak peduli. Kamu itu
tidak tahu apa-apa, tapi pongah dan tak mau peduli pada larangan orang tua.
Cuih..!!”. wiridan nenek itu ditutup dengan semburan ludah.
Saoda
menuju sumur di samping masjid. Bilik mandinya jauh dari layak untuk perempuan
terhindar dari kerlingan mata lelaki. Tak beratap dan dindingnya setinggi perut
orang dewasa. Itupun, di dua sisinya hanya ditutup kain sarung khusus dipakai
mandi dan sudah dipensiunkan pemiliknya, kemudian diwakafkan sebagai dinding
bilik mandi. Pada dua sisi lainnya, sedikit agak lumayan, ditutup dengan seng
dan sebagian papan. Saoda rupanya kesal juga pada kata-kata neneknya. Terlalu
berlebihan menurutnya.
Huh!
Dasar nenek-nenek!”, makinya.
Sekesal-kesalnya
Saoda pada neneknya, tak pernah terlintas dalam benaknya untuk membantah atau
sekedar memotong kalimat sang nenek. Ia sangat menyayangi neneknya. Ia sadar,
perempuan yang suka mengomel, marah-marah, banyak larangan dan pantangan tak
masuk akal itu adalah satu-satunya yang ia miliki. Demikian pula perempuan tua
itu, ia tidak pernah benar-benar marah. Semua yang dilakukannya semata-mata
karena cinta dan sayang kepada cucu semata wayangnya.
Selain
larangan menyanyi di dapur serta berderet larangan lainnya, satu hal yang
sangat diharamkan oleh si nenek kepada cucunya adalah duduk di teras selepas
isya pada malam selasa. Duduk di teras pada malam selasa merupakan puncak
segala larangan. Letaknya berada di pucuk piramida yang disangga oleh banyak
sekali larangan yang juga tidak ringan dan jauh dari enteng.
Status
larangan duduk di teras pada malam selasa tidak setara makan babi atau makan
daging yang disembelih tanpa menyebut nama Tuhan. Juga melampaui kedurhakaan
terhadap orang tua, apalagi sekedar memasuki rumah ibadah agama lain, atau
mengucapkan salam keyakinan orang lain. Bagi si nenek, melanggar larangan malam
selasa sebanding dengan menyekutukan Tuhan Yang Esa.
Larangan
itu memang baru disampaikan setahun sebelum Saoda menginjak usia 17 tahun. Usia
krusial bagi seorang gadis. Saoda tidak terlalu mengerti mengapa nenek
melarangnya. Ia bahkan berusaha keras tak mau tahu. Tak mau pusing dan tak mau peduli.
Baginya, larangan itu tidak masuk akal sama sekali. Tidak ada setitik celah pun
larangan itu bisa masuk ke akal dan menempati ruang seinci saja di dalam
sesuatu yang menjadi pembeda antara manusia dengan binatang. Saoda tidak bisa
menemukan hubungan antara menyanyi di dapur dan perawan tua. Mana mungkin
keperawanan di usia senja merupakan akibat langsung dari menyanyi di dapur. Jika
benar demikian, berarti menyanyi di dapur adalah cara menjaga dan merawat
keperawanan, dan berhenti bernyanyi adalah jalan paling pintas mendatangkan
jodoh. Ia mengira kepercayaan semacam itu datang dari era paling gelap sepanjang
sejarah peradaban manusia. Bahkan binatang pun tidak pernah mengalami zaman
seburuk itu. Tidak ada gunanya mengikatkan diri pada sesuatu yang tidak masuk
akal.
Mengapa
pula malam selasa? Mengapa bukan malam jumat yang oleh semua orang bersepakat
sebagai malam menyeramkan. Malam saat genderuwo, kuntilanak dan setan-setan bergentayangan.
Jika tumpukan pertanyaan sudah menimpuk kepalanya, Saoda akan mendatangi
neneknya lalu menatapnya lekat-lekat sambil tersenyum. Senyum penuh arti. Ingin
menertawakan tapi takut dosa. Atau ia akan memijat pundak neneknya sambil
berharap mitos-mitos dalam kepala perempuan tua itu, yang akarnya mengeras melilit
kewarasannya, terurai kemudan terlepas satu persatu.
Tapi
Saoda juga penasaran. Sialan! Berkali-kali Saoda berniat menanyakan perihal
larangan itu. Ia membayangkan jawaban neneknya yang akan membuatnya
terpingkal-pingkal atau terkentut-kentut menahan tawa saking tidak masuk
akalnya jawaban yang akan didengarnya. Karena itulah, pertanyaan itu selalu ia
simpan kembali setelah berpuluh atau mungkin sekian ratus kali ia mencoba
menanyakannya. Entah sampai kapan. Ia sendiri tidak terlalu yakin bahwa hari
nanti pertanyaan itu akan dituntaskan. Kecuali jika ia mulai berani melawan dan
berkhianat pada rasa sayang, cinta serta rasa kasihan terhadap perempuan tua
yang merawatnya sejak masih dalam buaian. Ia tak mau neneknya tersinggung dan
benar-benar marah padanya.
Sepertinya
Saoda tidak akan pernah menuntaskan rasa penasarannya terhadap larangan aneh
itu melalui pertanyaan. Hingga pada suatu purnama di malam selasa, ia memberanikan
diri melanggar larangan itu. Usia Saoda pada malam itu tepat di angka 17. Saoda
menengok dapur, perempuan tua itu biasanya membereskan segala sesuatu di dapur
sebelum berangkat tidur. Saoda mendapati dapur sudah beres dan rapi. Ia semakin
bersemangat. Saoda menengok kamar neneknya dan didapatinya sudah terlelap.
Perempuan tua itu mendengkur halus pertanda ia benar-benar pulas. Saoda menutup
kamar dengan kain gordin lalu melangkah dengan ujung-ujung kaki seperti
penyamun yang menjejak semak-semak dengan sangat hati-hati. Ia menuju teras.
Pintu dibuka dan ditutup dengan sangat perlahan untuk menghalau derit menjerit.
Saoda
kini berada di teras. Dadanya berdebar-debar menanti apa yang akan terjadi
selanjutnya. Sesekali ia mengangkat dan memiringkan kepalanya mengintip purnama
yang acapkali bersembunyi di balik daun jambu dan pohon mangga yang tumbuh
semakin tinggi dan rindang di depan rumahnya. Hampir setengah jam ia duduk,
malam selasa dirasakannya seperti malam-malam yang lain dan tidak seseram malam
jumat. Malam selasa yang asyik-asyik saja. Ada purnama yang indah dengan sejuk
cahayanya, hembusan angin sepoi yang sesekali menampar-nampar lembut kulit
wajahnya, juga beberapa orang pemuda hilir mudik sambil bersiul. Siulan
pemuda-pemuda yang seumuran Saoda itu kerap terdengar beradu dengan suara
sandal jepit yang menepuk-nepuk ujung tumit mereka.
Menjelang
jam sepuluh malam, Saoda memutuskan untuk kembali ke dalam rumah. Ia membuka
pintu, seirit mungkin celah ia buka. Kemudian menyelinap, melangkah miring seperti
kepiting berjalan lambat, lalu menutupnya kembali lebih hati-hati. Dengan
langkah kaki berjinjit seperti penari balet, Saoda menuju kamarnya.
Saoda
melepas kutangnya lalu mengenakan busana longgar. Kutangnya disampirkan pada
sebuah jemuran mini di samping lemari. Lelaku itu juga merupakan ajaran
neneknya agar membiarkan payudaranya lega di saat tidur. Kata neneknya, itu
untuk menjaga payudara tetap sehat. Saoda percaya, karena itu, ia selalu
melepas kerangkeng sepasang gundukan di dadanya menjelang tidur.
Setelah
pembangkangan malam selasa, Saoda bukannya tidak mau lagi percaya pada larangan
neneknya itu, malah rasa penasarannya semakin bertambah-tambah. Ia pun
menceritakan kepada neneknya keesokan harinya apa saja yang disaksikannya
semalam. Dengan percaya diri, Saoda menggambarkan malam selasa yang diharamkan
neneknya itu sebagai malam yang asyik. Tentang purnama, angin malam yang
membelainya lembut, juga tentang siulan.
Dugaan
Saoda tidak meleset. Perempuan tua itu benar-benar berang. Wajahnya merah
padam. Ia berdiri, memandang dan menunjuk-nunjuk batang hidung Saoda. Setelah
tuntas semua amarah ia lampiaskan kepada cucunya, ia tinggalkan cucunya yang
mematung dengan wajah serupa pisang goreng yang belum benar-benar matang. Ia
memutuskan untuk tak berbicara lagi setelah itu kepada cucunya. Perempuan tua
itu memilih diam dan tak mau lagi menyapa atau menjawab setiap kali Saoda
mengajaknya bicara.
Saoda
menduga bahwa sikap diam neneknya paling bertahan sampai sehari. Paling lama
dua hari, dan setelah itu akan mengajaknya kembali berbicara. Karena itu,
sehari setelah murka neneknya meledak, Saoda masih tampak biasa-biasa saja.
Sikapnya seakan-akan menunggu dengan tidak sabar nenek menyapanya dengan penuh
kasih sayang sambil, seperti biasa, mengahdiahinya aneka nasehat yang sudah ia
buatkan daftar dalam kepalanya.
Saoda
tetap yakin sampai pada hari kamis. Ia sebenarnya ingin sekali menyapa neneknya,
namun ada rasa sungkan juga. Selain karena ia percaya neneknya akan menyapa
lebih dahulu, juga karena perempuan tua itu setiap hari berwajah masam. Meski
mulutnya sengaja ia tutup, wajah masam perempuan tua itu berkisah dengan sangat
baik tentang amarah dan kebencian.
Pandangan matanya tak pernah sekalipun diarahkan kepada cucunya lagi
setelah peristiwa rabu pagi. Padahal, sangat mungkin ia pun teramat merindukan
paras yang kini disinisi habis-habisan itu. Wajah yang setiap kali memandangnya
akan membuka kembali lembaran kenangan bersama mendiang anak perempuannya, ibu
Saoda.
Saoda
mulai mempertimbangkan kembali yang ia yakini sebelumnya setelah memasuki hari
keenam neneknya menjadi manusia bisu. Ia mulai merindukan suara perempuan itu.
Suara yang setiap saat nyaris hanya menghasilkan bunyi berupa nasehat, larangan
dan amarah. Jika berada di rumah, Saoda merasa bahwa bukan suara neneknya saja
yang ia rindukan, ia bahkan merindukan suaranya sendiri.
Selepas
magrib di hari kedelapan neneknya bisu, Saoda menyerah. Ia mencampakkan egonya.
Pasrah sepasrah-pasrahnya, seperti orang yang kehabisan tenaga untuk berlari,
kemudian duduk dan bersiap menghadapi takdirnya yang lain setelah anjing yang
baru melahirkan tiga hari lalu mengejarnya dengan kalap. Hari kedelapan adalah
malam selasa yang benar-benar seram, tidak seperti malam selasa sebelumnya yang
asyik-asyik saja.
Saoda
mendekati neneknya. Perasaannya campur aduk. Perempuan tua itu masih bertimpuh
di atas sajadah sekali lalu melantunkan wirid seusai shalat magrib. Selain
bisu, ia juga tampak tunarungu dan mati rasa. Ia seperti tak merasakan
kehadiran Saoda, pun tak mendengar suara lantai papan kamarnya yang jelas-jelas
gaduh saat dipijak, sepelan bagimanapun kaki didaratkan di atas punggungnya.
“Nek…”,
Saoda membuka suara. Jelas sekali, suara itu terdengar bergetar.
Perempuan
tua itu tetap dengan posisinya. Tidak melongok. Sedikitpun tak terusik oleh
kehadiran cucunya.
“Neek…”,
Saoda memegang tangan kanan perempuan tua yang dicintanya dengan kedua
tangannya. Sejenak rotasi tasbih di tangan perempuan tua itu terhenti .
“Saya
telah membuat nenek marah. Mohon, maafkan saya”, kepala Saoda luruh di atas
tangan keriput neneknya. Ia membenamkan wajahnya, tasbih di tangan neneknya
berlinang air mata. Punggungnya bergerak naik turun oleh kecamuk isak di
dadanya. Ia ingin sekali meledakkan agar perasaannya menjadi lega dan ringan,
tapi rasa sungkan masih juga menghalanginya.
“Kamu
sudah mendengar siulan itu. Dan akan mendengarnya setiap saat kamu duduk di
teras di malam selasa”, kata neneknya. Suara yang selama delapan hari hilang
itu memecah suasana. Sedu sedan yang seolah menjadi latar pergumulan nenek dan
cucu itu seketika tak terdengar. Saoda mengangkat kepalanya. Ia menatap
neneknya, lalu mendekapnya. Tubuh perempuan tua itu hampir saja tidak sanggup
menahan berat beban pelukan cucunya.
“Ada
apa dengan siulan itu, nek?”’
Neneknya
tidak menjawab. Ia melepaskan diri dari dekapan, berdiri dan menanggalkan
mukena. Wajah perempuan tua itu sama sekali tidak memperlihatkan raut kesedihan.
Berbeda dengan cucunya yang matanya bengkak dan memerah. Wajah keriput dan berbintik
hitam itu bahkan serupa kanvas yang di
atasnya terdapat jejak-jejak sapuan kuas. Ya, benar, kanvas itu berisi lukisan
abstrak tentang kekuatiran yang sungguh-sungguh. Kekuatiran yang selama ini
dibaluri doa-doa agar tidak pernah menjelma ke dalam dunia realitas sampai
kapan pun.
Berkali-kali
Saoda menanyakan siulan itu, namun perempuan tua itu selalu begitu. Seperti
seorang pegawai rendahan yang kantongnya disesaki gepokan-gepokan rupiah oleh
majikannya yang menjadikannya bisu. Atau kalau tidak menjadi bisu, ia akan
berbicara mengenai sesuatu yang lain dan tidak ada sama sekali hubungannya
dengan pertanyaan yang mencecarnya.
Saoda
tidak pernah berputus asa. Ia gadis yang gigih dan tak gampang menyerah. Andai
pada kali keseratus, keduaratus atau mungkin di kali kesejuta baru akan
diperoleh jawaban itu, maka akan ia lalui prosesnya. Intinya, ia memperoleh
jawaban atas pertanyaannya, tidak penting sebanyak apapun ia mencoba dan selama
apapun prosesnya dijalani.
Namun
segigih apapun, sesabar apapun keikhlasannya menanti jawaban yang
diperjuangkan, tiba masa juga ia harus berhenti berjuang dan mengerahkan
seluruh kekuatan sabarnya pada masalah yang jauh lebih berat. Perempuan tua
pemilik nasehat yang tak habis-habis, perempuan yang ketika marah Saoda
menyebutnya sedang wiridan, perempuan yang pada suatu petang, dengan hati
dongkol, dinugerahinya gelar sebagai penjaga neraka, suatu gelar yang siapapun
akan menampiknya. Perempuan yang selama delapan hari pernah menjadi manusia
bisu dan membuat Saoda merindukan suaranya sendiri itu, pada subuh selasa yang
masih tersiram lembut sinar purnama mangkat. Rohnya mengangkasa saat sedang
benar-benar wiridan. Innaa lillahi wa
innaa ilaihi raajiuun
***
Seisi
kampung gempar. Desas-desus merebak tak terkendali. Ada yang tidak habis pikir,
beberapa orang mendustakan, sebagian mengutuk, melaknat dan menumpahkan sumpah
serapah, sedikit sekali dari mereka yang berempati dan menunjukkan rasa iba.
Musibah
yang membuat malu seisi kampung itu terjadi ketika Daud pulang dari
perantauannya setelah meninggalkan kampung karena tak sanggup memikul beban
rasa malu setelah lamarannya ditolak mentah-mentah oleh orang tua pujaan
hatinya tanpa alasan yang jelas. Sakit hati Daud semakin bertambah-tambah
setelah mengetahui bahwa cinta mati Dara, pujaan hatinya yang dipacari selama
hampir empat tahun, yang sering diucapkan dihadapan Daud ternyata tidak sanggup
melewati ujung lidahnya. Cinta dan janji Dara untuk sehidup semati bersama Daud
apapun risikonya sebatas di bibir saja. Buktinya, Dara tidak bersedia saat diajak
kabur meninggalkan kampung untuk kemudian menikah secara siri di tempat lain.
Kejadian itu sekitar 17 belas tahun yang lalu.
Dara
tetap keukeuh dengan pendiriannya, meskipun Daud sudah berkali-kali meyakinkan
bahwa kemurkaan orang tua kepada anaknya akan surut pada akhirnya ketika anak
mempersembahkan kebahagiaan berupa seorang cucu pertama yang lucu. Karena
kecewa dengan keputusan Dara, Daud memutuskan angkat kaki dari kampung
halamannya, dan tak seorang pun yang tahu tujuannya.
Daud
menghilang. Ada yang bilang ia ke Malaysia. Seseorang lagi mengatakan bahwa saudaranya
yang tinggal di Kalimantan pernah melihat Daud menjadi kuli bangunan. Ada pula
yang memberi kesaksian bahwa ia pernah melihat Daud di daerah Sulawesi Tangah.
Daud, katanya, bekerja menjadi pemetik cengkeh.
“Jangan-jangan
si Daud seorang waliyullah?” celetuk seseorang.
“Maksudmu?”
tanya kawannya.
“Kalau
bukan wali, kenapa ia bisa ada dimana-mana? Kan, wali yang biasanya punya
karomah seperti itu?”
Ibu
dan saudara perempuan Daud hanya bisa pasrah dan berharap suatu saat nanti Daud
merindu lalu kembali pulang. Selama kepergiannya, tak pernah sekalipun Daud
berkirim kabar atau mengirimkan sesuatu kepada keluarganya sebagai pertanda
bahwa dirinya masih hidup dan baik-baik saja.
Hingga
pada suatu pagi di bulan puasa, Daud
tiba-tiba muncul. Itu adalah hari tepat kelima tahun delapan bulan semenjak
dirinya menghilang dan tak satupun orang yag tahu kemana perginya.
Ada
yang berbeda pada diri Daud setelah kepulangannya kembali kampung. Dulu ia
sering bersiul. Jika ia ke sungai untuk mandi, sepanjang jalan ia akan bersiul.
Ia biasa menuntaskan dua sampai tiga lagu dengan bersiul sebelum sampai tujuan.
Kadang siulannya mendendangkan lagu kasidah atau lagu pop. Namun yang yang
paling sering adalah lagu dangdut, terutama lagu-lagu Oma Irama. Kalau Daud
bersiul membawakan Primadona Desa, yang duduk bersamanya akan meminta Daud
mengulang siulannya dengan lagu yang sama. Dan jika sudah begitu, Daud akan
bersiul dengan lagu yang lain, hanya untuk membuat orang tersebut semakin
penasaran.
Kini,
ia jarang, bahkan tidak pernah lagi terdengar siulannya. Konon, selama
menghilang, di sudut bumi tempat ia menggelandang dan merawat kekecewaan pada Dara,
Daud menuntut ilmu pemikat hati. Seseorang yang menaruh belas kasihan pada
nasib buruknya telah mengajarinya ilmu itu. Jika hendak diamalkan, mantra
pemikat hati itu dilebur ke dalam siulan. Ilmu yang diperoleh Daud termasuk
ilmu tingkat tinggi. Gurunya bahkan mewanti-wanti agar sangat berhati-hati
menggunakan ilmu itu karena risikonya terlampau berat. Tidak boleh sembarangan.
Kalau belum benar-benar siap menikah sebaiknya ilmu itu disimpan dulu. Yang
mengajarinya juga berpesan agar melaksanakan ritual penawar terhadap mantra
tersebut setelah menikah. Mungkin yang mengajari Daud termasuk lelaki yang
punya prinsip hidup sekali, beristeri sekali dan setelah itu mati. Boleh jadi tidak
anti poligami, hanya saja memilih tidak berpoligami.
Begitulah
kiranya manusia, jika rasa penasaran di dalam dirinya tumbuh semakin kuat,
meletup-letup dan merongrong kesadarannya, alamat untuk bertindak gegabah dengan
sendirinya bergerak mendekat dari detik ke detik lalu menerkam. Itu pula yang
dialami Daud. Sekuat dan sedalam apapun wanti-wanti ditancapkan ke dalam hati dan
pikiran Daud oleh gurunya agar tidak bertindak ceroboh menggunakan mantra
pemikat itu, karena pertimbangan-pertimbangan waras Daud tercerabut dari
dirinya, tergusur oleh dorongan rasa penasaran yang kian hari tumbuh semakin perkasa,
Daud akhirnya menyeruduk dan menyalahi pesan sang guru.
Untuk
menghibur luka hati dan kekecewaannya pada Dara yang tidak pernah benar-benar
sembuh, pada suatu malam, tengah malam selasa, saat sinar purnama tercurah dengan
sempurna dan menjadi obat bagi jiwa-jiwa yang meradang, Daud duduk di teras rumah mendendangkan Tabir
Kepalsuan milik Oma Irama dengan siulan. Siulan Tabir Kepalsuan yang
didendangkannnya itu mengalun lembut mencipta kesedihan. Dan bersama siulan itu,
mantra yang sudah lebur di dalamnya terbang menjamah jiwa, merasuk melalui gendang telinga. Namun, Daud
lupa, ia tidak sendirian malam itu. Ia sedang duduk bersama Rukiah, adik
perempuannya.
Mantra
pemikat hati bertuah. Rukiah kena tuah. Birahi tak bisa dibendung, persundalan tak kuasa dihindari. Laksana mantra dan siulan, keduanya bergumul, menunggal menjadi satu tubuh dalam curah cahaya purnama malam selasa.
Setahun
kemudian, Rukiah melahirkan bayi yang kelak paras cantiknya persis wajah ibunya.
Saat bayinya berusia dua bulan sebelas hari, Rukiah meninggal. Ada yang bilang akibat
cacar, ada juga yang menduga kematiannya disebabkan karena tak sanggup
menanggung aib.
Sementara Daud kembali meninggalkan kampung untuk kali kedua sehari
setelah peristiwa malam selasa terkutuk itu terjadi. Tak pernah ada kabar lagi
tentangnya setelah itu. Tidak seorang pun yang pernah melihatnya di Malaysia, di
Kalimantan dan Sulawesi Tengah. Ia tak pernah kembali pulang. Dan, satu lagi,
ia tak punya karomah kewalian.
Sejak Daud menghilang untuk kali kedua, Saoda bersama ibunya menanggung cela yang begitu berat. Hampir setiap malam selasa mereka mendengar siulan. Siulan yang menyampaikan makian, celaan, hinaan dan sumpah serapah.
Sejak Daud menghilang untuk kali kedua, Saoda bersama ibunya menanggung cela yang begitu berat. Hampir setiap malam selasa mereka mendengar siulan. Siulan yang menyampaikan makian, celaan, hinaan dan sumpah serapah.
***
0 Komentar