Header

Header

TAMU BULAN JULI


“Sangat tipis jarak antara sangka baik dengan sembrono dan
sangka buruk dengan waspada”.
-Cak Nun-

Di penghujung juli yang baru saja berlalu, kami kedatangan dua orang tamu tak dikenal. Seorang ibu bersama anak laki-lakinya yang baru masuk sekolah lanjutan tingkat atas. Tamu gelap, ya katakanlah seperti itu. Identitas dan asal-usulnya benar-benar gelap.

“Sayang, barusan ada ibu-ibu bersama anaknya datang ke rumah. Katanya, ia mencari rumah kepala puskesmas. Puskesmas apaa, saya lupa. Saya tunjukkan rumah jabatan dokter puskesmas yang di depan, tapi katanya bukan itu. Si ibu kembali lagi ke sini dan menyampaikan maksudnya. Ia ingin agar anaknya diizinkan menumpang di rumah kita. Mereka sudah pulang, tapi akan datang lagi nanti setelah shalat dzuhur”, begitu isteri saya mengabari via Vivo yang sedang berada di luar mengurus BPKB motor. Vivo, tahu Vivo kan? Itu loh, hengpong kamera mahal yang diiklankan Agnez Mo. Kayaknya masih sepupuan sih sama Oppo.

Mendengar itu, saya sampaikan ke isteri agar jangan diterima karena kita tidak tahu mereka siapa. Saya sadar dan siapapun Anda akan menduga kuat bahwa respon negatif seperti ini jika lebih jauh ditelusuri maka asal-usul serta riwayat kekhawatiran yang tersembunyi di dalam penolakan itu akan banyak sekali dijumpai di portal-portal berita online, media sosial dengan judul penipuan berkedok bla..bla..bla. Atau, penipuan wajah baru, dan semacamnya.

Menjelang dzuhur, saya sudah berada di rumah setelah urusan di kantor Samsat selesai. Setelah makan siang, saya ngopi dan merokok di belakang rumah. Karena berjanji akan kembali, sembari menikmati rokok dan kopi saya menunggunya, meskipun sebenarnya tidak berharap ia menepati janji. Pada akhirnya, janji si tamu jua yang terwujud, sementara harapan tuan rumah bertepuk sebelah tangan, syaratnya untuk menjadi nyata tidak terpenuhi sama sekali. Sakitkah? Tidak, dong, yang sakit itu jomblo. Benar, dua tamu gelap itu datang lagi. 

“Selamat siang”,  si ibu memberi salam. Saya jawab salamnya kemudian mempersilakan mereka masuk. Saya mencoba mengorek identitas dan maksud kedatangan mereka. Si ibu pun bercerita bahwa mereka dari Kalumpang. Menyebut asal daerahnya, Kalumpang, dalam hati saya, yah benar ‘selamat siang’ adalah salam mayoritas penduduk disana.

Jujur saja, saya tidak mengkhawatirkan tidak pula mempermasalahkan apapun agama dan keyakinannya. Bagi saya pribadi, yang harus dikhawatirkan adalah  apabila si tamu ternyata adalah orang yang tidak patuh pada hukum-hukum yang diajarkan agama dan keyakinannya, tidak peduli pada nilai moral, tidak menjunjung tinggi etika dan lain sebagainya.

“Darma”, si tamu menyebut nama setelah beberapa saat kami berbincang. Tamu yang duduk di hadapan kami yang lelah di wajahnya dengan sangat baik menjelaskan kekhawatiran yang amat besar pada harapannya adalah seorang ibu yang bekerja sebagai petani dengan suami yang memiliki pekerjaan yang sama dengannya.

Meski tahu, namun saya kembali ingin memastikan maksud kedatangannya. Setelah mendengar jawaban yang sama, saya menawarkan pilihan lain yakni menyewa kamar, ngekos saja. Kebetulan kosan ada banyak di Mamuju, bahkan tumbuh subur setiap tahun. Sekolah tempat anaknya menuntut ilmu saja di kiri kanannya  terdapat banyak kos-kosan. Ngekos sudah tentu akan lebih baik karena lebih merdeka mengatur waktu sendiri. Tinggal di sini, di rumah kami, bisa jadi waktu belajar kurang maksimal. Dalam kehidupan rumah tangga, termasuk di keluarga kami, suami isteri kerap kali berselisih paham. Selisih paham tidak jarang menyulut pertengkaran. Letupan-letupan akibat selisih paham yang hadir di dalam rumah tentu saja akan berpengaruh pada kenyamanan, menghadirkan ketidakbetahan bagi yang menumpang.

Beragam alasan mengapa ngekos lebih baik daripada menumpang saya sampaikan. Namun, satu alasan mengapa si ibu tidak mencari kosan untuk anaknya. Alasannya benar-benar sanggup meruntuhkan bangunan alasan yang saya bangun semasuk akal mungkin dan coba pahamkan kepadanya. Satu alasan saja : “kami tidak punya cukup uang untuk membayar uang kost  setiap bulan”, kata si ibu dengan wajah pilu. Tatapan matanya tampak berkaca-kaca menyapu seluruh lantai ruang tamu berukuran mimalis.  

Alasan si ibu seperti ribuan anak panah empati  berlumur ‘racun’ menancap tepat di jantung, tepat di pusat ego, dan seketika ‘racun’ empati deras mengaliri semua sisi-sisinya. ‘Racun’ empati dengan cepat menyebar, menyerang seluruh saraf yang terhubung ke ego. Serangan yang ganas. Ego perlahan mulai mengalami kelumpuhan.

Saya membatin. Bagiamana ini? O Allah, berkahi keluarga dan rejeki hamba.

Seseorang akan tinggal cukup lama bersama kami , sementara kami sedikit pun tidak mengenal siapa dia. Orang baik atau jahat kah? Niat ingin menolong sesama makhluk Tuhan  benar-benar terbentur pada dinding kewaspadaan yang tebal dan kokoh. Belum pula berhasil menemukan jurus tolak tamu agar seorang ibu yang sudah menggadai rasa malu demi anaknya yang bertekad melanjutkan pendidikan tidak merasa terusir.

Sudah berapa hari di Mamuju? Apakah ibu tidak punya keluarga di sini? Saya melanjutkan pertanyaan setelah beberapa jenak kami sama terdiam. “Sudah satu minggu. Ada”, jawabnya singkat tanpa bubuhan penjelasan. Responnya mirip seorang saksi dan terpidana menjawab pertanyaan jaksa penuntut. Mengapa tidak tinggal di rumah keluarga saja, saya pikir itu akan lebih baik. “Rumah keluarga kami ada di Puncak. Jaraknya terlalu jauh dari sekolah (± 10 km dari sekolah). Sementara kami tidak punya kendaraan. Motor yang kami pakai ke sini milik kepala desa. Bapak kepala desa mengijinkan kami menggunakan motornya hanya untuk beberapa hari saja. Setelah kami mendapatkan tempat tinggal, motornya harus segera dikembalikan”. “Kalau bapak dan ibu mersa berat, bilang saja”, katanya dengan wajah yang tampak sangat mencemaskan harapannya.

Sikap waspada  yang terdesak tetap berusaha bertahan sekuat tenaga agar tetap bisa tegak berdiri.  Dindingnya yang kokoh dan tebal benar-benar goyah setelah menerima beberapa pukulan telak.

Kewaspadaan yang kian tergerus oleh derasnya arus empati, pada gilirannya benar-benar mengantar anak ibu tersebut ke depan pintu rumah kami dan akan menjadi bagian dari kami selama kurang lebih tiga tahun ke depan. Kami menerimanya dengan beberapa syarat yang tidak boleh dilanggar. Beberapa  di antaranya adalah harus rajin beribadah, artinya setiap minggu wajib ke gereja; Sebelum jam 10 malam sudah harus ada di rumah kecuali karena ada urusan yang terkait dengan proses belajar; jujur dan tetap menjaga kepercayaan. Tidak bisa ditawar, syarat tersebut merupakan harga mati.

“Kamu mau tinggal di sini? Kalau setuju, maka kamu harus mematuhi syarat yang ditetapkan”, dengan wajah yang lebih ceria dari sebelumnya, ia meminta pendapat anaknya. Anaknya mengangguk setuju. Yodi adalah anak yang rajin membantu orang tua. Ia anak yang sabar, penurut dan cenderung pemalu. Kadang ia bekerja dalam kondisi tidak layak bekerja karena kerap merahasiakan kondisi fisiknya yang sakit (kalau sedang sakit) demi kepatuhan dan baktinya pada orang tua. Demikian si ibu memberikan secuil informasi tentang anaknya yang sebentar lagi akan menjadi bagian dari keluarga kecil kami.

Si ibu ingin segera pulang ke Kalumpang karena banyak pekerjaan yang ditinggalkan selama satu pekan berada di Mamuju. Ia tidak ingin suaminya menanggung beban lebih berat karena ketiadaanya. Ia ingin agar anaknya bisa segera mengemasi barangnya dari rumah keluarganya ke rumah kami. Ia berharap sore itu juga anaknya sudah memulai hidup baru bersama kami.

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 wita, saat anaknya pamit kembali ke sekolah.

Saya, tanpa pamit,  meninggalkan perbincangan si ibu bersama isteri di ruang tamu. Saya ke kamar mandi, berwudhu hendak menunaikan shalat dzuhur. Saya, di satu sisi, bersyukur dan diliputi kebahagiaan karena bisa membantu orang lain yang sedang sangat butuh uluran tangan, setidaknya satu dari sekian persoalan hidupnya, oleh Allah sang penolong, kami diberi kesempatan meringankannya. Sementara di sisi lain, ‘merasa berat’ masih saja tersisa di dalam pikiran.  Pada konteks seperti ini, merasa berat, menurutku, adalah wajar adanya dan sangat manusiawi. Ia sama sekali tidak mengenal saya dan isteri saya, latar belakang dan semua tentang kami. Begitu juga sebaliknya, kami juga tidak mengenalnya sama sekali.

Saya masih shalat saat ibu tangguh itu pamit. Di dalam sujud saya langitkan permohonan. Seusai shalat, saya bershalawat kepada baginda Nabi Muhammad saw. Saya pasrahkan semuanya kepada Allah apapun yang akan terjadi nanti. Tidak lupa saya memohon perlindungan-Nya agar dihindarkan dan diselamatkan dari segala niat jahat makhluknya ; Allahumma antassalam, wa minkassalam, wa ilaika ya’udussalam, fahayyina rabbana bissalam….

Mendapati saya yang masih saja terlihat waspada, isteri saya menasehati dan mengingatkan bahwa saya harus tegas. Yah, saya akui, karena banyak mempertimbangkan semua yang menurutku tidak bisa disepelekan, sehingga dalam banyak hal saya tidak bisa dengan mudah memberi jawaban ya atau tidak. Saya selalu berusaha menelusuri sisi baik dan sisi buruk yang  akan ditimbulkan terlebih dahulu sebelum memutuskan melakukan sesuatu. Jika sisi baiknya yang dominan, oke, jalan. Namun, jika sisi buruknya yang dominan, menjalaninya dibutuhkan keberanian, bukan nekat. Keberanian menerima resiko, keberanian tidak berandai-andai setelahnya alias tidak menyesali langkah yang telah dipilih.  Isteri saya juga demikian, namun barangkali ia dengan sangat cepat menemukan apa yang masih sedang dalam penelusuran dan pencarian saya.  “Meskipun banyak penipu, tetapi tetaplah berbuat baik”, kata isteri menasehati. Saya menduga ia terinspirasi oleh Gus Dur. Atau mungkin terinspirasi nasehat agung Imam Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi Saw, sang gerbang ilmu : “Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”

Kami bersedia membantu, karena yang datang kepada kami memang butuh bantuan dan di saat yang sama kami punya kesempatan membantu. Di rumah kami terdapat dua kamar. Satu kamar di depan tidak ada yang menempati, kamar tersebut bisa ia tempati

Sore tiba, saya ingin segera pulang ke rumah. Saya memberi tahu isteri bahwa saya pulang lebih dulu, jangan sampai orang itu datang dan kita tidak berada di sana. Ternyata, sebelumnya, isteri saya meminta si ibu agar datang setelah maghrib saja. Alhamdulillah, wa syukran lillah, sore itu saya (Muhammad Federer)  tetap bisa bermain tenis.

Maghrib merambat, yang ditunggu tak jua datang. Sampai tengah malam, tamu siang tadi juga belum muncul. Sampai sekarang, hingga kisah ini selesai diedit di sana sini.

Boleh jadi, kami terlampau berlebihan dan terlalu berambisi ingin mengaktualisasikan nasehat agung Imam Ali dan Gus Dur. Sampai akhirnya Cak Nun hadir  menepuk-nepuk pundak kami dengan penuh kasih sayang. Cak Nun memberi nasehat : “Rek... Pahami yo, rek’. Sangka baik dengan sembrono itu tipis sekali jaraknya. Begitu pula sangka buruk jaraknya teramat tipis dengan sikap waspada”

Wallahu ‘alam bishshawab





Posting Komentar

0 Komentar