Masyarakat dengan karakter keras dan liar adalah tempat Muhammad Saw. Saw lahir dan dibesarkan.
Kekerasan merupakan satu-satunya cara bagi tiap kelompok/suku untuk menentukan
siapa yang paling kuat kemudian menjadi penguasa atas kelompok/suku lainnya. Maka
tidak mengherankan jika perang antar suku di antara mereka sangat sering
terjadi. Kondisi masyarakat yang sakit seperti itu telah memupuk dan menumbuhkan
kesadaran tiap kelompok untuk lebih mementingkan kelompoknya sendiri, lebih
mendahulukan kepentingan kelompok sendiri di atas segalanya.
Hajar Aswad. Salah
satu peristiwa yang menunjukkan hal itu bisa dilihat, misalnya, pada saat
proses renovasi Kabah sudah hampir selesai dan hajar aswad/batu yang
dikeramatkan akan dikembalikan ke tempat semula. Potensi bentrok, perang antar
suku gejalanya mulai menguat, karena setiap kelompok merasa paling berhak meletakkan
kembali batu keramat di tempat semula. Anggapan dan kepercayaan mereka bahwa
yang meletakkan batu keramat kembali ke tempatnya semula adalah kelompok yang
paling mulia di hadapan Kabah, maka membiarkan kelompok lain melakukannya
berarti pengakuan sah atas kemuliaan
kelompok tersebut di atas kelompok sendiri, dan itu mustahil dilakukan oleh
manusia dengan watak keras dan kasar.
Karena keterpercayaannya, Muhammad
Saw. diminta memberikan solusi atas masalah pelik yang sedang mereka hadapi.
Tampillah Muhammad Saw. dengan selembar kain panjang dan lebar yang akan
digunakan mengangkat batu keramat yang merupakan akar perselisihan di antara
mereka. Setiap pemimpin kabilah/suku, Muhammad Saw, diminta untuk memegang
ujung kain tersebut. Dengan media yang digunakan Muhammad Saw. memungkinkan
setiap kelompok yang bersitegang merasa terlibat dalam proses peletakan kembali
hajar aswad.
Piagam Madinah. Selama
periode Mekah, Islam yang didakwahkan Muhammad Saw. mengalami banyak kendala.
Orang-orang yang mengikuti jejak Muhammad Saw. banyak menerima hinaan, siksaan
bahkan boikot ekonomi diberlakukan kepada mereka sehingga mereka mengalami
derita kelaparan selama beberapa tahun. Melihat ada cahaya kemenangan dakwah
islam, setelah sebelumnya beberapa orang Madinah memeluk islam yang ditandai
dengan baiat Aqabah I & II, Muhammad Saw. akhirnya memilih melakukan hijrah
ke Madinah. Inilah hijrah kedua yang dilakukan muslim setelah hijrah pertama ke
Abbisinia.
Di Madinah komunitas muslim menjadi
komunitas yang besar dan saat itu menjadi satu kekuatan yang sangat kuat dan
tak tertandingi. Muhammad Saw. dan pengikutnya bisa saja melakukan hal sama
yang pernah mereka alami kepada para musuhnya untuk melampiaskan dendam. Namun,
Muhammad Saw. memilih untuk tidak melakukan mobilisasi dendam yang mungkin saja
terawatt dengan baik dalam diri para pengikutnya. Dendam yang jika disulut
sedikit saja maka jazirah Arab seketika berubah jadi lautan api dan menjadi
arena pembantaian massal terbesar yang pernah ada. Namun, alih-alih
memobilisasi dendam kaum muslimin, Muhammad Saw. malah mantap melilih jalan
rekonsiliasi. Kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam rekonsiliasi tersebut
melahirkan suatu tatanan masyarakat yang ideal, masyarakat yang plural dimana
setiap orang bebas dan merdeka menjalankan ajaran agamanya, masyarakat yang
hidup rukun dan damai tanpa sekat-sekat suku, bangsa dan agama ; koeksistensi.
Langkah yang ditempuh Muhammad
Saw. pada dua peristiwa tersebut, juga pada Perjanjian Hudaibiyah dan
Pembebasan Kota Makkah, merupakan bukti nyata bahwa tingkat intelegensi beliau memang
sangat luar biasa. Beliau mampu memecahkan, menguasai emosi kaumnya, sanggup meredam
potensi dan menyelesaikan konflik secara brilian. Muhammad Saw. memang dikenal sebagai
manuia yang memiliki sifat fathanah
selain tiga sifat lainnya yakni shiddiq,
amanah dan tabligh.
Apa yang telah dilakukan Muhammad
Saw. pada situasi yang sangat krusial sangat bersesuaian dengan apa yang
didefinisikan John W Santrock dan David
Wechsler tentang intelegensi. Intelegensi menurut John W Santrock adalah keahlian
memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari,
pengalaman hidup sehari-hari. Sementara menurut David Wechsler, intelegensi
adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan
menghadapi lingkungannya secara efektif.
Tingkat intelegensi yang sedemikian
tinggi itu oleh beberapa kalangan dengan tujuan dan kepentingan tertentu coba
dikembangkan sedemikian rupa, kemudian perlahan-lahan memposisikan Muhammad
Saw. sebagai manusia biasa seperti manusia pada umumnya, namun memiliki tingkat
kecerdasan di atas manusia lain. Konsekuensinya, mereka dengan enteng menjadikan
Muhammad Saw. sebagai obyek kajian yang melulu harus didekati dengan pendekatan
ilmiah rasional.
Jika Muhammad Saw. dipahami hanya sebagai manusia yang
memiliki kecerdasan melampaui kecerdasan manusia lain manapun tanpa
mempertimbangkan kedudukannya sebagai utusan yang menyampaikan ajaran suci
Tuhan kepada manusia, maka hal-hal yang adikodrati atau peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada diri atau dilakukan oleh Muhammad Saw. yang di luar jangkauan
nalar, tentu saja, tidak diberi tempat. Pada gilirannya, mukjizat hanya akan
dianggap sebagai sebuah konsep absurd yang hanya dipercayai oleh kelompok
masyarakat yang menganggap dongeng adalah peristiwa nyata yang pernah ada. Sementara Muhammad Saw., di sisi lain, adalah
manusia luar biasa yang memiliki hubungan khusus dengan Tuhan, sehingga setiap
pikiran, ucapan dan tindakannya berdasarkan petunjuk Tuhan.
Pada kisah Musa,
sebagaimana yang diyakini oleh penganut tiga agama Ibrahim, atas petunjuk dan
perintah Tuhan, Musa membelah lautan dengan tongkatnya ketika beliau bersama
kaumnya dikejar oleh bala tentara Fir’aun. Narasi kitab suci tentang mukjizat
Musa ini diragukan oleh para ilmuwan
dengan membuat teori atau fakta tandingan berdasarkan penelitian ilmiah rasional.
Menurut Bruce Parker Nabi Musa sebenarnya tidak
mengandalkan keajaiban dari Tuhan. Ia menggunakan pengetahuannya tentang pasang
surut air laut saat memimpin orang-orang Israel menyeberangi Laut Merah. Teori
inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh Ridley Scott dalam pembuatan film 'Exodus: Gods and Kings'.
Dalam film tersebut, mukjizat Musa yang membelah laut merah dengan tongkatnya
tidak pernah ada. Sesuatu yang sejak awal memang sangat dihindari oleh
sutradara film. Selain kecewa, penonton juga mungkin dibuat terheran-heran di
akhir kisah karena setelah diterjang air laut yang menggunung bergulung-gulung,
Fir’aun tiba-tiba muncul di tepi pantai dengan selamat sentosa. Sebuah gambaran
yang sangat bertolak belakang dengan informasi kitab suci.
Baik Muhammad Saw. maupun
Musa, sebagai manusia pilihan tentu saja dibekali Tuhan berupa karunia
kecerdasan, pemberani, reformis, meskipun demikian, menurut Al-Bouthi, karakter
yang paling menonjol pada diri mereka adalah karakter kenabian. Seorang Nabi
tentu saja tidak akan dibiarkan berjalan sendirian oleh Tuhan mengingat misi
yang diemban oleh para nabi merupakan misi ilahiyah untuk memperkenalkan dan
membumikan ajaran Tuhan di tengah masyarakat yang terjerat dalam lingkaran
kesesatan.
Para nabi akan selalu berada dalam perlindungan Tuhan. Kalaupun para
nabi dalam mendakwahkan ajaran Tuhan banyak mengalami penolakan, cacian dan
penderitaan yang ditimpakan oleh kaummnya, hal tersebut bukan berarti Tuhan
membiarkannya menderita atau menghinakannya, tapi semua itu merupakan konsekuensi
logis dari jalan dakwah, sesuatu yang wajar adanya. Bentuk perlindungan Tuhan
kepada para utusannya adalah mukjizat, yaitu perkara di luar kebiasaan yang
dilakukan oleh Allah melalui para nabi
dan rasul-Nya untuk membuktikan kebenaran
kenabian dan keabsahan risalahnya.
0 Komentar