"Allahumma Shalli 'Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad"
Meminta maaf bagi sebagian orang bukanlah perkara mudah, termasuk juga saya. Apalagi meminta maaf untuk sesuatu yang tampaknya bukan kesalahan. Itulah sebabnya mengapa orang yang secara sadar meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan banyak menuai pujian karena hal itu dianggap merupakan sikap legowo, cermin sikap dari orang berjiwa besar, meskipun tidak sedikit juga orang yang tetap pokus pada kesalahannya dan tetap dengan tulus mencibir dan mencacinya.
Persoalan seseorang susah melakukan permintaan maaf, boleh jadi, bukan semata-mata didasari karena tingginya ego, tapi juga karena tidak terbiasa meminta maaf. Jika kesalahan besar saja seseorang tidak atau enggan meminta maaf, maka permintaan maaf darinya untuk kesalahan sepele akan menjadi rebutan siapapun untuk dijadikan obat penyembuh segala penyakit. Artinya, hal tersebut hampir mustahil terjadi.
Beberapa hari lalu, di atas pesawat, dalam perjalanan dari Makasar ke Surabaya anak saya menangis dan terus menangis. Semakin lama tangisnya kian terdengar pilu. Kedua tangannya mencengkeram pundakku, memelukku erat-erat. Bagaimana rasanya dicengkram, dipeluk erat-erat oleh anak sambil menangis? Jawabannya tentu akan sangat spekulatif jika ditanyakan kepada jomblo. Hai, mblo. Maaf.
Sesekali tangisnya dihentakkan dengan keras. Saya duduk di kursi paling belakang, sementara isteri saya dan anak kedua kami yang baru berusia 2,5 bulan duduk di kursi bagian depan. Kami duduk terpaut amat jauh. Namun, saya tidak sendiri dalam meredakan tangis anak saya. Di samping kanan saya duduk seorang laki-laki muda berkaca mata dan memakai behel, sementara di samping kiri seorang perempuan muda dengan gaun yang kedua bahunya bolong.
Dua pengapit ini terus mencoba menghibur anak saya, tapi tidak berhasil. Kutepuk-tepuk pantatnya, punggung dan kepalanya secara bergantian saya elus-elus. Hal yang selalu saya lakukan setiap kali hendak menidurkannya. Shalawat nariyah, syi'ir tanpo waton, thala al badru, kucingku belang, kasih ibu, balonku ada lima serta cicak di dinding, tentu saja, saya ingin sekali mendendangkannya. Namun, saya saya sadar tidak sedang di rumah. Bukannya saya tidak mau tampak gila demi redanya tangis anak saya, tapi saya khawatir kedua pengapit saya masih berstatus jomblo. Jangan sampai mereka memilih istiqamah pada kejombloannya hanya karena takut terlihat gila bila kelak mereka punya anak dan mengalami hal sama yang saya alami. Sungguh, saya tidak mau menanggung dosanya.
Alhamdulillah, tepukan dan elusan tanpa nyanyian dari saya akhirnya bertuah juga, anak saya tidur setelah hampir separoh perjalanan menangis. Saya menengok ke samping kanan, laki berkaca mata dan berbehel itu telah menuai mimpi setelah sebelumnya sesekali melirik anak saya yang menangis dengan wajah yang terkepung kantuk. Sementara perempuan bergaun bolong di kedua bahunya masih tampak menikmati hamparan pemandangan, gundukan awan yang membuat pesawat seolah melalui jalan berlubang. Meski terjaga, tapi wajahnya tampak sekali sedang mengendalikan kantuk.
Saya merasa bersalah. Setelah beberapa menit menimbang-nimbang, saya menyapa perempuan itu, "mbak, saya minta maaf karena tangis anak saya perjalanan mbak menjadi kurang menyenangkan". "tidak apa-apa", katanya sambil memperbaiki posisi duduknya kemudian kembali melayangkan pandangan ke luar jendela pesawat.
Setelah permintaan maaf itu, saya merasa enak dan merasa lega. Adapun laki berkaca mata dan berbehel itu sampai awak kabin menginformasikan bahwa beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di bandara Juanda Surabaya, ia masih tertidur. Kepalanya sesekali nyaris menanduk bagian belakang kursi yang ada di depannya.
0 Komentar