Duhai Yang Maha RahmanDuhai Yang Maha RahimDuhai Yang Maha TersembunyiAdakah Jalan Ilegal Menuju Engkau?
Wacana pluralisme yang begitu seksi dan memesona yang hadir sebagai respon terhadap hubungan antar agama yang penuh luka dan borok yang dapat kita telusuri dalam bentangan sejarah yang cukup panjang, sekaligus menawarkan jalan keluar yang solutif terhadap masalah tersebut. Khususnya di kalangan akademisi, intelektual, para cendekia dan juga dari simpatisan gerakan pemikiran ini, baik yang pro aktif maupun yang masih malu-malu, wacana pluralisme kian hari kian digandrungi. Banyak Forum Diskusi dan LSM yang kemudian terbentuk sebagai wadah dalam membumikan wacana keagamaan yang berorientasi terhadap terciptanya susana kondusif hubungan antar agama ini. Sebutlah misalnya, DIAN Interfide dan MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama).
Forum diskusi dan LSM yang bermahzab pluralis ini mencoba membuka ruang dialog antar agama, bukan sekedar dialog yang lazim, semisal hubungan yang tercipta antar pemeluk agama dalam kehidupan sehari-hari, tapi lebih dari itu adalah mencoba membuka ruang untuk mendialogkan pengalaman-pengalaman keagamaan, mendialogkan iman. Mereka yang tergabung dalam forum-forum tersebut mencoba saling membuka diri, bukan saling mencurigai seperti umumnya yang terjadi di masyarakat.
Pluralisme hadir membawa pesan universal agama. Dalam kenyataannya, terdapat berbagai agama dan kepercayaan dan masing-masing agama memiliki pijikan yang kuat untuk diimani pemeluknya, bahkan sejak hadirnya sudah lengkap dengan klaim kebenaran, klaim keselamatan dan klaim-klaim yang menunjukkan bahwa agama dan kepercayaannya sajalah yang paling benar. Dengan fasilitas klaim kebenaran dan klaim keselamatan tersebut tidak jarang kemudian menjadikan suatu pemeluk agama mengambil sikap menutup diri terhadap kebenaran yang ada pada agama-agama lain.
Dalam pandangan pluralisme, setiap agama memiliki ruang dan tempat yang sama di 'hati' Tuhan, karena setiap agama bersumber dari Tuhan yang satu. Tidak ada cara lain untuk memberantas radikalisme agama , khususnya di Indonesia, selain dengan menegakkan pluralisme. Paham ini menekankan adanya kebebasan berkeyakinan, pengakuan atas keragaman tafsir, dan pengakuan terhadap fitrah manusia memilih agama yang dianutnya.
Namun, betapapun getolnya, betapapun wacana pluralisme dikemas sedemikian cantik dan menawan, tetap saja mereka tak kuasa menerobos tembok keimanan masyarakat yang dibangun diatas pondasi keimanan yang kokoh, keimanan yang tertempa begitu sempurna oleh pemahaman keagamaan yang berbasis dan berpijak pada kebenaran absolut, eksklusivisme.
Eksklusivisme merupakan suatu paham yang menganggap hanya pandangan dan kelompoknya yang benar, sedangkan kelompok lain dianggap salah. Pandangan ini didasarkan pada sebuah klaim kebenaran (truth claim) yang ada pada setiap agama. Bahkan, oleh mereka (kalangan eksklusivisme) mencurigai gerakan pluralisme sebagai gerakan pendangkalan iman dan gerakan tersebut tidak boleh diberi ruang sekecil apapun dan dianggap sebagai paham ”sesat”. Dan yang lebih sayang lagi adalah sikap MUI sebagai institusi keagamaan formal mengharamkannya. Padahal, fanatisme keagamaan yang mengarah pada tindak kekerasan, justru menunjukkan “kesesatan” yang nyata.
Pada semua agama, khususnya agama dalam tradisi ibrahimik : Yahudi, Nashrani dan Islam, yang dalam pandangan pluralisme diyakini bahwa agama-agama tersebut bersumber dari Tuhan yang satu dan karena bersumber dari Tuhan yang satu, tentunya menyembah Tuhan yang satu pula. Semua sama, meskipun kemudian masing-masing mengambil bentuknya masing –masing sehingga tampak berbeda dari yang lain.
Saya kadang berpikir bahwa jalan menuju Tuhan itu hanya ada satu, bukan banyak. Jalan tersebut kalau dianalogikan, ia serupa e-mail yang memiliki password khusus dan tidak sembarang password bisa digunakan untuk meretas jalan ke Tuhan tersebut. Asumsi-asumsi tersebut semacam “gugatan” terhadap asumsi yang ditawarkan mazhab pluralisme, bahwa semua agama bersumber dari tuhan yang sama dan karenaya juga menyembah Tuhan yang sama, benarkah demikian?. Namun, pertanyaan dan gugatan tersebut kemudian mentok karena untuk membuktikan bahwa tidak semua agama menyembah Tuhan yang sama dan hanya salah satu agama sajalah yang menyembah Tuhan Sekalian Alam,terbentur pada Tuhan yang tak terpahami, Tuhan yang berada jauh dari jangkauan nalar manusia. Sejauh-jauh manusia berpikir, toh ia tetap berada dalam kungkungan wilayah historis, sementara Tuhan adalah Dzat yang metahistoris dan tak tersentuh.
Aku berseruAh, Tuhan…Mengapa Kau begitu misteriusMengapa Kau sedemikian kontroversiTuhan menjawab : Karena Aku adalah Tuhan
#Dari Berbagai Sumber
0 Komentar